KPU tengah merampungkan draf revisi Peraturan KPU No 4/2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota. KPU hanya bolehkan akun resmi paslon.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Iklan politik Pemilihan Kepala Daerah 2020 di media sosial harus dikawal ketat. Transparansi dari platform digital sangat dibutuhkan untuk mencegah pelanggaran iklan politik di media sosial.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Viryan Aziz, menyatakan, KPU sedang merampungkan draf perubahan atas Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Aturan ini membuka ruang untuk peserta Pilkada 2020 berkampanye di media sosial.
Untuk iklan politik di media sosial, lanjutnya, KPU hanya membolehkan akun resmi milik pasangan calon (paslon) yang beriklan di media sosial. Paslon gubernur dan wakil gubernur bisa memiliki 30 akun di seluruh platfrom media sosial, sementara paslon bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota bisa mendaftarkan 20 akun resmi. Selama masa tenang, akun tersebut dinonaktifkan untuk mencegah kampanye dan munculnya iklan politik di masa tenang.
Hal ini disampaikannya dalam diskusi bertajuk ”klan Politik di Media Sosial dalam Pemilu: Peluang dan Tantangan”, Selasa (22/9/2020), oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Diskusi ini turut dihadiri oleh anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar, Politics and Government Outreach The Facebook Company, APAC, Noudy Valdryno; dan peneliti Elsam, Alia Yofira Karunian.
KPU hanya membolehkan akun resmi milik pasangan calon (paslon) yang beriklan di media sosial. Paslon gubernur dan wakil gubernur bisa memiliki 30 akun di seluruh platfrom media sosial, sementara paslon bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota bisa mendaftarkan 20 akun resmi.
Aziz menambahkan, penggunaan akun resmi untuk beriklan di media sosial bertujuan untuk mencegah penggunaan akun-akun anonim dan buzzer dalam menyampaikan iklan politik. Untuk itu, paslon diminta mengoptimalkan penggunaan akun resmi ini.
”Memang menjadi terkesan membatasi, tetapi ini menjadi tantangan bagi paslon untuk menjadikan akun resmi sebagai sandaran pemilih untuk mengetahui visi, misi, dan program yang diusung. Penting untuk menjaga update postingan akun agar orang bisa terus memeriksa dan menoleh ke akun tersebut,” katanya.
Iklan berbayar
Alia Yofira Karunian menjelaskan, iklan politik adalah konten berbayar yang dilakukan oleh peserta pemilu. Unggahan pribadi warganet terkait pilihan politiknya tidak termasuk iklan, tetapi bagian dari kemerdekaan berpendapat.
Berkaca pada Pemilu 2019, dia mencatat ada tiga kategori pengiklan politik di media sosial, yakni akun partai, akun pribadi, dan akun lainnya. Alia menyoroti keberadaan akun lainnya ini karena akan sangat sulit menuntut akuntabilitasnya ketika akun tersebut bermuatan konten iklan bermasalah. Partai ataupun paslon akan sangat mudah meyatakan bahwa akun tersebut bukan bagian dari tim kampanye mereka.
Oleh sebab itu, dia mendorong semua platfrom digital untuk memverifikasi terlebih dahulu setiap pengiklan politik. Keterangan bahwa yang bersangkutan mewakili paslon tertentu juga harus diumumkan ke publik, di samping biaya iklan, durasi iklan, dan luasnya cakupan iklan tersebut. Dengan demikian, pengiklan bisa diminta pertanggungjawabannya ketika melanggar ketentuan iklan politik di media sosial.
”Naskah perubahan PKPU No 4/2017 semestinya juga dikunci dengan aturan main dalam beriklan di media sosial ini,” katanya.
Pada Pemilu 2019, Elsam menemukan 116 iklan politik di Instagram dan Facebook. Beberapa di antaranya melanggar aturan karena iklan tersebut masih muncul di saat masa tenang.
Terkait hal ini, Noudy Valdryno menyatakan, Facebook sudah meluncurkan fitur Pustaka Iklan Facebook awal Agustus lalu. Fitur itu mewajibkan setiap pengiklan menyertakan identitas. Disertakan pula total biaya iklan dan durasi penayangan. Semua informasi itu bisa dilihat oleh publik.
Selain itu, dia melanjutkan, Facebook terus melakukan pencarian terhadap akun palsu. Sejak 2018, Facebook juga sudah bekerja sama dengan pihak ketiga untuk mencegah penyebaran berita palsu.
Facebook pun memiliki fitur untuk mendeteksi ”perilaku palsu terkoordinasi”. Dengan fitur ini, platfrom bisa menonaktifkan akun-akun yang menyebarkan informasi tertentu secara terorganisasi dan bukan bagian dari perilaku organik pengguna Facebook.
Bawaslu ikut mengawasi
Fritz Edward Siregar menambahkan, Bawaslu turut mengawasi media sosial karena kampanye di ruang maya menjadi salah satu tahapan dalam Pilkada 2020. Berkaca pada kewenangan tradisional Bawaslu, yang akan diawasi adalah akun resmi milik paslon.
Akun-akun resmi paslon, lanjutnya, relatif tidak bermasalah. Semua konten hanya berisi visi, misi, dan program. Namun, Pilkada Jakarta 2017 menjadi titik balik Bawaslu untuk lebih aktif mengawal media sosial. Sebab, perdebatan politik di media sosial bisa membuat situasi sosial masyarakat menjadi panas.
Belajar dari Pilkada 2017, maraknya perdebatan di media sosial membuat kami menyimpulkan bahwa media sosial tak mungkin dibiarkan tanpa regulasi sama sekali. Oleh sebab itu, fungsi pengawasan dari Bawaslu juga intensif di media sosial. Namun, kenyataannya tak semudah dibayangkan.
”Belajar dari Pilkada 2017, maraknya perdebatan di media sosial membuat kami menyimpulkan bahwa media sosial tak mungkin dibiarkan tanpa regulasi sama sekali. Oleh sebab itu, fungsi pengawasan dari Bawaslu juga intensif di media sosial. Namun, kenyataannya tak semudah dibayangkan,” ujar Fritz Edward.
Spektrum konten politik di media sosial, menurut dia, sangat luas. Bawaslu tidak bisa langsung bertindak apabila tak terdapat unsur pelanggaran yang nyata. Kampanye di media sosial menyebarkan visi, misi, dan program, serta berangkat dari percakapan organik dari warganet. Platfrom harus mendeteksi jika ada unsur rekayasa dalam kampanye di media sosial tersebut.
”Bekerja sama dengan pihak ketiga, platfrom pun harus bisa menentukan apakah sebuah konten termasuk ke dalam kemerdekaan menyampaikan pendapat, ujaran kebencian, atau berita bohong,” ujarnya.
Dia melanjutkan, dinamika politik di media sosial bisa tetap sehat apabila ikut diawasi oleh setiap lembaga terkait. Fungsi koordinasi antarlembaga ditingkatkan. Dengan demikian, potensi pelanggaran di media sosial bisa dikurangi.