Aramco, perusahaan minyak terbesar Arab Saudi, memulai pengembangan produksi minyak dan gas serpih. Selama ini, teknologi dan pengembangan minyak dan gas serpih banyak dilakukan Amerika Serikat.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
DAMMAM, SELASA — Perusahaan minyak milik negara Arab Saudi, Aramco, Selasa (25/2/2020), memulai pengembangan dan eksploitasi minyak dan gas serpih terbesar di luar Amerika Serikat. Pengembangan minyak dan gas serpih ini diproyeksikan untuk menjaga suplai gas domestik Arab Saudi dan juga memulai masa transisi berakhirnya penggunaan minyak untuk pembangkit tenaga listrik.
Peresmian pengembangan produksi minyak dan gas serpih ini dimulai setelah Aramco memperoleh persetujuan dari otoritas setempat untuk mengembangkan sumber minyak dan gas serpih di ladang minyak Jafurah, Ghawar, yang termasuk dalam wilayah provinsi Al-Ahsa, Sabtu (22/2) lalu.
”Program dan teknologi pengembangan yang baru akan berlangsung di Arab Saudi. Banyak pihak memperkirakan, pengembangan teknologi terbaru untuk menambang (mengeluarkan) minyak dan gas dari bawah tanah tidak akan sukses kalau dilakukan di luar Amerika Serikat. Namun, kami akan menggunakan teknologi yang baru,” kata CEO Aramco Amin Nasser kepada kantor berita Reuters.
Diperkirakan, potensi penjualan gas dari ladang Jafurah ini mencapai 2,2 triliun kaki kubik hingga tahun 2036 dan tambahan produk lainnya dari ladang ini adalah gas etana, bahan dasar produk plastik, sebanyak 425 juta kaki kubik per hari. Ladang minyak dan gas ini mampu memproduksi gas cair dan kondensat lain sebanyak 550.000 barel per hari. Total potensi gas di ladang ini yang belum tergali mencapai 200 triliun kaki kubik.
Metoda baru
Aramco menyuntikkan dana sekitar 110 juta dollar AS untuk pengembangan dan eksploitasi ladang gas Jafurah. Sejak 2013, Aramco sudah menyiapkan 150 sumur bor sebagai persiapan pengembangan tahap selanjutnya dari proyek gas serpih ini.
Berbeda dengan gas alam yang diekploitasi secara konvensional, gas serpih ini menggunakan metoda penyemprotan cairan bertekanan tinggi untuk mengeluarkan gas dan minyak yang ada di lapisan bebatuan di dasar bumi. Cairan bertekanan tinggi, yang biasanya terdiri dari air dan larutan kimia, akan membuat retakan-retakan (fracking) di bebatuan dan membebaskan gas serta minyak yang ada di dalamnya untuk disedot dan dialirkan ke permukaan tanah.
Untuk mengembangkan teknologi ini, Aramco bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan pertambangan AS, seperti Schlumberger, Halliburton Co dan Baker Hughes Co. Teknologi fracking seperti ini sudah diterapkan di banyak ladang minyak dan gas serpih di AS.
Nasser mengakui, teknologi ini tidak terlalu banyak berhasil dalam proses eksplorasi dan eksploitasinya di luar Amerika Serikat. Namun, dengan proses uji coba dan pengembangan yang dilakukan Aramco bersama perusahaan-perusahaan ternama AS itu, Nasser meyakini bahwa teknologi fracking dengan menggunakan air laut itu akan berhasil di Jafurah.
Pemilihan air laut untuk menembus bebatuan, menurut Nasser, menjadi pilihan yang tepat karena akses mereka ke laut sangatlah dekat. ”Air laut memang tidak akan langsung digunakan, tetapi akan direkayasa agar kondisinya tepat untuk menembus bebatuan di bawah bumi. Tidak hanya itu, Jafurah juga dengan ladang minyak Ghawar. Jadi, dekat dengan sumber energi,” kata Nasser.
Pengggunaan air laut dan pasir yang ada di sekitar lokasi membuat biaya operasional ladang Jafurah menjadi lebih ekonomis. Nasser mengklaim, eksploitasi gas serpih di Jafurah adalah yang terbesar di luar kawasan Amerika Utara.
Eksploitasi gas serpih di ladang Jafurah ini merupakan salah satu bagian dari rencana besar Pangeran Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada produksi minyak dan gas alam mereka.
Jika produksi gas serpih ini berjalan mulus, Arab Saudi bisa mengurangi penggunaan minyak hingga 800.000 barel per hari yang selama ini digunakan untuk pembangkit listrik di negara tersebut. Hal ini juga sejalan dengan keinginan MBS untuk perlahan-lahan meninggalkan ketergantungannya dari minyak ke gas bumi.
Bukan tidak mungkin, dengan potensi 425 triliun kaki kubik gas, Aramco dan Arab Saudi menjadi penguasa sumber energi terbarukan terbesar di dunia. ”Jika hasil produksinya memuaskan dan memenuhi standar ekspor, kami akan mengekspornya ke negara yang membutuhkan,” kata Nasser.
Tidak hanya menjadi penguasa sumber energi terbarukan, ketergantungan Arab Saudi pada impor gas Qatar juga berakhir.