Dampak politisasi bansos, Bawaslu didorong untuk lebih mengintensifkan pendidikan bagi calon pemilih daripada mengurusi payung hukum untuk menindak politisasi bansos oleh kepala daerah selama pandemi Covid-19.
Oleh
Ingki Rinaldi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu didorong untuk lebih mengintensifkan pendidikan bagi para calon pemilih daripada berdebat soal payung hukum untuk menindak politisasi bantuan sosial oleh kepala daerah selama pandemi Covid-19. Hal ini menyusul belum bisa diketahuinya efektivitas imbauan yang dikeluarkan untuk mencegah praktik politisasi bantuan sosial selama masa jeda tahapan Pilkada 2020.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Alwan Ola Riantoby, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (12/5/2020), menyatakan, ketimbang sibuk mencari landasan hukum untuk menjerat dan menindak dugaan politisasi bansos, penyelenggara pemilu sebaiknya fokus untuk menjalankan program pendidikan pemilih.
Ia mengatakan, kekuatan masyarakat pemilih dalam pilkada semestinya bisa dioptimalkan lewat pendidikan pemilih untuk menolak praktik politisasi bansos. ”Itu (pendidikan pemilih) belum dilakukan lembaga penyelenggara pemilu sampai detik ini,” sebut Alwan.
Menurut Alwan, surat edaran yang dikirimkan ke Badan Pengawas Pemilu daerah untuk selanjutnya diterjemahkan menjadi imbauan kepada kepala daerah tidak memiliki efek dan pengaruh. Menurut Alwan, hal itu karena sifatnya yang sekadar imbauan. Di sisi lain, dugaan politisasi bansos cenderung masih terjadi.
Ketimbang sibuk mencari landasan hukum untuk menjerat dan menindak dugaan politisasi bansos, penyelenggara pemilu sebaiknya fokus untuk menjalankan program pendidikan pemilih.
Terkait dengan bentuk pendidikan politik, Alwan mencontohkan yang riil bisa dilakukan Bawaslu adalah dengan menggerakkan kader pengawasan. Mereka bisa dijadikan duta pengawasan pilkada dengan sejumlah informasi yang disampaikan kepada masyarakat. Misalnya, informasi tahapan pilkada serta titik kerawanan tahapan di masa pandemi. Berbagai informasi tadi bisa dikemas ke dalam video pendek atau infografis agar mudah dicerna untuk selanjutnya didistribusikan ke berbagai media, termasuk di dalamnya adalah kanal-kanal media sosial.
Selain itu, tambah Alwan, Bawaslu juga bisa menggerakkan forum warga. Di dalamnya termasuk menggandeng tokoh-tokoh agama. Praktiknya bisa dilakukan dengan menggelar ceramah yang materinya berisikan larangan untuk melakukan dan menerima bantuan sosial yang dipolitisasi.
”Ini sebagai bagian pendidikan pemilih,” kata Alwan.
Hal lain yang juga bisa dilakukan ialah dengan menggerakkan pelajar dan mahasiswa. Tugasnya juga serupa, yakni menginformasikan kepada masyarakat titik kerawanan selama tahapan pilkada, politisasi bansos, dan sebagainya.
Jika masyarakat sudah bisa memahami dampak negatif politisasi bansos, lanjut Alwan, praktik tersebut tidak akan beroleh tempat di masyarakat. Pendidikan politik dengan konten tersebut dinilainya mendesak untuk dilakukan saat ini di tengah fakta yang terjadi di lapangan.
Surat edaran Bawaslu
Bawaslu sebelumnya mengeluarkan Surat Edaran Nomor 0288/K. BAWASLU/PM.OO.OO/04/2020 tentang Pencegahan Tindakan Pelanggaran. Surat tersebut ditujukan kepada Bawaslu di daerah-daerah agar kemudian membuat surat imbauan kepada kepala daerah setempat guna mencegah tindakan pelanggaran. Surat tersebut juga ditembuskan kepada Kementerian Dalam Negeri.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, Fritz Edward Siregar, saat dihubungi, kemarin, mengatakan bahwa sejauh ini belum ada perkembangan dari Kemendagri sehubungan dengan telah diterbitkannya surat edaran tersebut. Dalam hal ini, ia mengatakan belum ada respons yang diterima Bawaslu.
Fritz juga menyebutkan, pihaknya juga belum bisa mengetahui apakah setelah diterbitkannya surat edaran tersebut berdampak pada penundaan pemberian bansos oleh sejumlah kepala daerah. Saat ini, imbuh Fritz, Bawaslu belum memiliki data tersebut.
Sekalipun, imbuh Fritz, ada sejumlah informasi bahwa pemberian bansos tidak dilakukan lagi, tetapi ia belum mengetahui apakah itu terjadi setelah penerbitan surat edaran yang ditindaklanjuti Bawaslu daerah ataukah bukan. Ia mengatakan masih harus melakukan pengecekan terhadap hal tersebut.
Tetap berjalan
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Trisakti, Jakarta, Radian Syam, saat dihubungi terpisah menyebutkan bahwa fenomena dugaan politisasi bansos di sejumlah daerah yang memanfaatkan pandemi Covid-19 semestinya tetap membuat Bawaslu bisa melakukan pengawasan dan penindakan.
Fenomena dugaan politisasi bansos di sejumlah daerah yang memanfaatkan pandemi Covid-19 semestinya tetap membuat Bawaslu bisa melakukan pengawasan dan penindakan.
Merujuk pada sifat dan status kelembagaan, Radian menyebutkan bahwa dalam hal ini Bawaslu mesti merujuk pada UU No 7/2017 tentang Pemilu alih-alih UU No 10/2016 tentang Pilkada. Radian mengatakan hal itu diatur dalam Pasal 93 hingga Pasal 95 UU No 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur tugas, wewenang, dan kewajiban Bawaslu.
Pasalnya, di dalam Perppu No 2/2020 tidak mengatur bagaimana kewenangan, tugas, dan kewajiban penyelenggara pemilu. Dalam hal ini adalah KPU dan Bawaslu. Dengan demikian, pengaturan kewenangan, tugas, dan kewajiban Bawaslu tetap menggunakan Pasal 93 hingga Pasal 95 UU No 7/2017 tentang Pemilu.
”Ini (UU No 7/2017) yang menjadi pedoman bagi Bawaslu dalam melakukan pengawasan dan bahkan penindakan bagi oknum calon kepala daerah yang menyalahgunakan bansos atau memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19,” sebut Radian.