Data pribadi sebagai bagian dari kehidupan manusia harus tetap dilindungi. Situasi pandemi tidak bisa menjadi dasar pembenaran erosi hak dasar manusia ini.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
Ada hal yang terlewatkan ketika berbicara soal Israel selama enam bulan terakhir. Di tengah hiruk-pikuk soal pencaplokan wilayah Tepi Barat, Palestina, dan konflik politik selama hampir satu setengah tahun terakhir, satu hal kecil yang bisa menjadi cermin dunia terjadi di sini.
Mahkamah Agung Israel pada 26 April memutuskan, aplikasi pelacakan yang dibuat badan intelijen Israel untuk melacak pergerakan warga adalah pelanggaran privasi warga. MA Israel menilai aplikasi itu ilegal. Pemerintah Israel diminta membuat landasan hukum yang kuat sebelum mewajibkan warga memasang aplikasi itu pada gawai mereka.
”Pilihan negara untuk menggunakan layanan keamanan sebagai tindakan pencegahan (Covid-19) tanpa persetujuan menimbulkan kesulitan besar dan alternatif yang cocok, yang sesuai dengan prinsip-prinsip privasi, harus ditemukan,” demikian isi putusan MA Israel, sebagaimana dikutip oleh kantor berita Reuters.
”Kita harus mengambil setiap tindakan pencegahan untuk memastikan bahwa perkembangan luar biasa yang kita hadapi saat ini tidak menempatkan kita pada lereng yang licin di mana alat yang luar biasa dan berbahaya digunakan tanpa pembenaran,” kata putusan itu.
MA Israel sadar, privasi merupakan hak dasar manusia yang tidak bisa diserahkan begitu saja kepada penguasa. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948 menyebut, setiap individu berhak memperoleh kebebasan, termasuk kebebasan bergerak di dalam wilayah suatu negara. Seorang individu juga tidak boleh mendapatkan gangguan atau tindakan kesewenang-wenangan atas privasinya, keluarganya, tempat dia tinggal atau dalam proses korespondensi. Hak-hak itu diperkuat di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tahun 1976.
Isu data pribadi, kebebasan, dan pelacakan di tengah pandemi ini memang menjadi diskusi yang hangat di tengah upaya pencegahan penyebarluasan Covid-19. Tiga kata yang jadi kunci untuk menghambat penyebaran Covid-19 adalah pengujian, pelacakan, dan isolasi, ditambah mengobati.
Pandangan MA Israel itu menyiratkan bahwa pemerintah atau lembaga intelijen, yang membantu pemerintah, tidak boleh seenaknya ”memata-matai” warga. Pandemi Covid-19 adalah masalah bersama, tetapi tidak menjadi pembenaran untuk mengintip pergerakan warga.
Banyak cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk melakukan pelacakan pergerakan warga yang diduga terpapar Covid-19. Di Jerman, misalnya, warga yang mengunjungi tempat umum, seperti restoran, diminta untuk meninggalkan nama dan nomor telepon yang bisa dihubungi sewaktu-waktu apabila dalam kurun waktu tertentu sejak kedatangan di lokasi tersebut ditemukan kasus Covid-19. Pemilik restoran memiliki kewajiban untuk menghubungi konsumen dan memintanya memeriksakan diri ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan terdekat apabila ada kasus. Kedisiplinan manajemen restoran menjadi kunci di sini.
Di Korea Selatan, Jepang, Selandia Baru, dan Australia, tanpa aplikasi, warga dengan kesadaran diri dan kedisiplinan tinggi memilih menjaga jarak fisik dan sosial agar tidak terpapar virus. Bandingkan dengan warga dan pemerintah negara-negara yang bandel dan cenderung abai di mana jumlah kasus makin meningkat.
Tanpa aplikasi pelacakan pun, manusia sebenarnya sudah ”telanjang” karena kemajuan teknologi gawai yang mereka gunakan. Sadar atau tidak sadar, seseorang telah menyerahkan sebagian atau seluruh data pribadinya ketika dia menggunakan gawai yang terkoneksi dengan internet. Aplikasi pelacakan hanya akan menambah ketelanjangan itu.
Oleh karena itu, kesadaran warga untuk menerapkan protokol kesehatan, mulai dari penggunaan masker, pembatasan fisik dan sosial, menjadi kian penting demi meredam penularan sekaligus ”membatasi ketelanjangan itu”. Inilah yang perlu terus digaungkan.