Revisi APBN 2020: Belanja Negara Meningkat, Pendapatan Negara Turun
›
Revisi APBN 2020: Belanja...
Iklan
Revisi APBN 2020: Belanja Negara Meningkat, Pendapatan Negara Turun
Pemerintah kembali berencana merevisi APBN 2020. Alokasi belanja negara meningkat. Sebaliknya, pendapatan negara turun. Ini tak pelak membuat defisit anggaran membesar hingga 6,34 persen dari PDB.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah segera merevisi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020. Belanja 2020 dialokasikan meningkat menjadi lebih dari Rp 2.738,4 triliun, sedangkan pendapatan negara menurun menjadi sekitar Rp 1.699,1 triliun.
Perubahan postur anggaran ini ditetapkan dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Rabu (3/6/2020) siang.
Hadir dalam rapat terbatas yang dilangsungkan secara virtual ini sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dan Ketua KPK Firli Bahuri.
Dalam pengantar rapat terbatas, Presiden meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa untuk menghitung secara cermat dan detail termasuk berbagai risiko fiskal ke depan.
”Perubahan postur APBN agar dilakukan dengan hati-hati, transparan, akuntabel sehingga APBN 2020 bisa dijaga, dipercaya, dan tetap kredibel,” ujarnya.
Sri Mulyani, seusai rapat, menjelaskan, program pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19 mengubah postur APBN 2020. Hal ini disebutkannya telah mendapat masukan dari Badan Anggaran DPR dan Komisi XI DPR serta ditetapkan Presiden Jokowi dalam rapat terbatas.
Dalam perubahan itu, pendapatan negara dikoreksi lagi. Jika semula dalam Perpres No 54/2020 pendapatan negara dialokasikan sebesar Rp 1.760,9 triliun, kali ini dikoreksi menjadi Rp 1.669,1 triliun. Pendapatan itu berubah karena penurunan penerimaan pajak dari Rp 1.462,6 triliun menjadi Rp 1.404,5 triliun.
Sebaliknya, alokasi anggaran untuk belanja negara meningkat dari semula Rp 2.613,8 triliun menjadi Rp 2.738,4 triliun. Peningkatan belanja ini akan mencakup program-program pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19, termasuk untuk daerah dan sektoral.
Khusus biaya penanganan Covid-19 dialokasikan menjadi Rp 677,2 triliun. Alokasi ini terdiri atas belanja bidang kesehatan seperti belanja penanganan Covid-19, tenaga medis, santunan kematian, bantuan iuran untuk Jaminan Kesehatan Nasional, pembiayaan gugus tugas, dan insentif perpajakan bidang kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun dan pemulihan ekonomi yang mencapai Rp 589,65 triliun.
Terkait dengan alokasi anggaran untuk pemulihan ekonomi, terdapat biaya perlindungan sosial sebesar Rp 203,9 triliun yang terdiri atas belanja bantuan sosial Rp 178,9 triliun dan tambahan logistik Perum Bulog yang juga untuk bansos.
Selain itu, belanja pemulihan ekonomi lainnya berkaitan dengan dukungan kepada UMKM dalam bentuk subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi dan mendukung modal kerja UMKM, penjaminan kredit modal kerja darurat senilai Rp 123,46 triliun; insentif dunia usaha berupa relaksasi di bidang perpajakan dan stimulus lainnya senilai Rp 120,61 triliun serta pembiayaan dan korporasi; serta dukungan untuk sektoral maupun kementerian/lembaga serta pemerintah daerah yang mencapai Rp 97,11 triliun.
Defisit meningkat
Dengan demikian, defisit meningkat dari semula Rp 852,9 triliun atau 5,07 persen dari produk domestik bruto (PDB) menjadi Rp 1.039,2 triliun atau menjadi 6,34 persen dari PDB. ”Kenaikan defisit ini akan tetap kita jaga secara hati-hati seperti instruksi Presiden dari sisi sustainibilitas dan pembiayaannya,” kata Sri Mulyani.
Untuk menutup defisit, pemerintah menjanjikan penggunaan sumber pendanaan dengan risiko terkecil dan biaya terendah, termasuk menggunakan sumber internal pemerintah. Di antaranya, penggunaan saldo anggaran lebih pemerintah, dana abadi yang dimiliki untuk bidang kesehatan dan badan layanan umum, serta penarikan pinjaman program dengan bunga rendah.
Pemerintah juga akan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) di domestik dan global serta mendapat dukungan Bank Indonesia (BI) melalui kebijakan moneter seperti penurunan giro wajib minimum. BI, kata Perry, berkomitmen membeli SBN dalam pasar perdana sejak kesepakatan bersama pada 16 April 2020.
Sejak 21 April 2020, BI telah membeli SBN di pasar perdana sejumlah sekitar Rp 26 triliun.
SBN yang dibeli BI di pasar perdana semakin lama kian kecil dan yield SBN juga menurun. Hal ini menunjukkan kapasitas absorpsi pasar semakin baik. ”Dengan confident (kepercayaan diri) investor yang semakin besar, semakin banyak investor asing yang membeli SBN di lelang perdana,” ujarnya.
BI, OJK, dan Kementerian Keuangan, tambah Sri Mulyani, juga membuat kesepakatan bersama mengenai bagaimana membagi beban secara baik untuk menjaga keberlanjutan kebijakan fiskal maupun dari independensi serta kredibilitas kebijakan moneter.