Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkukuh melanjutkan reklamasi Ancol dengan dalil untuk rekreasi publik. Namun, sebagian kalangan menilai reklamasi itu tanpa landasan hukum yang jelas.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai tidak memiliki niat konkret menghentikan reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Dalil reklamasi Ancol dengan tujuan mengakomodasi kepentingan rekreasi publik menjadi abu-abu karena tanpa landasan hukum yang jelas.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Sekretaris Daerah Saefullah, pada Jumat (3/7/2020), menyebut reklamasi Ancol untuk kepentingan rekreasi publik. Lokasi reklamasi yang menuai polemik itu berada di Ancol timur dan barat yang sejak 2009 menjadi tempat penampungan tanah kerukan dari 5 waduk dan 13 sungai. Lokasi itu juga menjadi tempat penampungan tanah galian terowongan MRT.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai langkah DKI Jakarta melanjutkan reklamasi Ancol menunjukkan tidak ada niatan serius dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan reklamasi. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dinilai hanya memanfaatkan isu reklamasi saat gelaran Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagai komoditas politik.
”Kami apresiasi ada 13 pulau yang hari ini dibatalkan. Tetapi, kalau dilihat denah izin yang keluar di Dufan dan Ancol, ini dekat dengan Pulau K dan L. Itu pulau-pulau yang sebenarnya dibatalkan oleh Gubernur DKI Jakarta,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (4/7/2020).
Reklamasi Ancol tertuang dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dunia Fantasi Seluas Lebih Kurang 35 Hektar dan Kawasan Rekreasi Taman Impian Ancol Timur Seluas Lebih Kurang 120 Hektar. Keputusan itu sama sekali tidak memasukan aturan tentang tata ruang sebagai pertimbangan.
Pembangunan di wilayah pesisir seharusnya berlandaskan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K). Namun, sejauh ini DKI Jakarta disebut belum memiliki aturan tentang RZWP3K.
”Jadi, landasan hukumnya tidak jelas. Ada kecenderungan gubernur memilih kebijakan mana yang bisa mengakomodasi kepentinganya. Dalam konteks salah atau benar sudah tidak jelas, karena ruangnya menjadi abu-abu sekarang,” kata Susan.
Sebelumnya, doktor sosiologi dan pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menjelaskan bahwa Kepgub Jakarta No 237/2020 tidak menggunakan ketentuan Peraturan Daerah Jakarta 1/2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.
Dalam perda itu, menurut Yayat, hanya ada denah perluasan Dunia Fantasi. Adapun perluasan Ancol tidak disebutkan. Dalam hukum positif, perda itu harus direvisi dulu sebelum ada kepgub. Konsekuensi jika tidak melakukannya adalah pejabat pemerintah yang menerbitkan aturan bisa dikenai sanksi pidana.
Makna pantai publik
Saefullah menambahkan, selama sebelas tahun terakhir tanah pengerukan dari 13 anak sungai, 5 waduk, dan tanah galian terowongan MRT yang sudah terkumpul mencapai 3.441.870 meter kubik. Tanah lumpur itu mengeras dan membentuk lahan seluas 20 hektar.
Lokasi itu persis bersebelahan dengan Taman Impian Jaya Ancol dan tidak bersinggungan dengan kehidupan para nelayan di Jakarta Utara. Pemprov DKI Jakarta lalu memutuskan mereklamasi wilayah itu agar tanah tersebut tidak tercecer ke dalam laut tanpa terkendali.
”Pemerintah membuat keputusan gubernur agar tanah ini bisa memperoleh sertifikat Badan Pertanahan Nasional. Melalui aturan ini juga akan dilakukan reklamasi seluas 120 hektar untuk Taman Impian Jaya Ancol dan 35 hektar untuk Dunia Fantasi. Ini mencakup ruang bermain anak dan museum sejarah Islam untuk kepentingan masyarakat,” ujar Saefullah.
Dalil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mereklamasi Ancol dengan tujuan mengakomodasi kepentingan publik dipertanyakan Kiara. Istilah Pantai publik itu artinya terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa ada pungutan biaya apa pun.
”Yang dimaksud pantai publik harusnya gratis bagi orang. Jadi, jangan melihat Ancol dan Dufan memberi akses, seolah-olah gratis, tetapi pada prinsipnya itu privatisasi,” ujar Susan.
Yang dimaksud pantai publik harusnya gratis bagi orang. Jadi, jangan melihat Ancol dan Dufan memberi akses, seolah-olah gratis, tetapi pada prinsipnya itu privatisasi.
Sebelumnya, pada 26 Februari 2020, Pemerintah Provinsi DKI sudah melaksanakan peletakan batu pertama pembangunan Museum Sejarah Nabi dan Peradaban Islam. Pembangunan direncanakan berlangsung 1,5 tahun ke depan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam acara tersebut mengatakan alasan membangun museum di daerah pesisir ialah sejarah Islam di Nusantara berawal dari pesisir. Di samping itu, wilayah Ancol sudah terkenal sebagai tempat wisata sehingga cocok untuk membangun obyek wisata pendidikan bagi semua lapisan masyarakat.
Acara itu dihadiri Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla, Wakil Ketua DMI Syafruddin, dan Menteri Agama Fachrul Razi. Turut hadir Sekretaris Jenderal Liga Muslim Dunia Mohammed Abdulkarim Al Issa.