Kesadaran akan perlunya dana abadi dari negara bagi gerakan masyarakat sipil sudah muncul di internal pemerintah. Namun, hal itu belum bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Apakah dana pemerintah itu upaya intervensi?
Oleh
BOW/EDN/INK/REK
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kesadaran akan perlunya dana abadi dari negara bagi gerakan masyarakat sipil sudah muncul di internal pemerintah. Namun, hal itu belum bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Pendanaan ini bukan bentuk intervensi negara karena anggaran negara sejatinya adalah uang rakyat.
Beberapa tahun terakhir, setelah Indonesia dianggap sebagai negara demokratis, lembaga donor tidak tertarik lagi untuk mendanai kelompok masyarakat sipil. Dampaknya, tidak sedikit dari mereka yang mengalami kesulitan pendanaan. Gerakan mereka melemah. Padahal, kehadiran masyarakat sipil yang kuat penting sebagai penyeimbang kekuatan negara.
Masyarakat sipil adalah kelompok terorganisasi yang otonom dari negara. Contoh masyarakat sipil ialah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan keagamaan.
Direktur Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Wariki Sutikno, di Jakarta, Jumat (6/3/2020), mengatakan, ide pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penguatan masyarakat sipil sempat muncul saat penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dana diusulkan dikelola sebuah lembaga khusus.
”Kami siapkan untuk RPJMN selanjutnya setelah 2024”
Ide pendanaan itu berangkat dari kesadaran akan pentingnya masyarakat sipil yang kuat dalam demokrasi. Selain itu, gagasannya juga berangkat dari persoalan pendanaan yang dihadapi beberapa kelompok masyarakat sipil hingga gerakan mereka terus melemah.
Meski demikian, ide tersebut tidak ditindaklanjuti karena belum matang. ”Kami siapkan untuk RPJMN selanjutnya setelah 2024,” katanya.
Ide dana dari APBN itu, Wariki menekankan, jangan disalahartikan negara berkeinginan mengintervensi masyarakat sipil agar tidak kritis pada pemerintah. ”APBN bukan anggaran pemerintah. Esensinya ialah uang rakyat,” ujarnya.
Mengacu hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang melibatkan 504 responden di 17 kota besar di Indonesia, 26-27 Februari 2020, sebanyak 39,1 persen responden menilai pendanaan dari pemerintah menjadi sistem pendanaan terbaik bagi masyarakat sipil. Angka itu setara dengan jumlah responden yang menilai pendanaan dari publik sebagai sistem terbaik.
Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mendukung pendanaan abadi bagi masyarakat sipil. Dana idealnya dianggarkan di APBN, tetapi bisa juga berasal dari dana pertanggungjawaban sosial perusahaan swasta atau filantropi.
Persoalan dalam dunia masyarakat sipil, menurut dia, tidak hanya anggaran. Ketersediaan anggaran juga tetap perlu menjadi perhatian jika ingin jalannya demokratisasi Indonesia berkelanjutan.
”Jangan sampai, kalau kita dapat dana, lalu tidak bisa gugat pemerintah”
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengingatkan, dana dari APBN bagi masyarakat sipil jangan sampai membuat masyarakat sipil kehilangan fungsinya sebagai penyeimbang negara. ”Jangan sampai, kalau kita dapat dana, lalu tidak bisa gugat pemerintah,” katanya.
Tidak sebatas memberikan bantuan, Direktur The Smeru Research Institute Wijayanti juga menekankan pentingnya pemerintah untuk ikut meningkatkan kapasitas LSM. Peningkatan kapasitas berimplikasi terhadap datangnya dana dari berbagai pihak.
Adapun Manajer Program Yappika Hendrik Rosdinar mendorong masyarakat sipil memiliki sumber pendanaan yang variatif. Mereka didorong memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi. ”Kita
juga harus mulai mengatur strategi berkomunikasi dan memodifikasi program-program. Kita harus mengonversi program menjadi bahasa yang mudah dipahami donor, bukan dengan bahasa yang eksklusif,” tambahnya.