Pengaturan kampanye di dunia virtual serta secara khusus di medsos bakal segera dibenahi. Hal ini menyusul relatif makin banyak dan beragamnya jenis-jenis serangan siber yang berpotensi mengganggu integritas pilkada.
Oleh
Ingki Rinaldi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengaturan kampanye di dunia virtual serta secara khusus di media sosial bakal segera dibenahi. Hal ini menyusul relatif makin banyak dan beragamnya jenis-jenis serangan siber yang berpotensi mengganggu integritas Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020.
Sejauh ini, pengaturan mengenai kampanye terkait Pilkada 2020 terdapat di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 16 Tahun 2019. KPU juga pernah menerbitkan PKPU Nomor 4/2017 tentang kampanye pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau wali kota dan wakil wali kota.
Anggota KPU, Ilham Saputra, saat dihubungi pada Selasa (25/2/2020), di Jakarta, menyebutkan bahwa KPU akan melakukan revisi terhadap PKPU terkait sejumlah perkembangan di dunia siber. Hal ini alih-alih membuat PKPU baru yang secara tersendiri mengatur ihwal kampanye dalam pilkada.
KPU akan melakukan revisi terhadap PKPU terkait sejumlah perkembangan di dunia siber. Hal ini alih-alih membuat PKPU baru yang secara tersendiri mengatur ihwal kampanye dalam pilkada.
Namun, Ilham belum memastikan kapan proses revisi PKPU tersebut bakal dimulai. Ia hanya menyebutkan bahwa proses itu akan dilakukan secepatnya.
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum, Mochammad Afifuddin, pada hari yang sama mengatakan bahwa pengaturan kampanye di media sosial membutuhkan kerja sama dengan banyak pihak. Jika kampanye di ranah digital itu terlalu longgar atau bahkan tidak diatur, praktiknya dikhawatirkan makin tidak terkendali.
”Khawatirnya, (jika terlalu longgar atau tidak diatur), kampanye di medsos semakin brutal,” kata Afifuddin.
Ia menambahkan, bahkan pengaturan biaya kampanye di media sosial cenderung belum diatur. Hal ini berbeda dibandingkan denan pengeluaran ongkos kampanye di media massa, termasuk media penyiaran seperti televisi dan radio yang sudah diatur.
Terkait dengan sebagian daerah tertentu yang diindikasikan lebih rawan berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu, potensi eskalasi kerawanannya cenderung makin besar tatkala terpapar konten disinformatif atau hoaks di media sosial. Afifuddin menyebutkan, hal itu dapat dipelajari dari pelaksanaan Pemilu 2019.
Potensi eskalasi kerawanannya cenderung makin besar tatkala terpapar konten disinformatif atau hoaks di media sosial.
Kondisi ini relatif belum terlalu memengaruhi kerawanan jika dibandingkan dengan Pilkada 2015. Afifuddin menyebutkan bahwa pada Pilkada 2015 keberadaan hoaks dan gangguan siber lainnya belum terlalu ramai seperti saat sekarang.
Dosen hukum siber Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Awaludin Marwan, menambahkan bahwa penyelenggara pemilu sangat memerlukan prosedur operasi standar untuk mendeteksi ancaman siber. Selain itu yang juga tak kalah penting ialah memiliki kemampuan respons terhadap insiden siber yang terjadi.