Sistem Karantina untuk Atasi Covid-19 Butuh Pengawasan Ketat
›
Sistem Karantina untuk Atasi...
Iklan
Sistem Karantina untuk Atasi Covid-19 Butuh Pengawasan Ketat
Karatina wilayah yang menjadi pusat sebaran Covid-19 hanya mungkin dilakukan jika pemerintah memaksakan disiplin ketat kepada warga agar tidak keluar rumah, bepergian, dan bergerombol. Pengawasan juga perlu diperketat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tujuan dari pembatasan sosial ataupun pembatasan fisik serta karantina wilayah tidak akan tercapai jika tidak diiringi dengan pengawasan yang ketat. Pemantauan harus dijalankan secara tegas dan tersistem sampai di RT dan RW agar masyarakat benar-benar sadar dan terlibat untuk mencegah penularan Covid-19.
Kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia terus bertambah. Dari laporan yang disampaikan juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, hingga Minggu (29/3/2020) pukul 15.00, jumlah kasus yang tercatat di Indonesia secara akumulatif sebanyak 1,285 kasus dengan 114 kematian dan 64 pasien sembuh. Kasus tersebut dari sejumlah provinsi dengan kasus tertinggi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur.
Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, menuturkan, potensi transmisi Covid-19 pada masyarakat Indonesia cukup tinggi. Hal ini merujuk pada beberapa indikator yang mendorong potensi tersebut, seperti tingginya jumlah populasi, tingginya populasi yang tinggal di wilayah urban, tingginya populasi yang bepergian, serta tingginya praktik cuci tangan yang tidak benar.
”Sekarang sudah tidak cukup hanya sekadar imbauan. Orang harus sadar benar ancaman Covid-19 ini. Selama dua bulan ini tidak ada edukasi yang masif, padahal ini adalah pengalaman pertama. Jadi, butuh solusi yang agresif dan tegas. Social distancing (pembatasan sosial) harus diwajibkan dan sifatnya mandatori. Jika tidak dilakukan harus ada penalti atau sanksi,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (28/3/2020).
Menurut Pandu, apabila intervensi pemerintah masih longgar seperti saat ini, dengan pengadaan tes massal yang cakupannya rendah serta pembatasan kerumunan yang sifatnya sukarela, jumlah total kumulatif Covid-19 bisa sangat tinggi hingga 2,5 juta kasus. Sementara itu, kapasitas layanan kesehatan Indonesia masih terbatas dan tidak merata.
Karena itu, ia berharap, pemerintah bisa lebih agresif menghadapi penularan Covid-19. Setidaknya terdapat empat hal pokok yang harus dipertimbangkan, yakni mewajibkan pembatasan sosial; perluasan pemeriksaan dengan tes cepat serta uji laboratorium PCR; memberlakukan kebijakan khusus Ramadhan, Lebaran, dan Paskah; serta memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
”Salah satu rekomendasi kami dengan mewajibkan social distancing serempak dalam satu wilayah, yakni Pulau Jawa, dalam periode waktu yang pasti dan bisa diperpanjang sesuai hasil evaluasi. Selain itu, deteksi kasus perlu lebih masif dan menutup perjalanan dari dalam dan ke luar pulau,” katanya.
Secara cepat, ujar Pandu, pemerintah perlu memersiapkan kebutuhan masyarakat sebelum kebijakan tersebut dilaksanakan. Persiapan itu antara lain dukungan sosial, kebutuhan makanan dan kebutuhan dasar lain, hiburan, serta dukungan psikologi. Pengadaan internet dengan harga murah bisa menjadi salah satu pertimbangan.
”Dukungan anggaran sangat dibutuhkan. Ekonomi pasti akan ada penurunan. Namun, masalah manusia tidak bisa digantikan, apalagi pemerintah yang selalu mendorong SDM bermutu. Dukungan dari seluruh lapisan masyarakat harus digerakkan bersama,” ucapnya.
Ketua Pengurus Daerah DKI Jakarta Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Baequni menyatakan, pembatasan sosial harus dijalankan bersama dengan pengawasan yang ketat. Untuk itu, pengawasan ini perlu didukung dengan sistem kepemimpinan di tingkat akar rumput, seperti RW, agar imbauan tersebut bisa terlaksana.
”DKI Jakarta sudah menjadi episentrum penularan Covid-19 dengan separuh kasus di Indonesia terjadi di provinsi ini. Strategi perang akar rumput diperlukan dengan membentuk gugus tugas RW di seluruh wilayah DKI sehingga pengawasan benar-benar dijalankan. Pembatasan sosial juga bisa dipastikan dilaksanakan masyarakat,” tuturnya.
Ia juga mendorong kebijakan yang terpusat dari pemerintah pusat. Saat ini, kebijakan dari penanganan Covid-19 masih sporadis. Sementara masalah ini butuh komitmen bersama di seluruh wilayah Indonesia.
Layanan kesehatan
Terkait layanan kesehatan di rumah sakit darurat (RSD) Wisma Atlet Kemayoran, Wakil Komando Tugas Gabungan Terpadu Wisma Atlet yang juga Kepala Staf Kodam Jaya, M Saleh Mustofa, mengonfirmasi, setidaknya ada 203 pasien yang akan dirujuk ke RSD Wisma Atlet dengan rincian 106 WNI dan 97 WNA.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Agus Hardian Rahim menuturkan, saat ini pelayanan kesehatan di RSD Wisma Atlet dilakukan di menara 7 dengan kapasitas 2.400 pasien. Dalam waktu dekat, menara 6 akan dibuka dengan kapasitas 6.000 pasien.
”Rumah sakit darurat diperuntukkan bagi kasus ODP (orang dalam pemantauan) dan PDP (pasien dalam pengawasan). Prinsipnya adalah untuk memfasilitasi karantina wilayah walaupun juga tetap disiagakan ruang ICU/HCU dengan ventilator,” ujarnya.