Pro Kontra Warnai Pendaftaran Bantuan Seniman Terdampak Covid-19
Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuka pendaftaran bagi pekerja seni yang terdampak ekonomi karena pembatasan sosial yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Isi formulir menuai pro dan kontra.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah membuka pendaftaran bagi pekerja seni yang terdampak secara ekonomi akibat pembatasan sosial saat pandemi Covid-19. Mereka akan diseleksi untuk diberi skema bantuan jaring pengaman. Namun, proses pendaftaran itu belum menjamin bakal menghasilkan data yang valid.
Jumat (3/4/2020), melalui akun Instagram @budayasaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuka pendaftaran bantuan untuk seniman dengan mengisi formulir di di bit.ly/borangpsps. Dampak ekonomi akibat Covid-19 mencakup penundaan pentas, konser, galeri tutup, dan kehilangan pemasukan.
Seniman diminta mengisi data sesuai kartu tanda penduduk (KTP), bidang kesenian, pendapatan, contoh karya, dan jangka waktu berkarya. Dicatat juga ada-tidaknya mata pencaharian di luar kesenian serta terdaftar-tidaknya di Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Prakerja.
Pemerintah mulai membuka pendaftaran bagi pekerja seni yang terdampak ekonomi karena adanya pembatasan sosial yang disebabkan oleh Covid-19. Upaya pendaftaran ini sebagai tindak lanjut rencana mengeluarkan skema bantuan jaring pengaman. Namun, upaya pendataan itu mengundang pro kontra.
Melalui akun resmi Instagram @budayasaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengumumkan membuka pendaftaran bagi pekerja seni yang terdampak secara ekonomi karena adanya pembatasan sosial yang disebabkan oleh Covid-19. Dampak ekonomi yang dimaksud bisa berupa penundaan pentas, konser, galeri tutup, dan di rumah tidak ada pemasukan. Cara mendaftar adalah cukup mengisi formulir di bit.ly/borangpsps. Informasi itu diunggah pada Jumat (3/4/2020).
Formulir berisi sejumlah item yang harus diisi, yaitu nama sesuai kartu tanda penduduk (KTP), profesi bidang kesenian, pendapatan rata-rata per bulan, ada tidaknya mata pencaharian di luar kesenian, contoh karya, jangka waktu berkarya, serta terdaftar tidaknya di Program Keluarga Harapan dan Kartu Prakerja.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid menyampaikan, pihaknya sedang menyiapkan tiga opsi skema jaring pengaman untuk seniman yang terdampak pembatasan sosial pandemi Covid-19. Bantuan diutamakan untuk seniman yang mengandalkan penghasilan harian dan tidak mempunyai simpanan jangka panjang. Ketiga opsi itu adalah pertama, memakai anggaran Kemendikbud; kedua, mengajak seniman tampil secara daring dengan sistem honor dan donasi; serta ketiga memasukkan seniman ke Program Keluarga Harapan dan Kartu Prakerja.
Baca juga: Siapkan Skema Jaring Pengaman Pekerja Seni dan Budaya Saat Wabah Covid-19
Pengelola sanggar Uni Using (Desa Kemiren, Banyuwangi), Haidi Bing Slamet, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (4/4/2020), mengatakan, dirinya telah mengetahui informasi pendaftaran untuk pekerja seni yang terdampak secara ekonomi karena pembatasan sosial yang disebabkan pandemi Covid-19. Dia pun telah mengisi dan mengirimkan formulir pendaftaran.
”Sekitar 20 lebih pentas yang harus batal karena ada pembatasan sosial, seperti sendratari dan gandrung yang berkolaborasi dengan musik jazz. Penghasilan kami benar-benar nol saat ini. Dengan kata lain, kami benar-benar gantung sepatu,” ujarnya.
Sanggar Uni Using memiliki sekitar 20 anggota. Anggota sanggar kebanyakan menggantungkan penghasilannya dari seni. Sisanya ada yang bermata pencaharian sebagai petani dan buruh harian lepas.
