Potensi Ekspor dan Pariwisata Perbatasan Belum Tergarap Optimal
›
Potensi Ekspor dan Pariwisata ...
Iklan
Potensi Ekspor dan Pariwisata Perbatasan Belum Tergarap Optimal
Potensi ekspor dan pariwisata di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat masih terkendala kesiapan dari Malaysia dan kebijakan lama.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Potensi ekspor dan pariwisata di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat belum tergarap optimal karena adanya hambatan perdagangan. Perlu pembahasan untuk sinkonisasi kebijakan dengan Malaysia untuk mengatasinya.
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, seusai acara serah terima jabatan kepala perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Provinsi Kalbar, Selasa (11/2/2020), mengatakan, potensi perdagangan perbatasan sejak Desember 2019 hingga awal Februari baik. Sudah ada 53 kali ekspor yang sebagian besar hasil pertanian.
”Hanya masalahnya, Indonesia sudah menetapkan pos lintas batas negara (PLBN) sebagai pintu ekspor secara normal, sedangkan Malaysia belum. Pola perdagangannya masih tradisional,” kata Sutarmidji.
PLBN Malaysia di lokasi tertentu perdagangannya masih tradisional berdasarkan Border Trade Agreement (BTA) RI-Malaysia 1970. Warga perbatasan bisa berbelanja di Malaysia maksimal 600 ringgit atau setara Rp 2 juta per orang per bulan. Itu pun hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Namun, tidak untuk ekspor-impor dalam skala besar.
”Belum lagi, barang-barang ekspor dari Indonesia harus dipindahkan terlebih dahulu ke mobil-mobil Malaysia baru dibawa ke terminal bongkar muat Malaysia. Hal itu membuat tidak efisien,” ujarnya.
Ke depan, jika PLBN Indonesia untuk pintu ekspor secara normal, Malaysia juga harusnya memberlakukan hal yang sama sehingga potensi yang ada bisa lebih optimal. ”Sebagai solusinya perlu pembahasan lintas instansi ke depannya, termasuk perlu adanya sinkronisasi kebijakan di Malaysia,” kata Sutarmidji.
Sutarmidji pada Senin (10/2/2020) saat berkunjung ke salah satu pintu perbatasan di Aruk, Sambas, sudah menyampaikan hal itu kepada pejabat pusat yang hadir. Dengan demikian, diharapkan bisa segera disikapi.
Potensi perdagangan di perbatasan cukup besar. Data Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Kalbar menunjukkan, ekspor dari sejumlah PLBN di Kalbar menunjukkan tren meningkat. PLBN Entikong di Kabupaten Sanggau pada 2017 sebesar 7,68 juta dollar AS. Tahun 2018 naik menjadi 7,82 juta dollar AS dan 2019 hingga November sebesar 9,11 juta dollar AS.
Dari PLBN Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, pada 2017 sebesar 2,53 juta dollar AS, pada 2018 sebesar 678.052 dollar AS, dan pada 2019 hingga November sebesar 4,56 juta dollar AS. Untuk di PLBN Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, pada 2017 sebesar 41,01 juta dollar AS, 2018 sebesar 66,83 juta dollar AS, dan pada 2019 hingga November 81,92 juta dollar AS.
Di PLBN Aruk, Sambas, potensinya juga besar. Total nilai devisa perdagangan di wilayah itu pada Desember 2019 tercatat Rp 260,04 juta dan pada Januari 2020 sebesar Rp 501,54 juta. Komoditas unggulannya pertanian dan juga perikanan.
Bupati Sambas Atbah, saat paparan dalam pertemuan membahas perbatasan di Aruk, Senin (10/2/2020) lalu, mengatakan, salah satu permasalahan ekspor di PLBN Aruk adalah, baik di PLBN Aruk maupun Biawak (Malaysia), sama-sama belum memiliki dryport. PLBN di Malaysia juga belum memiliki pos karantina tumbuhan dan perikanan.
Selain potensi perdagangan, Sutarmidji mengatakan, perbatasan juga memiliki potensi pariwisata. Temajuk, Sambas, misalnya, memiliki potensi pariwisata pantai dan pemandangan bawah laut, yaitu terumbu karang.
”Namun sayangnya hanya bisa dilalui menggunakan sepeda motor. Pos lintas batas juga tidak memadai sehingga sulit mengundang wisatawan masuk. Potensi ini mesti menjadi perhatian ke depan,” ujar Sutarmidji.
Atbah menyatakan, kendala lain untuk wisatawan adalah pelayanan imigrasi di wilayah Malaysia belum sebagaimana mestinya. Pengurusan paspor bagi warga Malaysia jika ingin ke Temajuk harus ke daerah Malaysia di Sematan.
Benahi hambatan
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak, Eddy Suratman, menilai hambatan perdagangan di perbatasan Indonesia-Malaysia masih ada. Jika masih berpatokan pada BTA, volume dan nilai perdagangan masih terbatas sehingga sulit menggenjot perdagangan.
BTA perlu direvisi karena sudah tidak relevan lagi. Apalagi, BTA itu sudah sejak 1970. Situasi pada masa itu hingga kini sudah tidak sama lagi dengan dahulu, terutama dari sisi nilai perdagangannya.
Jika masih menggunakan BTA yang nilai pedagangannya rendah, justru memancing oknum tertentu membawa barang lintas batas secara ilegal. ”Yang dihitung sebagai ekspor selama ini yang melalui pintu resmi. Yang melalui pintu tidak resmi tentu sulit dideteksi. Artinya, kemungkinan nilai perdagangan yang sebenarnya lebih besar dari yang tercatat,” ungkap Eddy.
Penyelundupan dari jalur tidak resmi sangat mungkin. Apalagi, berdasarkan catatan Kompas, penyelundup banyak yang memanfaatkan jalur tikus. Panjang jalur perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalbar sekitar 857 kilometer, yang memiliki 52 jalan setapak terhubung langsung dengan 32 desa di Malaysia. Jalur setapak itulah yang kerap dimanfaatkan penyelundup narkoba dan barang-barang ilegal lainnya.
Pintu perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalbar ada lima, yakni di Entikong (Sanggau), Jagoi Babang (Bengkayang), Aruk dan Sajingan (Sambas), serta Nanga Badau (Kapuas Hulu).