Kelanjutan proses politik RUU Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode omnibus law masih belum dapat dipastikan setelah pembahasan RUU itu harus ditunda karena DPR memasuki masa reses. Manuver elit parpol pun gencar.
Oleh
Rini Kustiasih dan Nikolau Herbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kelanjutan proses politik Rancangan Undang-undang Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode omnibus law masih belum dapat dipastikan setelah pembahasan RUU itu harus ditunda karena Dewan Perwakilan Rakyat memasuki masa reses. Kendati demikian, pertemuan antarpimpinan partai politik gencar dilakukan. Selain membahas omnibus law, pertemuan itu juga menjadikan pembahasan kerja sama dalam Pilkada serentak 2020 sebagai salah satu medium komunikasi antarpartai.
Dalam tiga pekan terakhir telah terjadi empat pertemuan pimpinan parpol yang terjadi, yakni antara Golkar dan PKS, Golkar dan Partai Demokrat, Golkar dan Nasdem, serta Nasdem dan Partai Amanat Nasional (PAN). Perkembangan terbaru, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menemui Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Selasa (10/3/2020) di kantor DPP Nasdem, di Jakarta. Dalam pertemuan itu dibahas sejumlah isu, antara lain omnibus law, RUU Pemilu, hingga kemungkinan kerja sama dalam Pilkada Serentak 2020.
“Mana yang bisa disinergikan, baik dari PAN maupun Nasdem, dalam mengusung (calon), spesifiknya belum ada secara keseluruhan. Namun, dalam minggu ini, kami akan tuntaskan"
Surya Paloh mengatakan, dari pertemuan itu, kesepakatan yang muncul adalah rencana koalisi antar-kedua partai di Pilkada 2020. Namun, dia belum bisa memastikan daerah-daerah tersebut. “Mana yang bisa disinergikan, baik dari PAN maupun Nasdem, dalam mengusung (calon), spesifiknya belum ada secara keseluruhan. Namun, dalam minggu ini, kami akan tuntaskan," ujarnya.
Dalam pertemuan itu, elite PAN yang hadir antara lain Ketua Majelis Penasihat Partai (MPP) Hatta Rajasa, Wakil Ketua Umum Viva Yoga, Sekretaris Jenderal Eddy Soeparno, dan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Yandri Susanto. Sementara itu, dari Nasdem, yang tampak hadir selain Surya Paloh ialah Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya.
Terkait sejumlah rancangan UU yang dibentuk dengan omnibus law, Zulkifli berpendapat, pada prinsipnya, PAN sepakat bahwa regulasi sapu jagat itu disusun pemerintah guna memangkas rantai panjang birokrasi sehingga investasi bisa lebih cepat. Namun, Zulkifli meminta kepada pemerintah dan DPR agar tidak menghilangkan kewenangan-kewenangan yang biasa dipegang oleh sejumlah kementerian dan lembaga negara.
"Tentu kami setuju itu (omnibus law), tetapi dengan catatan tidak menghilangkan subtansi kewenangan masing-masing (kementerian dan lembaga). Tentu substansi tidak bisa dipotong, tetapi yang diperpendek adalah birokrasi menjadi singkat dan cepat," katanya.
Sementara itu, Surya Paloh berharap agar proses pembahasan omnibus law dikebut. Menurut dia, bola sekarang berada di tangan DPR. "Sekarang tergantung pimpinan DPR agar untuk segera memusyawarahkannya sesuai dengan proses dan mekanisme yang ada di dewan. Harapan saya, ini bisa berjalan secara lebih cepat," tuturnya.
Apalagi, lanjut Surya Paloh, saat ini pemerintah menghadapi sejumlah pekerjaan rumah untuk membangun perekonomian nasional. Namun, saat ini upaya tersebut masih terhambat sejumlah aturan yang ada. "Bagi saya dan Nasdem, melihat ini adalah upaya yang amat sangat diharapkan bisa mempercepat progress pembangunan nasional yang dihadapkan oleh rintangan atas berbagai kebijakan," ucapnya.
Hindari transaksional
Pengajar Hukum Tata Negara (HTN) Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, tantangan besar dalam politik di Indonesia ialah munculnya politik transaksional. Dengan belum segera dibahasnya RUU Cipta Kerja, ada celah bagi potensi terjadinya politik transaksional di antara partai-partai.
“Partai-partai masih wait and see, yakni dengan melihat respons publik. Sehingga dalam kata lain, proses politik yang resmi masih mengambang atau menggantung karena parpol saling melakukan lobi-lobi. Tidak tertutup kemungkinan barter itu dilakukan dengan daya tawar berupa kerja sama dalam Pilkada 2020,” kata Bivitri.
Sebelumnya, dalam pertemuan antara Golkar dengan PKS, maupun Golkar dengan Demokrat, dan Golkar dengan Nasdem, pembicaraan mengenai kerja sama dalam Pilkada 2020 juga mengemuka. Sekalipun belum ada kata sepakat kerja sama itu dilakukan di mana saja, tetapi pembicaraan untuk kerja sama itu muncul, di samping juga pembahasan mengenai omnibus law.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, insting politisi dalam menyikapi omnibus law ini sedang berjalan. Mereka masih menunggu dan mnegamati respons publik sebelum mengambil sikap atau tindakan apapun terkait rancangan regulasi tersebut.
“Efeknya besar sekali, karena ini akan dampaknya kepada raihan elektoral juga”
“Para politisi insting politiknya berjalan, sebab isu ini bisa menjadi bola panas dan menimbulkan efek ke depan, karena kekuatan buruh dalam politik di Indonesia saat ini juga bukan elemen yang bisa dinafikkan begitu saja,” katanya.
Perkembangan omnibus law kini amat tergantung kepada putusan politik di DPR. Menurut Firman, beberapa partai sudah mulai menghitung segala kemungkinan yang terjadi dengan pembahasan RUU Cipta Kerja. “Efeknya besar sekali, karena ini akan dampaknya kepada raihan elektoral juga,” katanya.
Sebelumnya, PDI-P juga menyatakan telah membentuk tim khusus untuk mendalami omnibus law. Sekjen PDI-P hasto Kristiyanto mengatakan, sebagai parpol pengusung pemerintahan Jokowi-Ma\'ruf, PDI-P ikut memberikan dukungan atas RUU Cipta Kerja. Sebab substansi RUU Cipta Kerja memiliki niatan baik yang memberikan jalan terwujudnya penghidupan yang layak bagi masyarakat. Namun, disadari sepenuhnya oleh PDI-P bahwa ada berbagai aspirasi menyangkut substansi RUU.
"Maka kami mendengar, partai membuka diri terhadap dialog. Karena banyak yang sebenarnya menerima informasi tidak tepat atas RUU Cipta Kerja tersebut sehingga ada kepentingan-kepentingan politik yang menunggangi pembahasan omnibus law ini," kata Hasto.