Aturan Baru Harga Pembelian, Langkah yang Tertinggal
›
Aturan Baru Harga Pembelian,...
Iklan
Aturan Baru Harga Pembelian, Langkah yang Tertinggal
Pemerintah akhirnya merevisi aturan harga pembelian gabah dan beras. Namun, sebagai instrumen pelindung harga di petani, regulasi itu dinilai kurang efektif karena tertinggal dari laju biaya hidup dan ongkos produksi.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Ada kabar baik bagi petani padi menjelang puncak panen raya musim ini. Setelah empat tahun ”paceklik”, pemerintah akhirnya membarui ketentuan tentang harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras, instrumen yang dimaksudkan sebagai pelindung harga di tingkat produsen, khususnya petani sebagai aktor utama.
Ketentuan baru itu diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan HPP untuk Gabah atau Beras. Regulasi yang diundangkan pada 19 Maret 2020 ini merevisi ketentuan HPP yang sebelumnya diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah dan diundangkan pada 17 Maret 2015.
Permendag 24/2020 mengatur harga pembelian gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp 4.200 per kilogram (kg) atau 13,5 persen lebih tinggi dibandingkan HPP sebelumnya yang ditetapkan Rp 3.700 per kg. Harga gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan dinaikkan dari Rp 4.600 per kg menjadi Rp 5.250 per kg, sementara harga pembelian beras di gudang Perum Bulog dinaikkan dari Rp 7.300 per kg menjadi Rp 8.300 per kg.
Dengan kenaikan harga itu, Bulog diharapkan lebih leluasa menyerap gabah/beras hasil panen petani. Empat tahun terakhir, realisasi pengadaan beras oleh Bulog terus turun dari 2,961 juta ton setara beras (tahun 2016) menjadi 2,051 juta ton (2017), lalu 1,488 juta ton (2018), dan 1,201 juta ton (2019), antara lain karena besaran HPP yang makin tertinggal oleh harga pasar.
Kenaikan HPP idealnya menjamin keuntungan petani. Sebagai instrumen perlindungan, HPP semestinya merupakan batas harga terendah yang diterima petani agar tak rugi. Namun, praktiknya tidak semudah itu. Ketika regulasi baru mulai berlaku, sebagian petani terpaksa memanen padinya yang rebah dihantam hujan dan angin kencang sehingga mutu dan harganya anjlok pada akhir Maret hingga awal April 2020.
Pandemi Covid-19 juga telah ”menginfeksi” jaringan distribusi beras sehingga tidak semua petani bisa leluasa menjual hasil panennya dengan harga layak. Tak semua pengusaha penggilingan, tengkulak, dan pedagang perantara beroperasi sehingga permintaan dan harga komoditas di hulu ikut turun. Rantai distribusi terdampak oleh pembatasan sosial yang semakin masif seiring meluasnya antisipasi penyebaran virus korona baru di banyak wilayah di Tanah Air.
Ketika rata-rata harga beras medium di pasar grosir di Jakarta naik dari Rp 10.082 per kg pada Januari, lalu Rp 10.202 per kg pada Februari, dan Rp 10.408 per kg pada Maret, harga gabah rata-rata di tingkat petani secara nasional, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), justru turun, yakni dari Rp 5.273 per kg kering panen (GKP) menjadi Rp 5.176 per kg, lalu Rp 4.936 per kg selama Januari-Maret 2020. Selain bencana alam yang tak terprediksi, asimetri pasar juga kerap mengacaukan harga di tingkat petani.
Segenap keterbatasan Bulog, seperti kapasitas gudang, tenaga lapangan, dan anggaran, juga membuat petani tidak sepenuhnya terjamin. Ketentuan HPP sering kali tak berlaku dan berhadapan dengan situasi yang kompleks di lapangan. Tajinya kadang tumpul oleh tengkulak-tengkulak kampung yang lebih trengginas.
Ketentuan HPP sering kali tak berlaku dan berhadapan dengan situasi yang kompleks di lapangan. Tajinya kadang tumpul oleh tengkulak-tengkulak kampung yang lebih trengginas.
Petani memanen padi yang ambruk akibat diterjang luapan sungai di Desa Darmakradenan, Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (5/4/2020). Sungai Pecang meluap karena alirannya tertimbun longsoran tebing pada Sabtu sore. Jika tidak dipanen, padi akan membusuk dan petani merugi.
HPP baru juga dianggap belum menjamin kesejahteraan petani. Sebab, meski sudah dinaikkan, HPP masih dianggap lebih rendah dari ongkos produksi yang dikeluarkan petani. Biaya produksi padi, menurut hasil survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani (AB2TI), pada April 2019 bahkan telah mencapai Rp 4.532 per kg. Bandingkan dengan HPP baru yang Rp 4.200 per kg GKP. Sementara laporan sejumlah anggota Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani), ongkos produksi mencapai Rp 4.500 per kg.
Kenaikan HPP juga masih di bawah akumulasi inflasi. Selama kurun Maret 2015 atau sejak Inpres 5/2015 terbit hingga Maret 2020 atau ketika Permendag 24/2020 terbit, inflasi mencapai 17,18 persen. Namun, kenaikan HPP rata-rata lebih rendah, seperti HPP GKP di tingkat petani yang naik 13,5 persen atau gabah kering giling (GKG) di penggilingan yang naik 14,1 persen.
Lalu, apa artinya HPP baru jika ternyata lebih rendah kenaikan harga barang-barang kebutuhan dan ongkos produksi yang dikeluarkan petani? Bukankah HPP juga menjadi jalan mengejar kesejahteraan petani dan mencapai kemandirian pangan? Jika terus tertinggal langkah, keputusan merevisi instrumen perlindungan merupakan langkah yang sia-sia.