Latihan musik tradisional berhenti sementara. Hal sama juga terjadi pada jasa les main biola. Orangtua siswa sanggar memilih tidak menyuruh anaknya les.
Haidi menceritakan, sejauh ini baru dirinya sendiri yang mengisi dan kirim formulir pendaftaran. Informasi inventarisasi disebarluaskan kepada anggota sanggar agar mereka ikut mengisi. Dia tidak memiliki rencana menyetorkan data anggota sanggar yang terdampak ekonomi oleh Covid-19 ke Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi. Menurut dia, info inventarisasi telah menyebar di internet.
”Dinas pendidikan dan kebudayaan daerah semestinya yang aktif jemput bola mendata. Mereka, kan, stakeholder,” ujarnya.
Pengelola sanggar seni dan budaya Jawa Jawi Java (Cilandak, Jakarta Selatan), Tutut Hardjolukito, saat dihubungi secara terpisah, mengaku dirinya baru mengetahui kebijakan Kemendikbud untuk mengajak pekerja seni yang terdampak secara ekonomi agar mendaftarkan diri. Di tengah pandemi, pendataan pekerja seni yang terdampak itu penting.
Sanggar Jawa Jawi Java sudah tidak menyelenggarakan aktivitas latihan tari Jawa, karawitan, dan membatik sejak 19 Maret 2020. Akibatnya, sanggar tidak memperoleh pemasukan.
Untuk murid tari dewasa, kata Tutut, mereka seharusnya mengikuti World Dance Day di Surakarta pada 29 April 2020, tetapi acara itu dibatalkan. Sementara murid tari berusia anak-anak semestinya akan mengikuti salah satu festival di Bandung pada April, tetapi acaranya juga ditiadakan.
Sementara untuk karawitan, sanggar berencana mengikutkan diri di salah satu siaran di Radio Republik Indonesia (RRI). Opsinya bisa rekaman dulu baru disiarkan atau format tayangan beraliran langsung (streaming).
Baca juga: Ketua BPI: Akibat Covid-19, Industri Film Mesti Siap Memasuki Paceklik
Data valid
Salah satu pengelola sanggar Seni Kemasan (Surakarta, Jawa Tengah), Esha Karwinarno, berpendapat, kebijakan pendaftaran seniman terdampak ekonomi yang Kemendikbud lakukan semacam pendataan untuk ganti rugi. Dia masih meragukan ketepatan sasaran dari kebijakan itu. Alasannya, sampai sekarang masih minim data pendukung jumlah pekerja seni yang terdampak ekonomi oleh Covid-19.
”Hal yang berpotensi membuat kebijakan inventarisasi tidak efektif adalah data dasar tidak valid. Di dalam formulir pendaftaran tidak dijelaskan cakupan seniman seperti apa? Misalnya, apakah mereka yang memiliki pekerjaan seniman di KTP, orang yang hidup dari penghasilan kesenian, atau orang yang aktif di dunia seni tetapi punya pekerjaan lain,” ujarnya.
Esha lantas mencontohkan dirinya sendiri. Dia tercatat sebagai pegawai negeri sipil di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, tetapi juga pengelola sanggar dan mempunyai beberapa proyek lepas terkait kesenian. Salah satu proyek lepasnya adalah pementasan teater Panembahan Reso yang semestinya digelar di Surabaya pada April 2020 harus dibatalkan. Kru pementasan teater ini berjumlah sekitar 100 orang pekerja dari sejumlah kota.
”Pendataan seniman yang terdampak ekonomi oleh Covid-19 idealnya dilakukan oleh dinas pendidikan. Akan tetapi, kevalidannya pun diragukan karena cenderung ada praktik yang dicatat adalah teman pegawai dinas sendiri,” kata Esha.
Lebih jauh, dia menyarankan agar pemerintah menaruh perhatian kepada sanggar seni tradisional. Kebanyakan sanggar itu dikelola secara swadana. Pemerintah bisa memberikan bantuan berupa subsidi untuk menjaga kelangsungan pendapatan sanggar selama pandemi Covid-19.
