Pasar properti diprediksi baru akan bergeliat pada tahun 2021. Di tengah koreksi pasar yang dalam, ruang negosiasi untuk sewa dan pembelian unit properti semakin fleksibel.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasokan dan permintaan properti diprediksi masih akan melemah. Di tengah tekanan itu, para pelaku sektor properti menerapkan fleksibilitas pembayaran, pemberian insentif, hingga penyesuaian luas unit untuk mendorong pasar. Wajah properti akan berubah.
Senior Associate Director Colliers International Indonesia Ferry Salanto memaparkan, pasar properti masih akan mengalami koreksi, baik perkantoran, hotel, mal, maupun apartemen. Kabar baiknya, ruang negosiasi untuk sewa dan pembelian unit properti semakin fleksibel.
Pasokan apartemen diperkirakan akan mengalami koreksi terbesar dalam enam tahun terakhir. Pada tahun 2020, pasokan yang semula diproyeksikan sebesar 11.834 unit diperkirakan hanya terealisasi 2.011 unit. Rendahnya suplai menunjukkan tingkat kepercayaan diri pengembang untuk melanjutkan proyek belum pulih.
Di sisi permintaan, tingkat penyerapan apartemen juga terus menurun. Sejak 2015, tren serapan apartemen sudah menurun, tetapi dampak pandemi Covid-19 membuat pasar semakin sulit. Pada semester I-2020, tingkat serapan stagnan di 87,7 persen dan mayoritas untuk apartemen kelas menengah ke bawah. Profil pembeli apartemen dinilai sudah tidak bisa lagi mengandalkan investor yang saat ini cenderung menahan investasi.
Di tengah koreksi pasar, skema pembayaran yang ditawarkan kian fleksibel. Tarif sewa apartemen yang biasanya dibayar dua tahun di muka kini lebih fleksibel menjadi bulanan atau tiga bulanan. Sementara itu, pengembang apartemen strata kian membidik segmen menengah bawah dengan tawaran diskon, kemudahan pola pembayaran, dan tenor cicilan.
”Ruang negosiasi semakin fleksibel antara pengembang dan konsumen,” kata Ferry dalam paparan kinerja properti Jakarta dan Surabaya serta hotel di Bali pada semester I (Januari-Juni) 2020.
Senior Associate Director Residential Services Colliers International Indonesia Lenny Sinaga mengemukakan, pasar apartemen sewa kian menurun seiring berkurangnya sejumlah ekspatriat di Indonesia akibat tutupnya sejumlah perusahaan minyak, serta dampak pandemi Covid-19. Akibatnya, terjadi fleksibilitas tarif sewa dan masa sewa dengan periode lebih singkat untuk mendorong pasar.
Perkantoran berubah
Sementara itu, kebijakan bekerja dari rumah (WFH) yang diperpanjang sebagai dampak pandemi Covid-19 dinilai mengubah wajah perkantoran. Perkantoran semakin fleksibel dalam menawarkan tarif sewa, harga jual unit (strata), serta penyediaan ukuran unit yang lebih kecil untuk mendorong okupansi. Selain itu, fleksibilitas pola pembayaran dan tenor sewa. Di pihak lain, ruang kerja bersama (co-working space) menjadi pilihan untuk berkantor sementara.
Meski kian fleksibel, pasar perkantoran diproyeksikan tetap melemah hingga 2021 karena suplai kantor yang meningkat dan memuncak pada 2021. Selama tahun 2020-2024 akan ada penambahan kumulatif ruang perkantoran sebesar 1,22 juta meter persegi di Jakarta, sekitar 60 persennya di kawasan pusat bisnis (CBD).
Sebaliknya, okupansi kantor terus menurun karena suplai melebihi serapan. ”Tantangan belum berakhir karena tahun 2021 jumlah pasokan (ruang perkantoran) akan lebih banyak lagi,” kata Ferry.
Tingkat okupansi perkantoran di Jakarta diprediksi turun dari 83,5 persen menjadi di bawah 82 persen pada akhir tahun 2020. Tahun 2021, tingkat okupansi diprediksi mencapai titik terendahnya, yakni 78 persen. Kondisi ini dinilai tidak menguntungkan bagi pemilik gedung. Di Surabaya, tingkat penjualan juga mengalami kontraksi akibat tambahan pasok. Serapan gedung yang dibangun baru 40 persen.
Pengembang kini berupaya mendorong keterisian gedung dengan koreksi harga. Tarif sewa maupun harga jual (strata) ruang perkantoran semakin fleksibel dengan tawaran diskon hingga 20-30 persen dari harga penawaran. Penyewa (tenant) yang membutuhkan ruang kantor lebih luas atau memiliki nama besar berpotensi memperoleh diskon lebih besar.
Di sektor ritel, penyelesaian beberapa mal di Jabodetabek tertunda karena konstruksi yang melambat. Beberapa mal yang sudah selesai dibangun juga menunda operasionalisasi sambil menunggu kondisi pasar kondusif, serta menekan biaya operasional. Hingga tahun 2024, pasokan ruang ritel di Jabodetabel diperkirakan 1 juta meter persegi, sejumlah 60 persen di luar Jakarta.
Meskipun sejumlah mal sudah kembali beroperasi, konsumen masih cenderung menahan diri ke mal. Penyewa ruang ritel cenderung menunda ekspansi, meminta penundaan pembayaran dan keringanan tarif sewa. ”Tidak banyak pilihan pemilik mal dan penyewa sehingga kesepakatan bisa terjadi,” katanya.
Sementara itu, Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia Tutum Rahanta menyatakan, pembukaan sejumlah pusat belanja sejak pertengahan Juni 2020 mulai menumbuhkan peningkatan belanja. Hal itu juga ditopang sejumlah promosi dari peritel. Namun, pemasaran produk masih didominasi makanan dan minuman.
Oleh karena itu, salah satu cara mendorong belanja masyarakat adalah promosi produk. Selain itu, keseriusan pemerintah untuk mengatasi persoalan pandemi Covid-19 diperlukan sehingga perekonomian bangkit kembali.