Penggemar Rokok Elektrik Kini Makin Fanatik
Pengguna rokok elektronik kini terus dimanjakan dengan pilihan jenis alat dan cairan yang beragam rasa. Rokok elektrik kini semakin memiliki penggemar fanatiknya.
JAKARTA, KOMPAS — Pengguna rokok elektronik kini terus dimanjakan dengan pilihan jenis alat dan cairan yang beragam rasa. Alih-alih dijadikan strategi untuk mengalihkan kebiasaan merokok, rokok elektrik kini semakin memiliki penggemar yang fanatik.
Hampir sebagian pengguna rokok elektrik mengaku tertarik untuk menggunakan rokok elektrik karena bermaksud ingin menghilangkan kecanduan merokok.
Contohnya, Fendy Hartono, karyawan swasta di salah satu perusahaan otomotif, yang mulai menggunakan rokok elektrik secara teratur sejak enam bulan lalu. ”Saya mulai memakai rokok elektrik semenjak punya anak. Kalau asap rokok bahaya, bisa nempel di baju,” katanya saat ditemui di Jakarta, Senin (17/2/2020).
Meskipun sudah memakai rokok elektrik, Fendy mengaku belum bisa meninggalkan ketergantungannya pada rokok konvensional meskipun penggunaannya sekarang berkurang. Tadinya, ia bisa menghabiskan dua bungkus rokok dalam sehari. Kini, satu bungkus rokok ia habiskan selama 3-4 hari.
Baca juga : Ada Apa dengan Candu Baru dan Penyakit Paru?
Fendy mulai merokok sejak 15 tahun lalu. Sebetulnya, beberapa tahun lalu ia pernah menggunakan rokok elektrik untuk menghentikan kebiasaannya merokok. Namun, hal itu tidak bertahan lama lantaran Fendy merasa ribet mengotak-atik rokok elektrik jenis mod miliknya.
Rokok elektrik jenis ini dikenal memiliki beragam komponen yang dijual secara terpisah, seperti baterai, kapas, kawat, dan tempat penyimpanan cairan atau cartridge. Komponen-komponen tersebut dapat diatur sesuai dengan selera penggunanya untuk menghasilkan sensasi aroma yang diinginkan.
Baca juga : Perusahaan AS Sasar Perokok Indonesia
Seiring dengan berjalannya waktu, perusahaan pemasok rokok elektrik terus memanjakan penggunanya. Muncul jenis rokok elektrik baru yang lebih ringkas, yakni jenis pod system. Komponen dalam rokok elektrik ini dijual dalam satu paket.
Pengguna juga tidak perlu mengganti komponen-komponen seperti kapas dan kawat yang rusak. Mereka hanya cukup mengganti tempat penyimpanan cairannya atau cartridge secara berkala. ”Dulu memang ribet, saya harus mengganti kawat dan kapas setiap berapa hari sekali. Sekarang tinggal buang cartridge-nya, lalu ganti,” ujarnya.
Di Vape Store, harga untuk satu buah cartridge untuk rokok elektrik jenis pod system sekitar Rp 40.000. Bagi perokok berat seperti Fendy, cartridge tersebut harus diganti setiap minggu. Adapun untuk harga alat rokok elektrik jenis pod system ini terbilang murah, sekitar Rp 270.000.
Sementara itu, harga untuk cairan rokok elektrik berkisar Rp 200.000-Rp 400.000 per botol untuk produk impor, khususnya dari Amerika Serikat. Adapun untuk cairan lokal, harganya berkisar Rp 100.000-Rp 200.000 per botol. Umumnya, satu botol cairan berisi 30 mililiter atau 60 mililiter.
”Satu botol cairan ukuran 30 mililiter bisa digunakan untuk 6-7 kali pengisian cartridge. Saya beli yang seharga Rp 120.000,” ujarnya.
Dalam sehari, Fendy biasanya menghabiskan cairan sebanyak satu tangki cartridge. Artinya, setiap minggu setidaknya ia harus mengeluarkan biaya untuk membeli cairan sebesar Rp 120.000 dan cartridge sebesar Rp 40.000. Dalam sebulan, pengeluarannya untuk rokok elektrik setidaknya sebesar Rp 640.000.
Seiring dengan berjalannya waktu, perusahaan pemasok rokok elektrik terus memanjakan penggunanya. Muncul jenis rokok elektrik baru yang lebih ringkas, yakni jenis pod system. Komponen dalam rokok elektrik ini dijual dalam satu paket.
