Pagebluk
Petang itu hujan terus turun sampai malam. Sedikit reda, menderas lagi. Begitu beberapa kali. Hingga esok paginya, tanah-tanah menjadi gembur, pohon-pohon beraroma basah, dan setiap benda di bawah atap jadi berembun.
Ibu menerakan hujan pada Jumat petang itu sebagai sebuah firasat. Setelah hampir sebulan hujan tidak turun, sore itu alam seperti menumpahkan dendam. Jumat yang hening. Seakan tidak ada pergerakan apapun di muka bumi ini. Sejak pagi matahari seperti sedang bermain petak umpet. Sedikit cahaya muncul, lalu redup lagi. Terang lagi, redup lagi. Sekitar pukul lima petang, langit rata menjadi gelap. Seolah langit kematian listrik. Tanpa diawali gemuruh, air dari langit luruh begitu gegas. Seperti bongkahan kerikil yang dilemparkan pakai ketapel. Suara di atap bergemeletap.
Ibu berdiri dari balik jendela, dan berkata pada dirinya sendiri, ”Hujan hari ini tidak seperti biasanya.”
”Iya, deras sekali,” aku menyahut.
”Bukan, bukan itu maksudku. Coba kau tengok air yang turun dari langit itu, warnanya gelap kemerahan.”
Aku mengekor, berdiri di belakang ibu, dan di bawah langit terbuka, di depan sana, hujan berjatuhan dengan air berwarna gelap kemerahan.
”Mungkin hujannya bercampur debu,” ujarku lagi.
”Bukan, bukan itu.”
Petang itu hujan terus turun sampai malam. Sedikit reda, menderas lagi. Begitu beberapa kali. Hingga esok paginya, tanah-tanah menjadi gembur, pohon-pohon beraroma basah, dan setiap benda di bawah atap jadi berembun. Selepas kami sarapan, ibu tergopoh-gopoh membawa ember berisi air yang hari lalu ia letakkan di bawah jemuran dan lupa tidak dibawa masuk.
”Kau lihat airnya, kotor dan kemerahan,” ucap ibu cepat-cepat sambil menciduk air dalam ember dengan telapak tangannya, lalu mendekatkan ke hidungnya, ”dan baunya anyir,” lanjut ibu.
”Mungkin kecipratan air dari talang, jelas saja kotor. Mungkin di atap ada bangkai tikus atau apa,” aku mencoba merangkai kemungkinan.
Tapi ibu tetap menyangkal dengan wajahnya yang cemas, ”Bukan, bukan itu.”
”Lalu, maksud ibu apa?”
”Pagebluk, tak lama lagi bakal muncul pagebluk,” serunya sambil mengeloyor ke arah dapur. Meningalkan ember berisi air hujan di sisi meja makan.
Bapak yang masih asyik menyantap sarapannya mendadak berhenti mengunyah, ”Jangan ngomong yang tidak-tidak. Minta saja sama Gusti Allah biar kita semua sehat,” ungkapnya.
Usai sarapan, dengan langkah terpincang-pincang akibat penyakit kencing manis, bapak mengamati air dalam ember yang dibawa ibu, lantas mengendusnya, bapak tidak berkomentar apa-apa, tapi wajahnya menyiratkan kecemasan. Layar yang sama dengan wajah ibu.
Kejadian itu berlangsung genap dua bulan silam.
Beberapa hari selepas ibu menyinggung soal pagebluk, mendadak kampung kami ribut, sebab dalam sehari tiga orang tetangga kami meninggal bersamaan, dan mereka satu keluarga. Mereka baru tiba dari liburan selama sepekan di luar kota. Menurut omongan demi omongan, sebelum meninggal, sore harinya mereka mengeluh mual, malamnya panas tinggi, dan pagi harinya mereka sudah tidak bernyawa. Pagi hari berikutnya, tetangga yang rumahnya paling dekat dengan mereka, mendadak dikabarkan sakit, lalu malamnya meninggal. Beruntun, dimulai dari tetangga paling dekat, beberapa orang yang tandang ziarah, sampai mereka yang tak tahu apa-apa. Hampir tiap hari, orang di kampung kami ada yang meninggal. Hingga orang-orang tak berani keluar rumah.
Di tivi-tivi disiarkan, kejadian serupa juga melanda berbagai tempat di belahan bumi, dan konon bakal menyebar ke seluruh muka bumi. Pemerintah mengumumkan, ada makhluk tak terlihat yang mengawasi para manusia. Makhluk-makhluk itu akan membunuh siapa saja yang masih nekat keluyuran di luar rumah. Barang siapa berjalan lebih dari sepuluh langkah keluar rumah, artinya ia telah siap mati. Pagebluk sudah datang. Mereka yang sakit di pagi hari, akan meninggal pada malam hari. Mereka yang sakit pada malam hari, akan meninggal di pagi hari. Dan seterusnya.
