Kerusuhan Rasial di AS, Umumnya Diawali oleh Kekerasan Aparat
›
Kerusuhan Rasial di AS,...
Iklan
Kerusuhan Rasial di AS, Umumnya Diawali oleh Kekerasan Aparat
Kematian-kematian dan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Amerika Serikat mungkin bisa dicegah bila desakan reformasi pada kepolisian negara itu dijalankan dengan serius.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
Sebelum massa meluapkan kemarahan atas kematian George Floyd seperti sekarang ini, Amerika Serikat telah berkali-kali diguncang kerusuhan rasial karena alasan serupa: kekerasan aparat dan warga kulit putih terhadap warga kulit hitam.
Kematian pejuang gerakan persamaan hak seluruh warga, Martin Luther King Jr, pada 1968 adalah salah satu pemicu kerusuhan rasial skala luas dan besar-besaran.
Kala King dimakamkan pada 9 April 1968 atau lima hari setelah ia ditembak di Memphis pada 4 April, kerusuhan telah merebak di hampir 200 kota. Kekacauan masih berlanjut hampir sepekan selepas King dimakamkan di kampung halamannya di Atlanta, Georgia. Sebanyak 43 orang tewas, lebih dari 3.000 orang cedera, dan 27.000 orang ditahan di seluruh AS saat itu.
Presiden AS Lyndon B Johnson dan para gubernur negara bagian AS mengerahkan hampir 60.000 tentara aktif dan tentara cadangan (Garda Nasional) untuk memadamkan kerusuhan itu. Ratusan ribu aparat keamanan dari berbagai instansi di ratusan kota dan puluhan negara bagian juga dikerahkan untuk mengendalikan massa.
Dalam buku The Great Uprising: Race Riots in Urban America during the 1960s yang disusun Peter Levy disebutkan, kematian King memicu kemarahan warga kulit hitam. Sepekan sebelum King dibunuh, warga kulit hitam marah setelah keluar laporan Komisi Kerner tentang kerusuhan rasial pada Juli 1967. Kerner menyebutkan 43 orang tewas dan menyoroti ketimpangan akibat diskriminasi rasial.
Selepas itu, AS masih menyaksikan rangkaian kerusuhan rasial. Kerusuhan besar antara lain terjadi pada 1992 kala pengadilan membebaskan sejumlah polisi yang memukul Rodney King, pria kulit hitam, hingga babak belur. Setelah sembuh, ia diberi ganti rugi 3,8 juta dollar AS. Namun, warga terlanjur marah atas ketidakadilan proses persidangan.
Kemarahan tersebut berujung pada kerusuhan yang menewaskan 63 orang dan lebih dari 2.000 orang cedera. Presiden AS George Bush menggunakan kewenangan berdasarkan undang-undang buatan 1807 untuk mengerahkan tentara dalam pemadaman kericuhan.
Selalu berulang
Insiden itu bukan yang terakhir di AS. Pada 2014, sejumlah kota AS diguncang unjuk rasa dan kerusuhan rasial setelah kematian Eric Garner dan Michael Brown. Garner tewas kehabisan napas setelah dicekik salah seorang dari sejumlah polisi yang menangkapnya di Staten Island, New York. Brown ditembak seorang polisi di Ferguson, Missouri.
Juri di New York dan Missouri menolak untuk mendakwa para polisi tersebut. Unjuk rasa besar-besaran pun pecah. Untuk pertama kalinya pula gerakan ”black lives matter” meluas ke berbagai penjuru AS.
Gerakan yang dimulai sejak 2013 itu memprotes kekerasan berlebihan oleh aparat AS terhadap warga kulit hitam. Banyak warga kulit hitam AS kemudian menjadi korban kekerasan berlebihan aparat.
Ada juga warga yang sama sekali tidak bersalah tewas oleh kekerasan aparat AS, seperti dialami Breonna Taylor, warga kulit hitam di Louisville, Kentucky. Ia tewas ditembak polisi di rumahnya setelah masuk paksa pada 13 Maret 2020 malam. Belakangan diketahui para polisi itu mencari orang yang sudah 2 tahun tak pernah berhubungan dengan Taylor.
Sampai kasus Floyd meledak, kasus Taylor tidak disoroti luas. Bersamaan dengan unjuk rasa memprotes kematian Floyd, pemerintah kota dan kepolisian Louisville serta Biro Investigasi Federal AS (FBI) akhirnya bertindak.
Kematian-kematian dan kericuhan-kericuhan yang mengikutinya itu mungkin bisa dicegah bila desakan reformasi pada kepolisian AS dijalankan.
Sayangnya, desakan yang antara lain dilakukan atlet AS Collin Kaepernick yang berlutut kala lagu kebangsaan AS dinyanyikan sebelum pertandingan pada Agustus 2016 itu tidak kunjung didengar. (AP/REUTERS)