”Sanggar seni tradisional, seperti ketoprak dan tari, biasanya mengandalkan acara hajatan, pemerintah daerah, dan pentas. Pendapatan utama mereka dari acara seperti itu,” tutur Esha.
Seniman asal Kota Surakarta, Zen Zulkarnaen, mengatakan telah mengetahui informasi kebijakan Kemendikbud untuk menginventarisasi seniman yang terdampak ekonomi oleh karena Covid-19. Dia mengkritik maksud dari kebijakan dan jumlah anggaran yang telah dialokasikan.
Dia khawatir, kebijakan inventarisasi itu justru disalahgunakan oleh orang-orang yang mengaku sebagai seniman. Kenyataan di lapangan menunjukkan mayoritas orang yang berkecimpung di dunia seni tidak mencantumkan profesi sebagai seniman di KTP.
”Apabila hasil pengisian formulir pendaftaran disetor lalu dijadikan inventaris pemerintah, hal itu tidak masalah. Seniman jangan terlalu banyak berharap dulu. Pemerintah juga belum mengumumkan nilai anggaran,” ujar pria yang biasa dipanggil Pak Peng ini.
Menurut dia, sejak dua minggu terakhir, di Kota Surakarta telah muncul gerakan solidaritas antarseniman. Mereka mengumpulkan donasi untuk membeli barang kebutuhan pokok untuk disimpan. Jika persebaran Covid-19 semakin parah, barang kebutuhan pokok itu akan dikeluarkan sedikit demi sedikit untuk membantu seniman.
”Konsep penyimpanan adalah lumbung. Jika pemerintah tetap ingin inventaris pekerja seni yang terdampak, kami mempersilakan terus jalan melalui sumber data lebih valid, seperti taman budaya dan dinas. Kami tetap jalankan solidaritas,” imbuhnya.
Dampak luas
Wakil Dekan IV Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Adityayoga berpendapat, kebijakan menginventarisasi pekerja seni terdampak seperti itu positif. Namun, untuk mengetahui efektivitas kebijakan, pemerintah semestinya perlu memahami dunia seni lebih luas.
”Seni tidak hanya melulu mengenai pelakunya. Banyak pihak yang menggantungkan hidupnya dari seniman itu sendiri,” ujarnya.
Adityayoga lantas mencontohkan penari saat pentas di panggung. Penari dapat pentas karena ada pekerja-pekerja yang membuat dia bisa melakukan pertunjukan, seperti tukang pencahayaan, penata panggung, dan penjual tiket. Realitas tersebut belum tergambar di formulir pendaftaran.
Contoh lain di kategori seni rupa. Seniman seni rupa yang terimbas adalah mereka yang telah merencanakan pameran. Namun, mereka umumnya bisa memanfaatkan waktu pembatasan sosial untuk konsentrasi menyusun karya atau bahkan mengambil inspirasi dari kondisi yang ada. Di luar keterbatasan bahan berkarya, seni rupa seharusnya bisa bertahan.
Untuk studio-studio yang aktif berkarya, sejumlah klien akan berpikir ulang berinvestasi pada karya seni. Pengelola studio harus berpikir kelangsungan operasional dan pekerja yang mendukung, seperti tukang.
”Seniman seni murni dan kriya pasti terdampak pembatasan sosial. Dunia desain sejauh ini saya lihat belum tersentuh,” ujarnya.
Menurut Adityayoga, pandemi Covid-19 bisa menjadi pelajaran penting jangka panjang bagi pemerintah dalam melihat dunia seni dan para seniman. Hal yang sangat lemah di dunia seni adalah manajemen pribadi, jaminan hidup, dan kesehatan. Ketiga hal mendasar tersebut seharusnya bisa menjadi konsentrasi dan fokus pemerintah bagi dunia seni sehingga seniman seharusnya tetap bisa bertahan di tengah bencana.