Hingga akhir Februari 2020, bakal pasangan calon dari Papua tercatat sebagai pemohon sengketa pencalonan ke Bawaslu terbanyak.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sengketa pencalonan dalam pilkada 2020 kembali didominasi oleh bakal pasangan calon dari Provinsi Papua. Hal serupa terjadi pada pilkada tahun sebelumnya.
Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga 28 Februari lalu, ada 24 permohonan sengketa pencalonan ke lembaga pengawas pemilihan tersebut. Dari jumlah tersebut, tujuh diantaranya berasal dari Provinsi Papua. Dua permohonan berasal dari Papua Barat. Selebihnya, berasal dari Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku Utara, dan Maluku.
Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, Senin (2/3/2020) mengatakan, berdasarkan karakteristik sengketa pada Pemilu 2019, sengketa proses terbanyak berasal dari Papua. Sejumlah hal diduga menjadi latar belakanganya. Beberapa kemungkinkan di antaranya adalah penduduk yang sudah peduli terhadap proses yang terjadi. Selain itu, kemungkinan calon kepala daerah atau calon anggota legislatif yang peduli terhadap mekanisme di Bawaslu.
“Atau kompetisinya lumayaan tinggi di Papua,” sebut Bagja.
Terkait pilkada 2020, Bawaslu masih menunggu bakal pasangan calon perseorangan yang memohonkan sengketa hingga Selasa (3/3/2020) untuk melakukan perbaikan berkas. Proses ini untuk memastikan apakah permohonan sengketa terkait bisa dianggap memenuhi syarat ataukah ditolak.
Bagja mengatakan, berdasarkan data terakhir hingga Senin itu, ada sekitar tiga permohonan sengketa yang ditolak. Sekitar dua permohonan sudah diregister atau diberi nomor pendaftaran perkara. Adapun permohonan lainnya masih dilakukan pengecekan termasuk di dalamnya kemungkinan proses perbaikan berkas menyusul sebagian persyaratan yang belum dilengkapi.
Biaya Mahal
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, proses sengketa itu juga terkait dengan kapabilitas masing-masing individu dalam jalur perseorangan yang relatif masih dipertanyakan. Terkait dengan hal tersebut, memang masih ada sebagian kalangan yang masih berpandangan sangat sederhana terhadap politik.
Kalangan tersebut, imbuh Firman, tidak terlalu komprehensif dalam memahami politik. Sebagian di antara mereka cenderung hanya menggunakan pendekatan populis untuk mengatakan situasi saat ini tidak baik. Partai-partai politik, lantas disalahkan dalam menyebabkan situasi yang seperti ini.
Hanya saja, imbuh Firman, dari beberapa kasus menunjukkan bahwa pada akhirnya calon perseorangan tetap harus bergantung pada kekuatan finansial yang besar. Maka sekalipun calon perseorangan itu memang bisa terbebas dari jebakan partai politik, namun bisa jadi terjebak pada oligarki pemilik modal.
Pada intinya, imbuh Firman, baik calon yang diusung oleh partai politik maupun dari jalur perseorangan, sama-sama tidak bisa menjamin bahwa mereka akan lepas dari kepentingan oligarki. Ini masih ditambah dengan mahalnya biaya politik.
“Tidak terlalu yakin saya (bahwa) orang-orang itu (calon perseorangan) bisa membiayai itu (proses pencalonan) sendirian,” sebut Firman.
Pada dimensi lain terkait sengketa dalam proses tersebut, Firman menyebutkan bahwa sejumlah sengketa yang terjadi selain mengerucut pada kepentingan setiap orang, sesungguhnya juga pada kepentingan politik partai. Hal ini menyusul kecenderungan partai politik untuk tidak bisa menerima begitu saja dan memberikan peluang pada pihak lain untuk unggul dalam perbutan kekuasaan.
“Dan memang karakter partai ini kan tetap untuk menjadi lembaga yang leading dalam perebutan kekuasaan,” sebut Firman.