Dalam waktu kurang satu bulan, kampung kami telah menjadi kampung mati. Seperti di kampung-kampung lain. Seperti di kota-kota lain. Jalan-jalan menjadi lengang. Sekolah-sekolah diliburkan. Rumah-rumah ibadah kosong melompong. Warung-warung tutup. Di kampung kami, satu-dua orang dengan hati was-was nekat melangkah menuju ladang-ladang untuk meramban bahan makanan. Sebab pasar-pasar tak lagi buka. Orang-orang yang keluarganya ditimpa pagebluk menjadi sangat sedih dan semakin sedih, sebab mereka akan dijauhi. Bila ada keluarga sakit lalu meninggal, mereka akan mengurusnya sendiri, lalu memakamkannya di pekarangan depan atau belakang rumah. Tanpa pelayat. Tanpa iringan pengantar.
Dalam waktu sekejap, seolah-olah setiap rumah telah menjadi makam bagi penghuninya sendiri. Beberapa orang yang tak punya sanak keluarga dan tak kuat iman, lebih memilih mengakhiri semua dengan menggantung leher sendiri. Hingga aroma busuk menguar dan mengganggu tetangga sekitar. Bila ada tetangga yang bermulia hati, mereka akan membantu mengurus dan menguburkan. Dan seringkali, pada hari-hari ke depan, silih mereka yang dikuburkan.
Orang-orang menangis, suara mereka mendengung dari satu dinding ke dinding lain. Dari satu rumah ke rumah lain. Seperti bersahutan.
***
Genap dua bulan, selepas hujan yang menurut ibu berwarna kemerahan itu, bapak ambruk. Kami—aku dan ibu, sudah tahu bagaimana keluarga kami akan berakhir. Bapak ambruk di malam hari, dan esok paginya, ia sudah tiada. Kami mengurus jenazah bapak dalam diam. Dan jenazah itu kami kuburkan di pekarangan belakang, di bawah naungan pohon kepayang. Hampir seharian ibu tergugu di samping gundukan tanah di belakang rumah. Seperti merenung. Seperti menginsyafi diri.
”Zaman apa ini, zaman apa ini, zaman apa ini,” ucap ibu berulang-ulang, semakin lirih, hingga ia tampak seperti berbisik, berkomat-kamit.
Semenjak kepergian bapak, ibu tidak doyan makan. Ia lebih banyak diam. Wajahnya putih pudar, dan tingkah lakunya gamang. Aku seperti melihat sebuah ilham turun ke batok kepalanya, hingga tingkahnya menjadi sedikit aneh. Aku mengira, ibu mulai ditimpa stres.
Baca juga: Nama-nama di Batu Nisan
Hari terus berjalan dan orang-orang terus mati bergantian seperti ayam keracunan. Aku dan ibu seperti tengah bersiap, menunggu giliran sang maut datang, mengetuk pintu rumah kami. Semenjak kematian masal merenggut orang-orang di kampung kami dan di banyak tempat lain, hujan tak lagi turun. Hingga suatu pagi, mendung mendatangi kami seperti mengirim pertanda lain. Matahari tak tampak muncul. Seharian langit gelap. Namun hujan tidak juga turun. Seperti ada sesuatu yang menahannya.
Dari balik korden, ibu bersisik, ”Yang lain akan segera tiba… yang lain akan segera tiba… ”
Aku tidak menanggapi. Mendung gelap itu terus berlangsung selama beberapa hari, menyentuh pekan. Dan hujan tak juga turun. Aliran listrik serentak mati. Dan udara menjadi begitu dingin. Sangat dingin. Ketika langit menjadi gelap dari hari ke hari, ibu jadi suka berdiri berlama-lama di balik jendela, tak peduli pagi, siang, sore, bahkan malam. Ibu bisa tahan berdiam dalam hitungan jam, seperti tengah membaca sesuatu. Hingga suatu hari, kabut menipis dan hilang perlahan. Langit menjadi begitu terang. Terang yang sedikit berbeda. Aku melihat ibu berlari-lari kecil menyongsong pintu, lalu membukanya. Seperti membuka jalan napas untuk rumah kami yang pengap.
Di pekarangan depan, wajah ibu mendongak ke ketinggian. Cahaya kekuningan menimpa seluruh wajahnya. Mendadak ia terdiam lama, lalu menangis tersedu-sedu, seraya berseru, ”Matahari terbit lagi… Matahari terbit lagi… Dari barat… Dari barat….”
Akhir-akhir ini ibu memang tampak aneh. Aku tak ingin memercayai kata-katanya. Tapi aku merasakan seluruh tengkukku berdiri. Dadaku berdebaman. Ada sesuatu yang mengentak di kedalaman. Aku berjalan gegas menyeberangi pintu. Menyongsong ibu. Dan dari lengkung langit bagian barat. Aku melihat matahari memancarkan cahaya agung.
Jam berapakah ini? Apakah ini fajar, atau senja? Ibu masih saja tersedu sambil berteriak-teriak. Matahari terbit lagi. Dari arah barat.
Malang, 2022
***
Mashdar Zainal,lahir di Madiun 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa. Tulisannya terpercik di berbagai media. Buku terbarunya Kartamani, Riwayat Gelap dari Bonggol Pohon, Penerbit Basabsi, 2020. Kini bermukim di Malang.