Deteksi Dini Penyakit Leptospirosis dari Puskesmas
›
Deteksi Dini Penyakit...
Iklan
Deteksi Dini Penyakit Leptospirosis dari Puskesmas
Deteksi dini pasien sejak di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan, yakni puskesmas, dapat mencegah terjadinya kasus leptospirosis berat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem kewaspadaan dini sangat penting dilakukan sebagai upaya deteksi ataupun pencegahan penyebaran leptospirosis atau penyakit yang disebabkan bakteri Leptospira sp. Deteksi dini pasien sejak di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan, yakni puskesmas, dapat mencegah terjadinya kasus leptospirosis berat.
Peneliti Balai Besar Penelitian dan Pegembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Ristiyanto mengemukakan, penentuan indikator sistem kewaspadaan dini (SKD) dapat dilihat dari fluktuasi kasus, karakteristik lingkungan, serta rasio antara manusia dan tikus yang terinfeksi bakteri Leptospira sp.
”SKD sangat penting sebagai peringatan bagi pengelola program untuk merespons jika terjadi perubahan kecenderungan penyakit. Manfaatnya sudah jelas untuk penanggulangan leptospirosis secara global,” ujarnya dalam seminar daring bertajuk ”Strategi Pengendalian Tikus dan Faktor Risiko Leptospirosis”, Rabu (12/8/2020).
Dari penelitian B2P2VRP, surveilans berbasis puskesmas secara aktif dan pasif dapat menemukan kasus tersangka leptospirosis dengan menggunakan gejala terduga, kemungkinan (probable), dan konfirmasi. Jumlah tempat air tanpa disinfektan, kondisi lingkungan air, buruknya sanitasi, hingga kurang menjaga kebersihan diri juga dapat digunakan sebagai indikator SKD.
Menurut Ristiyanto, puskesmas dapat menggunakan buku petunjuk penanggulangan leptospirosis dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mendiagnosis pasien secara tepat dan cepat. Penerapan deteksi dini dari puskesmas dapat mencegah terjadinya kasus leptospirosis berat.
Profesor riset Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ibnu Maryanto, mengatakan, sebagai komensal, tikus hidup dalam kedekatan dengan manusia. Bahkan, gambaran tikus sudah sering muncul dalam peninggalan sejarah, seperti terlihat dalam relief di Candi Borobudur.
Sejumlah penelitian menyebutkan, tikus di Indonesia memiliki 188 jenis. Kelompok tikus ini merupakan yang terbesar kedua setelah kelelawar. Jenis tikus terbanyak berada di Papua dengan 67 jenis, disusul Sulawesi (60 jenis), Sumatera (37 jenis), Kalimantan (27 jenis), Maluku (24 jenis), dan Jawa (21 jenis).
Jenis tikus komensal yang ada di Indonesia antara lain Rattus argentiventer, Rattus hoffmanii, Rattus marmoxurus, Rattus praetor, Rattus niobe,Rattus tiomanicus, dan Mus musculus. Tikus tersebut banyak tersebar di kebun, ladang sekunder, dan persawahan. Jenis Rattus argentiventer (tikus sawah) dan Mus musculus (tikus rumah) merupakan tikus yang berpotensi menjadi agen leptospirosis.
”Tikus yang perlu diwaspadai sebagai agen leptospirosis adalah tikus yang hidup di dataran rendah dan di daerah perubahan habitat oleh manusia, seperti tegalan,” ujar Ibnu.
Kepala Departemen Bacteriologi Section Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet) Susan M Noor menambahkan, insiden leptospirosis tertinggi berada di wilayah tropis dan subtropis, terutama di negara berkembang. Masyarakat yang berisiko terkena leptospirosis adalah para petani, pekerja rumah potong hewan, peternak, dan dokter hewan.
Jumlah aktual kasus leptospirosis di Indonesia diyakini lebih tinggi daripada yang dilaporkan. Sebab, fakta menunjukkan bahwa infeksi tidak terlihat secara klinis dan banyak kasus salah diagnosis. Kondisi tersebut dinilai terjadi karena kurangnya pusat laboratorium untuk melakukan uji konfirmasi.