Presiden meminta Menko Polhukam dan Kepala Polri untuk memastikan tidak adanya tindakan penolakan dan perusakan tempat ibadah. Presiden berpesan, kebebasan beribadah perlu ditegakkan.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berulangnya kasus intoleransi, salah satu di antaranya berupa penolakan pembangunan rumah ibadah ataupun perusakan rumah ibadah, sudah semestinya tak lagi terjadi. Presiden Joko Widodo menegaskan, kemerdekaan beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing dijamin konstitusi.
Untuk memastikan hal tersebut, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Idham Azis menjamin terlaksananya kebebasan beribadah. Tak hanya itu, kelompok-kelompok masyarakat yang mengganggu berjalannya kebebasan beribadah ini harus ditindak tegas.
”Jangan sampai intoleransi ada,” kata Presiden kepada wartawan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (12/2/2020) sore.
Jangan sampai intoleransi ada.
Beberapa insiden terkait rumah ibadah terjadi di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, dan Minahasa Utara, Sulawesi Utara, baru-baru ini.
Pembangunan bangunan baru Gereja Paroki Santo Joseph di Tanjung Balai Karimun dihentikan kendati sudah mengantongi izin mendirikan bangunan. Gereja tersebut sesungguhnya sudah berdiri sejak 1928. Namun, kewajiban memiliki tanda tangan sebagai tanda izin warga sekitar sebagai syarat pendirian rumah ibadah menjadi celah untuk menolak gereja ini. Sejumlah orang pun menggugat IMB tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara Tanjung Pinang.
Di Minahasa Utara, Mushala Al-Hidayah dirusak dua pekan lalu. Mushala ini masih dalam proses perizinan dan polisi menetapkan tiga warga sebagai tersangka perusakan. Kedua kejadian ini menambah daftar panjang perusakan rumah ibadah yang kerap dialami umat beragama di Indonesia.
Wahid Foundation mencatat, jumlah pelanggaran kebebasan beragama terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2018, terdapat 276 tindakan pelanggaran. Jumlah ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya, 2017, dengan 265 pelanggaran. Adapun perusakan rumah ibadah merupakan satu dari sepuluh tindakan intoleransi yang menonjol selain pembatasan, penutupan, penyegelan.
Hal semacam ini, menurut Presiden, semestinya bisa diselesaikan pemerintah daerah dan jajarannya. Namun, karena tidak ada pergerakan di daerah, Presiden meminta Menko Polhukam dan Kapolri tegas menyelesaikannya.
”Baik yang berkaitan dengan gereja yang ada Tanjung Balai Karimun maupun masjid yang ada di Minahasa Utara, harus dirampungkan karena jadi preseden yang tidak baik, bisa menjalar ke daerah lain,” kata Presiden.
Akar masalah
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) Rumadi Ahmad menyambut baik pernyataan Presiden tersebut. Namun, hal ini diharap ditindaklanjuti dengan keseriusan aparatur pemerintah untuk menyelesaikan sejumlah pelanggaran terhadap kebebasan beragama.
”Tidak cukup hanya mengusir asap seperti selama ini. Tapi harus mematikan sumber api dari pelanggaran itu baik pada level regulasi maupun di luar regulasi,” kata Rumadi.
Salah satu peraturan yang perlu ditinjau ulang adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah yang mengatur pendirian rumah ibadah harus disetujui 60 warga sekitar dan memiliki 90 jemaah atau umat yang menandatangani pendirian rumah ibadah.
Adapun beberapa masalah di luar regulasi adalah menguatnya intoleransi dan politik identitas, aparatur daerah yang cenderung berpihak kepada kelompok mayoritas termasuk penegak hukum yang sering terbawa kemauan kelompok yang dianggap kuat. Apalagi, dalam kasus keagamaan, kepala daerah tidak berfungsi secara maksimal apalagi ketika sedang bersiap menghadapi kontestasi pilkada, malah memperhitungkan untung rugi secara elektoral.
Secara terpisah, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengapresiasi pengakuan Presiden bahwa pemerintah daerah tidak bisa menyelesaikan masalah. Pemda sesungguhnya juga bagian dari masalah karena umumnya lebih memperhitungkan kepentingan politik terutama kepentingan elektoral. Akibatnya, kebutuhan mendapatkan suara dari kelompok yang mengklaim merepresentasikan mayoritas membuat pendekatan pemda adalah mengakomodasi tuntutan kelompok mayoritas dan memaksa korban untuk tunduk atau dikalahkan. Untuk itu, pemerintah pusat perlu benar-benar bersinergi dan mendesak pemerintah daerah supaya betul-betul melindungi warga sesuai konstitusi.
Pemerintah juga tak cukup beretorika atau menunjukkan acara seremonial saja. Perlu ada peninjauan aturan yang restriktif dan diskriminatif pada kebebasan beragama seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri 8-9/2016 maupun Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama. Sebab, hak dasar untuk beribadah secara bersama semestinya tidak memerlukan izin dari orang lain.
Pemerintah bisa membentuk gugus kerja yang kemudian mengidentifikasi apa saja masalah-masalah terkait intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama di sejumlah daerah.
Di sisi lain, kata Bonar, pemerintah bisa membentuk gugus kerja yang kemudian mengidentifikasi apa saja masalah-masalah terkait intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama di sejumlah daerah. Umumnya terdapat kombinasi sejumlah faktor, kendati sebagian besar didorong menguatnya konservatisme dan egoisme keagamaan yang memandang pahamnya yang paling benar. Dari akar-akar masalah yang teridentifikasi, solusi-solusi terbaik bisa diterapkan.
Namun, tegas Bonar, masyarakat menunggu tindakan nyata yang betul-betul melindungi mereka yang menjadi korban, terutama kelompok minoritas.