Kondisi pandemi Covid-19 bukan alasan bagi negara-negara, termasuk Indonesia, untuk mengendurkan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca dalam rangka memerangi perubahan iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situasi pandemi Covid-19 membuat sejumlah negara, termasuk Indonesia, berfokus pada upaya penanganan pagebluk ini dan cenderung menyampingkan agenda pembangunan lainnya. Meski demikian, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan akan tetap fokus menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan kesepakatan global.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman menyampaikan, dari sejumlah perhitungan, emisi gas rumah kaca (GRK) nasional cenderung menurun pada bulan Maret hingga Mei. Namun, emisi kembali naik pada Juni dan Juli seiring dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi.
”Emisi paling rendah dari transportasi tercatat pada bulan Mei, begitu juga dari konsumsi LPG (liquefied petroleum gas) nasional pada industri dan rumah tangga. Ini yang harus diperhatikan bagaimana agar emisi dan polusi udara tetap dalam keadaan baik dan aman,” ujarnya dalam diskusi daring bertema ”Kesehatan Lingkungan Selama Pandemi: Pembangunan Rendah Emisi dan Masa Depan Kita”, yang diselenggarakan Coaction Indonesia dan Kemitraan, Rabu (5/8/2020).
Ruandha mengakui bahwa Covid-19 berperan dalam menekan aktivitas manusia sehingga mengurangi tingkat emisi GRK. Di sisi lain, komitmen penurunan emisi GRK dinilai akan kurang optimal karena semua negara merelokasi sumber daya dan anggarannya untuk penanganan Covid-19.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa sesuai Perjanjian Paris 2015, tidak ada penurunan komitmen capaian target emisi GRK. Sebaliknya, setiap negara harus meningkatkan targetnya untuk mengurangi emisi GRK. Begitu juga Indonesia yang tetap menargetkan penurunan emisi 29-41 persen pada 2030.
Agar emisi GRK menurun, Ruandha mengimbau agar masyarakat mengubah perilaku untuk menghemat energi. Beberapa di antaranya adalah dengan belanja secukupnya, bersepeda, berkebun, mengurangi limbah makanan, dan bepergian hanya untuk urusan penting.
Pada aspek yang lebih besar, KLHK juga merekomendasikan untuk mempercepat proyek pembangunan energi baru terbarukan. Selain itu, diperlukan juga pembangunan teknologi smelter yang lebih efisien, menurunkan emisi dari industri aluminium, dan pengembangan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di banyak kota.
Sebagai catatan, teknologi PLTSa yang sedang dikembangkan di sejumlah daerah ini masih pro-kontra. Teknologi ini dituding menyelesaikan masalah sampah dengan masalah baru seperti konsumsi bahan bakar pembakaran (karena kebanyakan jenis sampah basah) dan polusi udara.
”Saat ini Indonesia juga sedang membangun kebijakan nilai ekonomi karbon, insentif fiskal, dan nonfiskal. Dukungan perbankan juga dibutuhkan, misalnya untuk investasi pada energi baru terbarukan,” tuturnya.
Pakar epidemologi Universitas Indonesia Budi Haryanto mengatakan, sebagian besar dampak pencemaran udara terjadi pada kesehatan manusia. Partikel halus berukuran kurang dari 10 mikrometer atau PM10 yang juga menyebabkan pencemaran udara dapat meningkatkan kematian 5 hingga 10 persen jika dihirup manusia hingga menyebabkan sejumlah penyakit pernapasan.
Berdasarkan penelitiannya di Jakarta pada 2010 dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 57,8 persen penyakit yang ada di Jakarta berkaitan dengan polusi udara. Oleh karena itu, memperbaiki kualitas udara juga akan mengurangi penyakit yang ada di masyarakat.
Saling terkait
Penasihat untuk Pembangunan Rendah Karbon Kemitraan Eka Melisa menyatakan, polusi udara bukan hanya disebabkan oleh aktivitas lokal. Oleh karena itu, butuh penanganan yang saling terkait antara satu sektor dan sektor lainnya.
Eka menilai bahwa masa pandemi merupakan saat yang tepat untuk menerapkan pembangunan rendah karbon. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan merevisi dokumen perencanaan pembangunan, termasuk instrumen kebijakan regulatif, dan kebijakan keuangan yang diambil.
Sementara pakar kebijakan publik Agus Pambagio memandang, kebijakan pemerintah dalam menanggulangi pandemi dan kesehatan lingkungan masih belum optimal. Sebab, kebijakan yang dikeluarkan terkesan ambigu, banyak pengecualian, tidak tegas, hingga lemahnya sanksi yang ditetapkan.
”Pada akhirnya masyarakat dan pelaku usaha tidak peduli dengan peraturan dari pemerintah karena masalah nirsanksi. Dalam kasus pandemi dan kesehatan lingkungan publik cenderung apatis,” ujarnya.