Evaluasi Kartu Prakerja diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan ketenagakerjaan di tengah pandemi Covid-19. Sebab, mereka yang kehilangan pekerjaan kini sulit menyambung hidup.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Pemerintah akhirnya mengevaluasi program Kartu Prakerja yang telah berjalan sekitar 1,5 bulan dengan tiga gelombang. Evaluasi ini juga berarti para korban pemutusan hubungan kerja harus kembali menunggu kapan gelombang pendaftaran berikutnya akan dibuka.
Dari catatan Kompas yang dikutip pada Kamis (28/5/2020), jumlah total pendaftar program Kartu Prakerja dalam tiga gelombang mencapai 10,4 juta orang dari target 5,6 juta orang setahun. Namun, baru 680.000 peserta yang sudah dinyatakan sebagai peserta.
Sebanyak 530.000 peserta di antaranya membeli pelatihan, dengan rincian 350.000 peserta telah menuntaskan pelatihan, 86 persen di antaranya menerima insentif sebesar Rp 600.000. Sementara yang lain masih harus menunggu.
Nelly Mukaromah (22), calon peserta Kartu Prakerja, kembali menelan kekecewaan. Sudah lebih dari dua minggu ia menunggu mendaftar di gelombang keempat yang pada awalnya direncanakan dibuka Selasa (26/5/2020) kemarin, tetapi tidak jadi karena akan dievakuasi.
Bukan pertama kali bagi Nelly untuk mendaftar Kartu Prakerja. Gelombang keempat menjadi kali ketiga ia mencoba peruntungan di program yang menawarkan insentif Rp 600.000 per bulan itu.
”Saya sudah ikut gelombang kedua dan ketiga, tetapi gagal terus dan disuruh mengulang. Saya tidak tahu pasti alasan kegagalan mendaftar, mungkin karena kuota yang terbatas sementara jumlah peserta sangat banyak,” ujarnya.
Sebelum ada pandemi coronavirus disease atau Covid-19, Nelly memiliki pekerjaan sebagai karyawan kontrak di sektor perdagangan di daerah Tangerang Selatan. Namun, sudah lebih dari satu bulan, ia menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Guna memenuhi kebutuhan harian, ia mengandalkan sisa tabungan. ”Saya juga anak rantau, jadi susah mendapat bantuan dari pemerintah. Padahal, saya sudah coba memberikan dokumen yang diminta ketua RT (rukun tetangga), tetapi tetap tidak dapat,” kata Nelly.
Tak hanya Nelly, calon peserta lain, Yakobis Dami (25), juga harus mengurungkan sementara niatnya mendaftar Kartu Prakerja. Ia berharap dapat ikut program ini agar bisa mendapatkan insentif untuk membantu biaya sekolah adik.
”Awalnya saya mendapat informasi (pendaftaran) akan dibuka lagi Selasa tanggal 26 Mei 2020, tetapi saya tunggu-tunggu kok enggak ada. Ternyata memang masih harus menunggu,” kata Yakobis, buruh angkut belanjaan di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Sementara menunggu kembali dibuka, Yakobis kini mengandalkan hasil uang kerja untuk bertahan hidup. Ia berharap pendaftaran Kartu Prakerja nantinya sudah dapat tersedia dengan pelatihan offline agar lebih tepat guna.
Lain halnya dengan Rasito (22) sebagai calon peserta Kartu Prakerja, ia mengaku kecewa dan tidak ingin mencoba lagi. Menurut dia, sistem pendaftaran masih sering error dan yang utama, tidak ada kepastian kapan pendaftaran akan kembali dibuka.
”Saya pernah ikut (pendaftaran) satu kali dan itu tidak lolos, kemarin sempat menunggu gelombang keempat tapi ternyata enggak jadi dibuka. Jadi ya sudah, saya coba jual martabak saja untuk menyambung hidup,” ujar Rasito, tenaga kerja di bidang komponen sistem elektronik di Cikarang yang terkena PHK.
Komunikasi
Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, menilai, sejak awal, program Kartu Prakerja memang tidak tepat untuk menjadi solusi mengatasi persoalan korban PHK dalam keadaan darurat. Sebab, ada berbagai persyaratan dan juga skema pelatihan yang harus diikuti terlebih dahulu sebelum mendapat insentif.
Alhasil, banyak peserta Kartu Prakerja yang cenderung memilih pelatihan-pelatihan yang singkat agar cepat mendapatkan uang. Tidak ada jaminan kompetensi peserta meningkat setelah mengikuti pelatihan instan seperti itu.
Sementara dievaluasi, kata Alamsyah, masyarakat yang merasa keadaannya mendesak untuk mendapatkan bantuan bisa melaporkan diri kepada para pelayan masyarakat di lingkungan setempat. Dengan demikian, diharapkan dapat memperoleh bantuan sosial lain.
”Pemerintah juga harus bergerak lebih cepat dalam mengevaluasi. Ada baiknya pemerintah berkomunikasi dengan asosiasi pengusaha, asosiasi serikat pekerja, dan juga publik secara umum bagi mereka yang tidak terdaftar dalam asosiasi mana pun,” ujar Alamsyah.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat menyatakan, hingga saat ini pemerintah belum membuka komunikasi dengan serikat pekerja. Padahal, komunikasi penting dilakukan untuk mengetahui secara jelas apa yang menjadi persoalan di lapangan.
Mirah mengapreasiasi pemerintah yang sedang mengevaluasi program Kartu Prakerja. Namun, asosiasi-asosiasi terkait semestinya juga diundang untuk bersama-sama mendiskusikan persoalan ketenagakerjaan.
”Kami telah mendengar langsung dari kawan-kawan pekerja tentang keluhan mereka. Jangan sampai hasil evaluasi Kartu Prakerja nanti malah kembali tidak menjadi solusi bagi korban PHK,” kata Mirah.