Awas “Pengail” di Tengah Kepanikan akibat Virus Korona
›
Awas “Pengail” di Tengah...
Iklan
Awas “Pengail” di Tengah Kepanikan akibat Virus Korona
Warga yang mengkhawatirkan dampak wabah Covid-19 memburu sejumlah barang di pasar dan pusat perbelanjaan. Jangan sampai, ketakutan ini dimanfaatkan ”pengail ikan di air keruh” demi keuntungannya sendiri.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Selasa (3/3/2020), mengumumkan hasil penelitiannya di Jabodetabek dan seluruh wilayah kerja KPPU terkait lonjakan harga masker di pasaran sebulan terakhir. Hasilnya, tidak ada dugaan pelanggaran dalam perdagangan masker. Belum ada pula pelaku usaha yang melanggar aturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Lonjakan harga masker dipicu ketimpangan permintaan dan penawaran. Permintaan meningkat signifikan seiring penyebaran virus korona baru (Covid-19). Namun, suplainya tak mampu mengimbangi lonjakan itu meski pemerintah mencatat ada 28 perusahaan produsen, 55 distributor, dan 22 importir masker di Indonesia.
Akan tetapi, meski disebut belum ditemukan pelanggaran, harga telanjur ”gila-gilaan”. Tak hanya masker, sejumlah produk turut diburu warga, seperti cairan antiseptik/disinfektan, sejumlah bahan pangan pokok, dan rempah-rempah yang disebut berkhasiat meningkatkan daya tahan tubuh. Harga jahe, serai, kunyit, dan temulawak di pasar melonjak di atas harga normal.
Kekhawatiran warga bakal terpapar virus menggiring mereka ke pusat-pusat perbelanjaan. Selain produk-produk yang disebut membantu pencegahan penularan virus, warga juga membeli bahan-bahan kebutuhan pokok untuk meningkatkan cadangan pangannya, seperti beras, gula, dan mi instan.
Pemerintah berulang menjamin pasokan bahan pokok terjaga dengan harga stabil. Beberapa langkah ditempuh, seperti memantau pergerakan harga, mengancam bakal menjatuhkan sanksi kepada spekulan yang memanfaatkan situasi untuk mengeruk untung, serta menerbitkan persetujuan impor 438.802 ton gula mentah dan 25.829 ton bawang putih. Namun, ada yang perlu diingat terkait imbauan dan segenap langkah itu, yakni pasar hanya akan tunduk pada hukum penawaran dan permintaan.
Sekencang apa pun imbauan atau ancaman, jika barang tak tersedia di pasar dan permintaan tinggi, pasti bakal naik harganya. Cairan disinfektan kemasan 250 mililiter dengan kandungan alkohol 60 persen yang biasa dijual Rp 35.000, misalnya, kini dijual dengan harga Rp 100.000 di toko-toko daring. Tak sedikit apotek atau toko swalayan kehabisan stok.
Selain pedagang yang ”bermain” dengan mendongkrak tinggi harga barang, kepanikan pasar berpotensi dimanfaatkan sejumlah pihak untuk melonggarkan impor komoditas yang oleh sebagian kalangan dianggap tidak perlu.
Soal impor gula, misalnya, Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menilai tidak perlu. Stok awal tahun gula konsumsi, menurut APTRI, mencapai 1,35 juta ton. Dengan kebutuhan rata-rata 230.000 ton per bulan, total kebutuhan gula selama Januari-Mei 2020 diperkirakan 1,15 juta ton. Oleh karena itu, impor gula tidak diperlukan lagi sebab bakal menjatuhkan harga gula petani. Apalagi, selama ini petani belum mendapatkan harga jual yang layak atas hasil jerih payahnya.
Tambahan impor komoditas lain, seperti bawang putih, daging sapi/kerbau, bahkan beras, terkadang tidak diperlukan karena stok dan produksi lokal sudah cukup atau karena mepet waktunya dengan jadwal panen. Oleh karena itu, keputusan pemerintah membuka pintu impor lebih lebar demi mengantisipasi dampak negatif wabah Covid-19 perlu menghitung dampaknya terhadap produsen dalam negeri, khususnya para petani kecil.
Bisa jadi, benar kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, ”Musuh terbesar kita bukan virus ini sendiri, melainkan ketakutan, rumor, dan stigma.” Jangan sampai, ketakutan ini dimanfaatkan para ”pengail ikan di air keruh” demi kepentingan pundi-pundinya sendiri.