Virus bisa saja mudik, bisa juga ikut balik. Gelombang pertama saja belum selesai, bisa jadi gelombang kedua datang lebih cepat. Ini bisa menjadi bumerang bagi ekonomi nasional.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
Dari tahun ke tahun Ramadhan dan Lebaran selalu menggerakkan ekonomi nasional. Peningkatan konsumsi rumah tangga yang ditopang besarnya jumlah uang beredar mampu mengerek pertumbuhan ekonomi.
Namun, di tengah pandemi Covid-19 ini, pertumbuhan ekonomi, termasuk pada periode Ramadhan dan Lebaran tersebut, diperkirakan masih melempem. Masyarakat banyak yang kehilangan pendapatan, baik karena dirumahkan, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), maupun penurunan omzet usaha secara drastis.
Perusahaan-perusahaan yang terimbas Covid-19 ada yang memotong, mencicil, hingga menunda tunjangan hari raya (THR). Bahkan ada sejumlah perusahaan yang tidak memberikan THR. Bank Indonesia (BI) mencatat, jumlah uang tunai yang dipersiapkan untuk periode Ramadhan dan Lebaran tahun ini turun 17,7 persen menjadi Rp 157,96 triliun. Tahun lalu, BI menyediakan Rp 192 triliun.
Menimbang jatuhnya pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2020 yang hanya 2,97 persen dan konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 2,84 persen, pemerintah agaknya tidak ingin kehilangan momentum Ramadhan dan Lebaran. Pemerintah mengambil dua langkah utama. Pertama, pemerintah menyuntikkan dana ke masyarakat dengan menggelontorkan dana jaring pengaman sosial secara besar-besaran serta memberikan THR bagi aparatur sipil negara, anggota TNI-Polri, dan pensiunan.
Pada pertengahan Mei 2020, pemerintah telah menyalurkan alokasi anggaran THR 2020 sebesar Rp 29,38 triliun untuk pensiunan serta pegawai negeri sipil, prajurit TNI, dan anggota Polri, yang jabatannya di bawah atau setara dengan eselon III. Pemerintah juga menyalurkan bantuan sosial (bansos) tunai bagi 9 juta keluarga penerima manfaat (KPM) di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi senilai total Rp 16,2 triliun. Setiap KPM menerima Rp 600.000 untuk tiga bulan.
Pemerintah melalui pemerintah desa juga menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT) yang berasal dari dana desa. Total nilai BLT desa bagi setiap KPM ditambah dari Rp 1,8 juta menjadi Rp 2,7 juta sehingga total anggaran BLT desa yang semula Rp 21,19 triliun naik menjadi Rp 31,79 triliun.
Bagi yang terkena PHK, pemerintah meluncurkan program Kartu Prakerja. Peserta yang lolos seleksi akan mendapatkan insentif Rp 600.000 per bulan selama empat bulan. Pemerintah menargetkan selama setahun ini bisa menjaring 5,6 juta peserta. Namun hingga pekan kedua Mei 2020, jumlah pendaftarnya mencapai 9,4 juta orang.
Ketika dana sudah ada, roda perekonomian yang tengah melambat tinggal dipercepat. Keluarlah kebijakan pengecualian bepergian bagi masyarakat yang memiliki kebutuhan dan kepentingan mendesak dan darurat. Rentetannya, berbagai moda transportasi yang semula dilarang mengangkut penumpang hingga 31 Mei, mulai mengendur dan melayani penumpang sejak 7 Mei.
Ketika dana sudah ada, roda perekonomian yang tengah melambat tinggal dipercepat. Keluarlah kebijakan pengecualian bepergian bagi masyarakat yang memiliki kebutuhan dan kepentingan mendesak dan darurat.
Muncul pula kebijakan pasar rakyat (pasar tradisional) dan ritel modern yang diperbolehkan beroperasi. Tentu baik sektor transportasi maupun sektor penopang konsumsi itu harus beroperasi dengan embel-embel protokol kesehatan. Untuk pasar rakyat, detail protokol kesehatan itu baru dijabarkan dan dipublikasikan setelah pasar menjadi kluster penularan Covid-19.
Itulah langkah kedua pemerintah yang masih saja mengeklaim tidak ada pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan larangan mudik. Bahkan upaya hidup berdamai dengan Covid-19 diperkenalkan melalui normal baru. Setelah skenario pemulihan ekonomi dan normal baru BUMN muncul, kini muncul Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
Namun, apa yang terjadi? Mulai sepekan sebelum Lebaran, jebol sudah larangan mudik dan PSBB. Banyak warga yang mudik, baik dengan memenuhi dokumen yang disyaratkan pemerintah maupun secara sembunyi-sembunyi atau main kucing-kucingan dengan petugas.
Bagi yang melanggar larangan mudik, pemerintah memang sudah menindak para pelanggar. Namun, para pelanggar itu sudah telanjur keluar dari kediaman mereka dan menciptakan kerumunan-kerumunan di titik-titik transportasi umum dan pos-pos pemeriksaan.
PT Jasa Marga (Persero) Tbk mencatat sekitar 465.582 kendaraan meninggalkan Jakarta sejak sejak H-7 hingga H-1 Lebaran. Jumlah ini memang turun 62 persen dari periode Lebaran 2019. Namun, itu baru jumlah yang diketahui dan dicatat Jasa Marga.
Kendati begitu, bisa jadi penyebaran virus korona baru akan semakin merambah daerah-daerah tujuan mudik. Atau sebaliknya, ketika mereka kembali ke kota-kota tujuan perantauan, kota-kota yang telah berupaya memutus rantai penularan Covid-19 itu kembali terancam korona gelombang kedua. Virus bisa saja ikut mudik, bisa juga ikut balik.
Tak hanya bidang transportasi, pasar rakyat juga beroperasi normal dan dipadati beragam orang, mulai dari pedagang, pembeli, buruh angkut, hingga para penyuplai barang. Kepadatan pasar juga bisa memudahkan Covid-19 menyebar. Ritel-ritel modern, seperti mal, juga sudah buka dengan menerapkan protokol kesehatan jaga jarak dan membatasi jumlah pengunjung yang masuk.
Upaya memutus rantai penularan masih belum tuntas. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, per 24 Mei 2020, ada 22.721 kasus positif Covid-19 di Indonesia dengan penambahan 526 kasus baru. Penambahan kasus baru terbanyak ada di DKI Jakarta (119 kasus), Jawa Timur (68 kasus), dan Papua (62 kasus).
Namun, mobilitas orang mudik-balik, kendati turun drastis dari tahun lalu, dan ramainya pasar-pasar dan pusat-pusat perbelanjaan, bisa jadi membuat kasus positif makin bertambah.
Gelombang pertama saja belum selesai, bisa jadi gelombang kedua datang lebih cepat. Ini bisa menjadi bumerang bagi ekonomi nasional.