Tujuh Juta Anak Tanpa Akta Kelahiran. Hak-hak Mereka Terabaikan
Fenomena jutaan anak Indonesia tanpa akta kelahiran adalah persoalan serius. Karena tak memiliki bukti identitas, anak-anak sering dikecualikan dari pendidikan, perawatan kesehatan dan layanan vital lainnya.
Lebih dari 15 tahun, pasangan Madjukarto Sarno (52) dan Maria Mardiana (34) menikah. Mereka memiliki enam anak. Namun, hingga kini tidak satupun dari anak-anak mereka mengantongi akta kelahiran. Untuk bersekolah, mereka hanya mengandalkan surat keterangan lahir dari bidan tempat Mardiana melahirkan.
Warga Sasak Jikin, Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat ini menikah resmi sekitar 15 tahun yang lalu di Bekasi. Karena Sarno berasal dari Cilacap, Jawa Tengah, mereka sempat tinggal di Cilacap.
“Sekitar 12 tahun yang lalu, semua surat hilang mulai dari surat nikah, kartu tanda penduduk, hingga kartu keluarga. Tas tempat menyimpan surat-surat itu raib ketika saya naik bus. Saya sudah mencoba mengurus surat hilang dari Kepolisian kemudian ke Kelurahan dan Kantor Urusan Agama, tapi enggak dapat-dapat. Katanya kami harus menikah ulang baru bisa urus semua surat-surat,” papar Mardiana, Selasa (2/3/2020).
Berulang kali mengurus ke Kelurahan tapi gagal, Mardiana dan suami akhirnya pasrah. Anak-anaknya masih bisa sekolah dengan berbekal surat keterangan kelahiran dari bidan tempat Mardiana melahirkan. Pernah ada calo yang menawarkan mau membantu mengurus surat-suratnya, tapi karena ongkosnya Rp 3 juta, mereka akhirnya tak mampu bayar.
“Mau bagaimana lagi. Kami sih pinginnya kayak orang lain, punya surat-surat yang lengkap mulai dari surat nikah, kartu keluarga, hingga KTP supaya bisa bikin akta lahir untuk anak-anak biar gampang sekolahnya. Kalau mau daftar sekolah anak, kami harus mikir-mikir karena enggak punya akta kelahiran,” ujarnya.
Ketika tidak punya akta kelahiran, anak akan sulit mengakses pendidikan, bantuan sosial, dan lain-lain.
Dari keenam anak mereka, si anak sulung A (17) hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 2 SMP. Sementara itu, dua adiknya, Sa (10) dan Na (8) bersekolah menggunakan surat tanda kelahiran, dan tiga adiknya lagi, Ni (5), Na (4), serta Jo (5 bulan) belum bersekolah.
Anak-anak Mardiana dan Sarno hanyalah salah satu potret dari jutaan anak di Tanah Air, yang belum memiliki akta kelahiran. Akta kelahiran memang hanya berupa selembar surat, tapi secarik kertas tersebut memiliki arti penting karena menjadi penanda identitas diri seorang anak. Di dalamnya melekat hak sipil dan politik seseorang sebagai warga negara.
Dengan mengantongi akta kelahiran, seorang anak mendapat pengakuan dari negara secara hukum. Kepemilikan akta kelahiran dijamin dalam undang-undang. Bahkan, Pasal 28 D Ayat (4) UUD 1945 jelas menyatakan, “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”. Begitu juga Pasal 5 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan, “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”. Identitas anak diberikan semenjak kelahirannya.
Masih tujuh juta
Faktanya, hingga kini masih ada sekitar tujuh juta anak di Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran. Mereka tidak tercatat dalam administrasi kependudukan resmi negara. Dampaknya, mereka sulit mendapatkan berbagai layanan sosial dari pemerintah.
“Ketika tidak punya akta kelahiran, anak akan sulit mengakses pendidikan, bantuan sosial, dan lain-lain. Tak hanya itu, mereka akan rentan terhadap perkawinan anak dan perdagangan orang,” ujar Jasra Putra, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak.
Menurut Jasra, hingga 2019 berdasarkan pencapaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, kepemilikan akta kelahiran secara nasional melebihi 85 persen, yakni 90,94 persen. Dari jumlah total 81.632.355 anak di Indonesia tahun 2019, baru 74.235.738 anak yang memiliki akta kelahiran. Sisanya, 7.396.617 anak masih belum mempunyai akta.
Provinsi dengan anak-anak yang belum mengantongi akta kelahiran tertinggi adalah Papua, Papua Barat, dan Maluku. Ini rapor terakhir dari Kemendagri. Pada RPJMN 2020-2024, pemerintah menargetkan semua anak harus 100 persen memiliki akta kelahiran. "Mudah-mudahan angka 7 juta tersebut bisa dicapai,” kata Jasra.
Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah perlu lebih serius membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya kepemilikan akta kelahiran. Upaya ini harus dilakukan dengan bersinergi lintas lembaga dan dinas, terutama di daerah-daerah. Program mesti dijalankan secara pro aktif dengan menjemput bola agar masyarakat segera mengurus dokumen kependudukan tersebut.
Pencapaian Indonesia dalam memberikan akta kelahiran anak, mendapat perhatian UNICEF. Akhir Tahun 2019 lalu, UNICEF merilis bahwa secara historis, tingkat registrasi kelahiran relatif tinggi terjadi di Asia Timur dan Pasifik. Ada peningkatan laju perubahan pada beberapa tahun terakhir.
