Trump sudah menyiagakan 1.600 tentara aktif di pinggiran Washington DC, yang siap digerakkan jika kondisi membutuhkan. Namun, Menteri Pertahanan AS Mark Esper menyatakan tidak mendukung pengerahan tentara aktif.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
WASHINGTON DC, KAMIS -- Sejumlah pihak dan kalangan di Amerika Serikat mendorong perlunya reformasi di tubuh kepolisian negara itu. Selain itu, langkah Presiden Donald Trump untuk mengerahkan tentara aktif dalam menangani kerusuhan rasial juga kurang didukung dan bahkan ditentang.
Trump sudah menyiagakan 1.600 tentara aktif di pinggiran Washington DC, yang siap digerakkan jika kondisi membutuhkan. Namun, Menteri Pertahanan AS Mark Esper menyatakan tidak mendukung langkah tersebut.
Menurut Esper, pengerahan tentara aktif sesuai Undang-Undang Pemberontakan 1807 untuk menangani gelombang demonstrasi antirasial dan kebrutalan polisi saat ini, tidak tepat. Demonstrasi untuk memprotes kematian George Floyd, pria kulit hitam, akibat kekerasan polisi belum perlu melibatkan militer aktif.
”Tentara aktif hanya boleh digunakan jika betul-betul tidak ada pilihan lain dan hanya untuk situasi yang sangat mendesak dan mengkhawatirkan. Situasi kita tidak seperti itu,” kata Esper, Rabu (3/5/2020) waktu setempat.
Untuk bisa mengerahkan militer AS untuk kepentingan penegakan hukum di wilayah AS, Trump harus meminta pengaktifan UU Pemberontakan 1807. Hal itu pun harus dengan persetujuan Kongres. UU itu pernah diberlakukan pada saat kerusuhan Rodney Kings di Los Angeles pada 1992.
Mantan Presiden AS Barack Obama mendorong semua wali kota di AS untuk mengkaji lagi dan mereformasi kebijakan penggunaan kekerasan di kepolisian dengan berkonsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat.
“Peristiwa ini kesempatan kita untuk bekerja sama mengubah Amerika sesuai dengan harapan dan cita-cita kita,” ujarnya.
Dorongan untuk reformasi kepolisian ini menguat dari berbagai pihak. Reformasi pernah dilakukan setelah terjadi serangkaian kasus pembunuhan anak muda berkulit hitam oleh polisi pada 2014.
Insiden tersebut mendorong 24 negara bagian untuk segera mengesahkan reformasi sejumlah bentuk penegakan hukum tetapi banyak negara bagian yang justru tidak menyelesaikan isu paling penting yakni penggunaan kekerasan oleh polisi.
Dorongan reformasi kepolisian ini kembali mencuat saat gelombang protes antirasial setelah kematian George Floyd, warga kulit hitam asal Minneapolis, 25 Mei lalu.
Floyd tewas setelah lehernya ditekan dengan dengkul oleh seorang polisi berkulit putih selama 9 menit. Padahal ia sudah berteriak meminta tolong dilepaskan karena tak bisa bernapas.
Berjuang lagi
Kini, para gubernur dan anggota parlemen berharap bisa meredakan amarah demonstran dengan mendorong usulan reformasi kepolisian yang gagal pada 2014.
Pada tahun itu, ada setidaknya 3 kasus pembunuhan warga kulit hitam oleh polisi berkulit putih yakni kasus Michael Brown di Ferguson, Missouri, Eric Garner di New York, dan Tamir Rice (12) di Cleveland.
“Kita harus berjuang lebih keras lagi,” kata anggota parlemen dari Partai Demokrat perwakilan Maryland, Vanessa Atterbeary.
Upaya mengganjal reformasi kepolisian datang dari serikat penegak hukum yang berpengaruh secara politis. Di sejumlah negara bagian, anggota parlemen malah memperluas kekuasaan polisi seperti memperkuat sanksi hukuman bagi siapa saja yang menyerang polisi. Bahkan Tennessee dan Utah membatasi wewenang dan kekuasaan badan peninjau independen yang menyelidiki sepak terjang polisi.
Pada Agustus 2018, menurut Konferensi Nasional Legislatif Negara Bagian yang nonpartisan, sedikitnya 16 negara bagian mengesahkan aturan penggunaan kekerasan.
Di Utah dan Missouri, misalnya, tindakan yang dilakukan polisi harus dengan pertimbangan “atas dasar masuk akal dan perlu”. Colorado sudah melarang polisi mencengkeram bagian leher.
Pada tahun 2014, Wisconsin menjadi negara bagian pertama yang memberlakukan aturan yang memungkinkan penyelidikan jika ada orang yang tewas saat berada dalam tahanan polisi.
Pada pekan ini, Tony Evers dari Demokrat, mendesak UU yang mengharuskan penegak hukum meminimalisir penggunaan kekerasan dan mengutamakan nyawa. Gubernur New Jersey Phil Murphy akan memperbarui panduan negara bagian untuk mengatur tindakan polisi. Ini perubahan pertama kali dalam 20 tahun terakhir.
Hilang kepercayaan
Senator Lew Frederick dari Demokrat perwakilan Portland menegaskan isu terpenting yang saat ini hilang adalah akuntabilitas dan kepercayaan. “Dua hal itu sudah rusak. Butuh kerja keras untuk memulihkan kepercayaan masyarakat,” ujarnya.
Penasihat Kebijakan Kepolisian di ACLU, Paige Fernandez, mengatakan banyak serikat polisi yang meyakinkan diri mereka sendiri bahwa polisi tidak mampu melindungi diri sendiri jika mereka menghargai integritas tubuh dan kehidupan pribadi warga yang seharusnya mereka jaga dan layani.
Persatuan Nasional Persaudaraan Polisi menyatakan tidak ada keraguan kematian Floyd sudah melukai kepercayaan masyarakat terhadap polisi. “Polisi harus memperlakukan setiap warga negara dengan rasa hormat dan penuh pengertian,” sebut pernyataan tertulis mereka.
Anggota parlemen Summer Lee mengingatkan untuk menghentikan perlakuan rasis terhadap warga kulit hitam tidak cukup dengan mengubah UU. Pandangan rasis yang sudah melekat lama itu yang harus ditangani.
“Jangan hanya bicara saja. Lakukan sesuatu untuk melawan rasisme. Kita punya RUU dan kita punya lembaga yang bisa mewujudkan itu,” ujarnya. (REUTERS/AP)