Penumpang Menilai Pembatasan Layanan Transjakarta Tak Efektif
›
Penumpang Menilai Pembatasan...
Iklan
Penumpang Menilai Pembatasan Layanan Transjakarta Tak Efektif
Penumpang Transjakarta, Arie (32) dan Lala (29), sepakat pembatasan jam operasi angkutan umum membuat halte padat dan penumpang berebutan masuk karena takut tidak kebagian bus.
Oleh
aguido adri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan layanan angkutan umum menyebabkan kepadatan penumpang di halte dan bus Transjakarta. Hal ini justru bertolak belakang dengan upaya menjaga jarak sosial atau social distancing oleh pemerintah untuk mengurangi penularan virus korona baru atau SARS-CoV-2.
Hari pertama pembatasan layanan angkutan umum di DKI Jakarta menyebabkan antrean dan kepadatan di Halte Transjakarta Tosari, Jakarta Pusat, Senin (16/3/2020) sore. Tak hanya itu, para penumpang juga terpaksa berdesakan di dalam bus Transjakarta.
Menurut salah seorang petugas, hampir setiap hari Halte Tosari selalu ramai saat warga pulang kerja pada sore hari. Namun, situasi pada Senin sore lebih padat daripada hari biasa. Meskipun terjadi kepadatan, penumpang tidak berdiri menunggu lama. Setiap lima menit sekali bus Transjakarta tiba mengangkut penumpang.
Penumpang Transjakarta, Andi Firmandi (28), warga Ragunan, Jakarta Selatan, mengatakan, pembatasan yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak efektif dan tidak tepat serta membahayakan.
”Lihat, tidak ada batasan jarak antarpenumpang saat antre dan di dalam bus. Pembatasan ini justru menyebabkan kepadatan penumpang. Ini tentu rawan penyebaran virus. Padahal, pembatasan untuk social distancing. Bagi saya yang masih ke kantor, tentu transportasi publik sangat dibutuhkan,” kata karyawan swasta di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, itu.
Penumpang lainnya, Arie (32) dan Lala (29), sepakat pembatasan jam operasi angkutan umum membuat halte padat dan penumpang berebutan masuk karena takut tidak kebagian bus. Situasi padatnya penumpang dan berdesakan di dalam bus berpotensi cepat menularkan virus.
”Kami tahunya batas jam operasional Transjakarta hanya sampai pukul 18.00. Eh, ternyata diperpanjang hingga pukul 20.00. Ini masalah, lho. Tidak ada pemberitahuan. Wajar kami panik kehilangan atau terlambat naik bus karena jadi padat begini. Bagaimana mau social distancing atau mengurangi penyebaran virus jika caranya salah begini?” tutur Arie.
Arie berharap Pemprov DKI Jakarta mengevaluasi kebijakan pembatasan pergerakan penumpang karena transportasi publik sangat vital, terutama untuk pekerja yang masih harus ke kantor.
”Perlu dikaji pula aturan kerja di rumah itu imbauan atau kewajiban yang harus dilakukan perusahaan. Pikirkan juga kami yang masih ngantor, tetapi ada aturan pembatasan jam operasional angkutan publik dan pergerakan penumpang. Ini menyulitkan kami,” lanjut Arie.
Kemacetan
Pembatasan layanan transportasi publik tidak hanya menyebabkan antrean dan kepadatan, tetapi juga berdampak pada kemacetan, seperti terlihat di Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan MH Thamrin.
Mengetahui ada pembatasan layanan transportasi publik membuat Rito (34), warga Bintaro, saat ditemui di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, mengatakan, dirinya memilih menggunakan mobil pribadi.
”Saya biasanya memakai KRL atau MRT. Saya dengar ada pembatasan layanan sehingga pakai mobil karena saya biasanya pulang di atas pukul 21.00. Kalau tidak pakai mobil, bingung pulang ke rumah pakai apa,” kata Rito.
Kebiasaan menggunakan transportasi publik untuk menghindari macet sudah dilakukan Gina (30), warga Cawang, Jakarta Timur. Namun, karena ada aturan pembatasan layanan transportasi dan upaya untuk social distancing, ia memilih menggunakan layanan transportasi daring.
”Mau bagaimana lagi, lebih baik terjebak macet daripada berdesakan di transportasi publik yang rawan penyebaran virus korona baru. Kalau enggak ada virus, enggak masalah berdesakan. Semoga kita tetap sehat dan wabah cepat berlalu,” ucap Gina.