DPR Diminta Tidak Nekat Bahas ”Omnibus Law" Sekarang
›
DPR Diminta Tidak Nekat Bahas ...
Iklan
DPR Diminta Tidak Nekat Bahas ”Omnibus Law" Sekarang
Sejumlah organisasi kemasyarakatan sipil meminta DPR agar tidak membahas RUU Cipta Kerja dan RUU Pajak atau "Omnibus Law" di tengah pandemi Covid-19. Jika pembahasan berlanjut, itu dinilai sebagai pemaksaan kehendak.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sikap DPR yang tetap membahas sejumlah rancangan perundangan yang tak terkait penanganan Covid-19, termasuk RUU Cipta Kerja dan RUU Pajak atau Omnibus Law, dikecam sejumlah organisasi sipil masyarakat. Sikap tersebut dinilai sebagai bentuk pemaksaan kehendak di saat publik tak bisa berpartisipasi dalam pembahasan.
Dalam Rapat Paripurna Masa Persidangan III, DPR menyatakan tetap melanjutkan fungsi legislasi membahas sejumlah rancangan undang-undang seperti omnibus law atau UU sapu jagat (RUU Cipta Kerja dan RUU Pajak) dan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). ”Saat ini, masyarakat membutuhkan perhatian serius dari eksekutif dan legislatif terkait pandemi Covid-19 ini. Ide pembahasan omnibus law dan RUU lain yang tak terkait penanganan Covid-19 itu sangat tidak elegan. Ini seperti menikam rakyat dari belakang ketika dipaksakan pembahasan di masa seperti ini,” kata Asep Komarudin, juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Kamis (2/4/2020), di Jakarta.
Greenpeace Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dan Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) mewakili sejumlah organisasi kemasyarakatan sipil memprotes keras pembahasan omnibus law di DPR pada saat ini. Asep mengatakan, draf omnibus law mendapatkan penolakan dari publik, baik kalangan buruh, praktisi, aktivis, maupun akademisi.
Penyusunan draf sejak dilakukan pemerintah dinilai sembunyi-sembunyi dan minim partisipasi publik. Menurut ICEL, hal ini menunjukkan omnibus law sejak dalam penyusunan awal di eksekutif telah cacat prosedur karena menyalahi prinsip penyusunan RUU. ”Karena itu, proses terkait entah pembacaaan surat presiden (surpres) atau apa pun itu ditunda. Lebih bagus malah dicabut dan dikembalikan lagi draf dan surpres ke presiden karena banyak cacat proses dalam penyusunan omnibus law,” katanya.
Asep mempertanyakan sikap DPR yang tampak ngotot untuk membahas omnibus law ini. Ia mempertanyakan penerima manfaat dari pengesahan omnibus law ini bisa jadi malah segelintir orang, bukan kepentingan dan kemauan publik.
Ia meminta agar DPR tidak mengulang cacat prosedur pembahasan omnibus law seperti yang dilakukan pemerintah. ”Jangan sampai masyarakat yang saat ini lagi susah mengakses pembahasan itu malah dimanfaatkan DPR untuk membahas. Ini akan menihilkan proses pemantauan dan pemberian masukan ketika kondisi saat ini,” katanya.
Senada dengan Asep, Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo Sembiring mengatakan, pihaknya mencatat sejumlah kelemahan atau cacat prosedur dan cacat substansi dalam omnibus law. Selain melanggar prinsip keterbukaan dan partisipasi publik dalam penyusunan di tingkat eksekutif dan kini bisa terulang lagi saat dibahas di tingkat DPR, ICEL pun menunjukkan sejumlah cacat prosedur lain.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 96 mengatur partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan atau respons terhadap pembentukan perundangan-undangan. Ayat 1 dan Ayat 3 disebutkan, masyarakat yang punya kepentingan langsung akan perundangan tersebut berhak memberikan masukan secara langsung.
”Dalam RUU Cipta Kerja itu dampaknya tidak hanya 1-2 kelompok masyarakat, tetapi juga seluruh warga terdampak karena ini UU sapu jagat dan semua sektor masuk,” katanya. Dengan demikian, ia mempertanyakan ”masukan masyarakat terdampak” ini bisa difasilitasi oleh DPR dalam situasi saat ini.
”Akan ada hambatan dan akses masyarakat untuk terlibat. Itu membuat partisipasi sangat tidak layak dan cenderung dimanipulasi. Kami meminta DPR untuk menunda seluruh proses legislasi,” ujarnya.
Raynaldo pun menyebutkan draf RUU Cipta Kerja sangat kompleks dan memiliki banyak norma dalam berbagai sektor yang membutuhkan diskusi dan pendalaman. Menurut dia, hal ini tak mungkin bisa dilakukan DPR di saat akses dan masukan masyarakat sangat terbatas. Ia mengkhawatirkan nantinya DPR hanya akan memberikan stempel pengesahan pada RUU yang diajukan pemerintah.
”Draf RUU itu cukup tebal dan banyak pasal. Kalau dipaksakan untuk dibahas, maka tidak mungkin dan tidak layak untuk mendapatkan masukan yang substantif,” katanya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Susan Herawati, dalam siaran pers 2 April 2020, mempertanyakan pembahasan omnibus law Cipta Kerja yang dibacakan pada sidang paripurna DPR di tengah kondisi masyarakat yang mengalami kesulitan akibat penyebaran Covid-19. ”Pemerintah dan DPR RI telah kehilangan hati nuraninya. Pada saat banyak orang terinfeksi dan meninggal akibat Covid-19, mereka malah membacakan Surpres Omnibus Law Cipta Kerja sebagai tanda RUU ini akan dipercepat pembahasannya. Apa urgensinya bagi masyarakat?” katanya.
Menurut Susan, pemerintah dan DPR seharusnya lebih memfokuskan diri untuk merealisasikan sejumlah langkah penting dalam menangani penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia yang telah membunuh 1.600 orang itu. ”Korban Covid-19 terus bertambah dan tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan. DPR dan pemerintah seharusnya fokus membahas upaya pencegahan,” tegasnya.