Pertahankan laju kemajuan
Tak hanya itu, UNICEF memperkirakan, negara-negara di wilayah Asia Timur dan Pasifik dapat meraih pencapaian pencatatan kelahiran universal pada tahun 2030. Beberapa negara yang sudah berada di jalur kemajuan, yaitu Kamboja dan Indonesia. Proyeksi itu hanya akan bisa dicapai, jika negara-negara tersebut memenuhi sejumlah syarat.
Syarat tersebut tidak mudah dipenuhi. Apalagi, catatan UNICEF hingga akhir 2019 menemukan jumlah anak yang kelahirannya tercatat secara resmi meningkat tajam di seluruh dunia. Namun, 166 juta anak berusia di bawah lima tahun, atau 1 dari 4, masih tidak terdaftar. Di Asia Timur dan Pasifik, masih 14 juta anak berusia di bawah lima tahun yang belum tercatat.
“Kita telah meraih kemajuan yang besar, tetapi terlalu banyak anak yang tidak terhitung dan tidak diperhitungkan,” kata Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore.
Baca juga: Akta Kelahiran Anak, Bukti Legal Kehadiran di Dunia
Indonesia boleh dikata sudah mengalami kemajuan. Lebih dari 40 tahun yang lalu, anak-anak yang mengantongi akta kelahiran masih minim. Pemberitaan Kompas, pada 7 Februari 1977 menyebutkan, ratusan bahkan lebih dari 1.000 lulusan sekolah lanjutan atas (SLTA), yang mendaftarkan diri untuk menjadi calon mahasiswa di Institut Teknologi Bandung tidak mempunyai akta kelahiran. Hal ini terjadi setiap tahun dan baru diketahui pada saat pendaftaran calon mahasiswa.
Pencapaian pemerintah hingga 2019 yang menerbitkan akta kelahiran mencapai 90 persen dari jumlah anak di Indonesia patut diapresiasi. Sebab, empat tahun lalu, tahun 2016, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik menunjukkan kepemilikan akte kelahiran anak usia 0-17 tahun hanya sekitar 66,30 persen.
Mengapa pencatatan kelahiran rendah? Sebagian besar masyarakat mengakui tidak punya biaya untuk mengurus akta kelahiran (33 persen), meskipun biayanya gratis. Jarak antara kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) dengan desa tempat tinggal menjadi kendala bagi masyarakat untuk mengurus akta kelahiran.
Susenas BPS 2017, menemukan, provinsi dengan kepemilikan akte kelahiran anak terendah adalah Papua (54,28 persen), Nusa Tenggara Timur (43,11 persen), Sulawesi Tengah (28,45 persen), Papua Barat (28,18 persen), dan Sumatera Utara (27, 90persen).
Pada Juli 2018, lalu, Kompas mendatangi Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Dari data Profil Perkembangan Kependudukan Kabupaten TTS Tahun 2017, persentase kepemilikan akta kelahiran di TTS berdasarkan versi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) tahun 2016 sangat rendah.
Di tingkat kabupaten, dari jumlah penduduk 475.373 jiwa di TTS hanya 93.729 jiwa atau 19,72 persen yang memiliki akta kelahiran. Bahkan, di tingkat kecamatan, persentase kepemilikan akta lahir di bawah 10 persen, seperti di Kecamatan Amanatun Utara, Toianas, dan Kualin. Mengatasi hal tersebut, sejak beberapa tahun terakhir, Pemkab TTS melakukan aksi jemput bola. Hasilnya, penduduk yang datang mengurus akta kelahiran terus meningkat.
Hak sipil
Memiliki akta kelahiran merupakan bagian dari hak sipil yang dilindungi konstitusi. Pemberian akta kelahiran anak, menjadi salah satu pemenuhan hak anak untuk mendapatkan identitas. Hak atas identitas melalui akta kelahiran sejalan dengan Konvensi PBB 1989 mengenai hak-hak anak yang diatur dalam Pasal 7, yang diratifikasi Indonesia sejak 1990.
Pasal 7 menyebutkan semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahiran dan harus mempunyai nama serta kewarganegaraan. Pencatatan atau akta kelahiran merupakan bukti sah mengenai status dan peristiwa kelahiran seseorang yang dikeluarkan oleh Dinas Dukcapil. Setiap anak yang dilaporkan kelahirannya akan terdaftar dalam Kartu Keluarga (KK) dan diberi nomor induk kependudukan (NIK) sebagai dasar untuk memperoleh pelayanan masyarakat lainnya.
Pencatatan kelahiran anak-anak melalui penerbitan angka kelahiran tidak bisa diabaikan lagi, agar ada kepastian identitas bagi anak-anak yang menjadi generasi penerus bangsa.
Tanpa akta kelahiran, menurut Hendrietta Fore, seorang anak yang tidak terdaftar saat lahir artinya ia tidak terlihat atau tidak ada di mata pemerintah atau hukum. Tanpa bukti identitas, anak-anak sering dikecualikan dari pendidikan, perawatan kesehatan dan layanan vital lainnya. Mereka lebih rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan.
Jika ingin mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SGDs) 2030, maka pemerintah Indonesia harus memastikan tidak ada satu anak pun yang tertinggal dalam pencatatan kelahirannya. Tujuh juta anak Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran merupakan besar yang menjadi pekerjaan serius untuk dibenahi.