Konflik internal di tubuh Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia beberapa tahun terakhir memuncak dengan pencopotan Direktur Utama TVRI, Helmy Yahya. Polemik itu masih berlanjut hingga sekarang
Oleh
Caecilia Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Pro-kontra penanganan kisruh internal di Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia berlanjut. Jika polemik ini dibiarkan, pelayanan TVRI sampai ke daerah akan terganggu.
Dalam pernyataan resmi, Rabu (26/2/2020), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, penambahan wewenang Dewan Pengawas (Dewas) TVRI menjadikan kegiatan operasional terganggu, lambat, dan berpotensi menimbulkan ketidakharmonisan hubungan kerja Dewas dan Direksi LPP TVRI. Hal ini menjadi salah satu temuan permasalahan signifikan di Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Efektivitas Penerapan Regulasi dalam Menunjang Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Lembaga Penyiaran Publik pada LPP RRI dan TVRI Tahun Anggaran 2017 hingga Semester I-2019.
Sebagai contoh, BPK menilai ketentuan Keputusan Dewas LPP TVRI Nomor 2 Tahun 2018 tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Dewas TVRI dianggap menambahkan sendiri ketentuan, seperti mengangkat tenaga ahli atau komite untuk membantu pelaksanaan tugas serta menetapkan besaran gaji dan tunjangan bagi direksi.
Selain itu, Dewas diduga menambahkan syarat pemberhentian direksi melalui hasil penilaian tidak memuaskan atau tidak lulus. Hal ini dinilai BPK menyalahi pasal 24 ayat (4) PP tersebut. Syarat pemberhentian menurut pasal 24 ayat (4) adalah tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan, terlibat merugikan lembaga, dipidana dengan keputusan hukum tetap, dan tidak memenuhi syarat sebagai dewan direksi.
Jika konflik di tubuh TVRI terus berlanjut, operasional TVRI sampai ke daerah akan terganggu.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan lima hal. Salah satunya adalah meminta Dewas dan Dewan Direksi LPP TVRI berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Hukum dan HAM untuk merevisi PP Nomor 12 Tahun 2005 tentang LPP RRI dan PP Nomor 13 Tahun 2005 tentang TVRI, terutama yang terkait dengan tugas dan fungsi dewas-dewan direksi, pemberhentian dewas, serta pengangkatan dan pemberhentian dewan direksi.
Anggota Komisi I DPR, Muhammad Farhan, Jumat (28/2/2020), di Jakarta, mengatakan dirinya sepakat dengan rekomendasi BPK. Alasan dia adalah pangkal masalah di internal LPP TVRI ataupun RRI ada di PP Nomor 12 Tahun 2005 dan PP Nomor 13 Tahun 2005 yang memberikan kewenangan struktural kepada dewas. Dewas menjadi sangat berkuasa untuk memberhentikan direksi. Surat pemberhentian harus ditandatangani presiden berdasarkan rekomendasi DPR. Ketika lembaga eksekutif dan legislatif menangani dewas TVRI ataupun RRI, hal itu dianggap berlebihan.
Dari sisi program, dia memandang, hal terpenting adalah TVRI dan RRI harus jadi pihak akhir yang memverifikasi informasi nasional. Sementara untuk urusan arus informasi dan data, keduanya harus tetap memegang prinsip tetap bekerja ketika semuanya gagal.
"Ketika Dewas TVRI mengangkat persoalan TVRI di program, saya tidak melihat hal itu sebagai permasalahan signifikan karena direksi memang tidak melanggar fungsi verifikator final informasi nasional. Lagipula, dari dulu, penonton TVRI sudah menonton siaran Liga Jerman dan dokumentasi flora/fauna dari jaringan internasional," ujar dia.
Muhammad menambahkan,TVRI semestinya kaya konten yang dikemas kreatif. Sebagai contoh, video berbentuk saduran berdurasi sampai 20 detik agar kompatibel saat ditayangkan di gawai. Sementara RRI disarankan membuat podcast yang kredibel, bersifat netral, akomodatif, dan tidak sekadar jadi korona pemerintah. Dengan upaya seperti itu, RRI tetap menjalankan fungsi diseminasi informasi.
"Pengelolaan LPP seharusnya fokus ke konten, bukan ke pertengkaran berebut kewenangan. Sejauh ini, Komisi I DPR masih satu suara mengenai fokus tersebut," imbuh dia.
Audit tidak utuh
Ketua Panitia Khusus Undang-Undang Penyiaran 2002, sekaligus pengamat penyiaran, Paulus Widiyanto saat ditemui terpisah, menganggap, BPK tidak memberikan informasi audit pengelolaan LPP TVRI secara utuh. Duduk perkara kisruh bermula dari direksi, tetapi justru tidak terangkat.
Dalam konteks kisruh pencopotan Helmy Yahya sebagai direktur utama, Paulus melihat setidaknya ada empat ketentuan PP Nomor 13 Tahun 2005 yang dilanggar. Pertama, direksi terlibat dalam tindakan yang merugikan lembaga yaitu berupa hutang anggaran 2019 ke 2020 sebesar Rp 41,1 miliar. Ini melanggar pasal 24 ayat 4 (b).
Pelanggaran kedua adalah inkoordinasi, diikuti tidak patuh, serta membuat revisi rencana kegiatan dan anggaran tahunan (RKAT) tanpa persetujuan. Dia bahkan menerangkan, pembuatan RKAT tanpa persetujuan juga melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Dia mengkhawatirkan, pihak internal TVRI sekarang terpecah. Jika kondisi ini berlanjut, operasional TVRI sampai ke daerah akan terganggu.
"Industri penyiaran berkembang pesat dan membentuk pola konsumsi baru. Pemain industri dari swasta banyak bermunculan, bahkan di antaranya tidak berlisensi dan tidak ada regulasinya. Salah satunya berwujud aplikasi internet atau over-the-top (OTT)," ujar Paulus. Beberapa perusahaan stasiun televisi swasta belakangan mengembangkan OTT untuk memudahkan pemutaran konten secara beraliran langsung (streaming).
Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat Thamrin, Minggu (1/3/2020), di Jakarta, menyampaikan, dewas menghormati hasil audit kinerja oleh BPK yang memberikan beberapa rekomendasi, antara lain pentingnya revisi PP Nomor 13 Tahun 2005, upaya penegasan status dan kedudukan dewas dan kewenangannya, serta tata hubungan dewas dan dewan direksi TVRI.
Sebelum hasil audit resmi diterbitkan oleh BPK, keduanya menyebut dewas sudah berusaha memberikan tanggapan, termasuk alasan terbitnya Peraturan Dewas mengenai Tata Hubungan Dewan Pengawas dengan Dewan Direksi, kedudukan dewas TVRI yang proses pemilihannya dipilih oleh DPR melalui uji kepatutan dan ditetapkan oleh Presiden.
"Dewas tetap menjaga agar kondisi internal TVRI tetap normal dan kondusif. Pelaksanaan operasional siaran berjalan baik dengan prinsip mengedepankan kepentingan publik. Apabila ada beda pendapat, kami mengutamakan akan selalu menyelesaikan secara internal dengan mengacu pada tata aturan dan hukum yang berlaku," kata Arief.