Jika Fendy masih mengisap satu bungkus rokok konvensional dalam 3-4 hari, dalam sebulan setidaknya ia harus membeli sekitar 10 bungkus rokok. Jika satu bungkus rokok diasumsikan sebesar Rp 25.000, dalam sebulan Fendy harus merogoh kocek senilai Rp 250.000.
”Memang jatuhnya jadi boros. Tapi karena saya ingin berhenti merokok, ya, bagaimana lagi,” katanya.
Salah satu yang menggoda Fendy untuk mengisap rokok elektrik sesering mungkin adalah aromanya yang segar dan tidak meninggalkan bekas. Aroma tersebut, menurut dia, juga disukai orang-orang di sekitarnya. Bahkan, ia kerap menggunakannya di ruangan tertutup, seperti ruang kerja dan mobil.
”Tidur juga menjadi lebih nyenyak walaupun ada juga efek sampingnya. Nafsu makan bertambah sehingga badan tambah gemuk,” ujarnya.
David Fahrizal, karyawan swasta asal Semarang, Jawa Tengah, menggunakan rokok elektrik semenjak 2016. Sejak saat itu, ia mampu meninggalkan rokok konvensional. Hanya saja, kini ia justru belum bisa melepaskan kebiasaannya mengisap rokok elektrik.
Saat ini, ia masih setia menggunakan rokok elektrik jenis mod seharga Rp 5 juta. Ia rela mengeluarkan biaya besar untuk membeli rokok elektrik jenis ini agar bisa leluasa mengatur kadar nikotin. Pengguna rokok elektrik jenis ini juga harus piawai mengatur penggunaan kapas dan kawat untuk menghasilkan aroma yang diinginkan.
”Kalau menggunakan pod, pengaturannya tergantung pabrikan. Kalau yang saya pakai, bisa mengatur kadar nikotin yang kita butuhkan,” katanya.
Semakin digemari
Menurut Adam (24), karyawan Vape Store di kawasan Jakarta Selatan, rokok elektrik jenis pod system lebih banyak digemari ketimbang rokok elektrik mod. Sebab, rokok elektrik ini terkesan lebih simpel. Selain itu, bentuknya lebih kecil dan harganya juga lebih murah.
”Harga rokok elektrik jenis pod system berkisar Rp 200.000-Rp 700.000. Adapun rokok elektrik mod berkisar Rp 1 juta-Rp 5 juta,” katanya.
Adam menyebutkan, dalam sehari ada 5-20 pengunjung yang datang ke gerainya. Pengunjung yang datang biasanya berasal dari kalangan mahasiswa. Sebagian besar untuk membeli cairan dan mengganti cartridge.
Menurut data Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), hingga 2018, pengguna rokok elektrik di Indonesia diperkirakan mencapai 1,2 juta orang.
Sementara itu, riset dari Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Profesor Dr Hamka menyebutkan bahwa prevalensi remaja pengguna rokok elektrik pada 2018 mencapai 11,9 persen (Kompas, 15 Oktober 2020).
Baca juga : Dilema Industri Pengolahan Tembakau
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menilai, penggunaan rokok elektronik untuk membantu menghilangkan kebiasaan merokok dinilai kurang tepat. Menurut dia, rokok elektronik memiliki beberapa persamaan dengan rokok konvensional. Salah satunya, sama-sama memiliki kandungan nikotin.
Kandungan nikotin tersebut memberikan dampak ketagihan dan dampak jangka panjang yang berkaitan dengan penyakit kardiovaskular. Selain itu, di dalam nikotin juga terdapat nitrosamin, yakni senyawa karsinogen yang dapat memicu kanker.
”Studi-studi di luar negeri banyak membuktikan bahwa rokok elektronik mengandung karsinogen seperti halnya rokok konvensional dalam tarnya,” ujarnya.
Agus mengatakan, selama ini masyarakat yang hendak berhenti merokok kesulitan untuk mengatasi rasa ketagihan mereka. Oleh sebab itu, mereka perlu mengikuti program berhenti merokok melalui layanan kesehatan yang biasanya berlangsung hanya selama tiga bulan.
Saat ini, setidaknya sudah ada 100 dokter spesialis paru-paru yang dilatih oleh PDPI untuk melayani program ini. ”Cara yang ditempuh juga bisa melalui hipnoterapi atau akupunktur. Modalitas yang dilakukan bisa disesuaikan dengan layanan yang tersedia di rumah sakit,” ujarnya.