Nama Burhanuddin dan Hatta Ali Ada di Proposal Pinangki
Nama Burhanuddin dan Hatta Ali tertera dalam proposal Joko Tjandra seperti disebutkan dalam dakwaan Jaksa Pinangki. Namun, kaitan keduanya di kasus itu dibantah.
JAKARTA, KOMPAS — Nama Burhanuddin dan Hatta Ali, yang masing-masing disebut sebagai pejabat Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung tertera dalam proposal rencana aksi yang diajukan jaksa Pinangki Sirna Malasari kepada terpidana kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, Joko S Tjandra. Rencana aksi untuk melepas Joko dari jeratan hukum tersebut disepakati seharga 10 juta dollar AS.
Poin dalam proposal rencana aksi atau action plan yang diduga ditawarkan Pinangki itu terungkap dalam dakwaan terhadap dirinya yang dibacakan tim jaksa penuntut umum bergantian dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (23/9/2020). Sidang diketuai Hakim IG Eko Purwanto.
Seperti diketahui, Jaksa Agung bernama Sanitiar Burhanuddin, sedangkan Ketua MA periode 2012-April 2020 ialah Hatta Ali. Namun, dugaan keterkaitan keduanya dengan perkara ini dibantah.
Pinangki, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan, didakwa pasal berlapis, yakni Pasal 5 Ayat 2 juncto Pasal 5 Ayat 1 Huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 11 UU yang sama. Kedua, Pinangki didakwa Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ketiga, juga didakwa Pasal 15 juncto Pasal 5 Ayat 1 Huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, dan Pasal 15 juncto Pasal 13 UU yang sama.
Atas dakwaan itu, Pinangki menyatakan mengerti dan akan mengajukan eksepsi melalui penasihat hukumnya.
10 juta dollar AS
Dalam dakwaan yang ditandatangani Jaksa Penuntut Umum KMSA Roni disebutkan, September 2019, Pinangki meminta Rahmat dikenalkan dengan Joko Tjandra yang buron. Adapun menurut putusan MA, 11 Juni 2009, Joko dijatuhi pidana dua tahun penjara.
Pada 12 November 2019, Pinangki dan Rahmat bertemu Joko di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam pertemuan itu, Pinangki memperkenalkan diri sebagai jaksa dan mampu mengurus upaya hukum Joko.
Pada 19 November 2019, Pinangki bersama advokat Anita Kolopaking dan Rahmat bertemu Joko di Kuala Lumpur. Pada pertemuan itu, Pinangki meminta Joko pulang dulu ke Indonesia dan ditahan Kejaksaan. Sementara Pinangki akan mengurus masalah hukumnya.
”Saat itu, terdakwa secara lisan menyampaikan akan mengajukan proposal action plan yang berisi rencana tindakan dan biaya pengurusan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung 100 juta dollar AS. Namun, Joko Tjandra hanya menyetujui 10 juta dollar AS,” kata jaksa.
Rencana aksi itu berisi 10 tindakan, penanggung jawab, dan waktu pelaksanaannya, yakni 13 Februari-Juni 2020. Aksi itu, antara lain, pengiriman surat permohonan fatwa MA dari pengacara Joko Tjandra kepada BR atau Burhanuddin, yakni pejabat Kejagung, untuk diteruskan kepada MA.
Kemudian, disebutkan BR akan bersurat kepada HA atau Hatta Ali, yakni pejabat MA, sebagai tindak lanjut surat dari pengacara. Menurut rencana, HA menjawab surat BR yang akan ditindaklanjuti dengan penerbitan instruksi oleh BR kepada bawahannya untuk melaksanakan fatwa MA. Pada action plan juga terungkap inisial yang hingga saat ini belum diketahui.
Baca juga : Keterlibatan Pihak Lain Selain Jaksa Pinangki Tergantung Majelis Hakim
Namun, menurut jaksa, tak ada satu pun poin rencana aksi yang terlaksana. Padahal, Joko sudah memberi 500.000 dollar AS atau Rp 7 miliar sebagai uang muka kepada Pinangki lewat Andi Irfan Jaya. Dari uang 500.000 dollar AS itu, Pinangki memberikan 50.000 dollar AS kepada Anita. Kemudian, 450.000 dollar AS digunakan Pinangki membeli mobil, membayar dokter kecantikan di AS, membayar sewa dua apartemen, dan kartu kredit.
Hanya dicatut
Terkait adanya nama Burhanuddin dan Hatta Ali di dakwaan Pinangki, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono menyatakan, hal itu tidak ada urgensi dan hubungan. Sebab, nama itu hanya dicatut dan dicatat dalam action plan yang dibuat Pinangki untuk meyakinkan Joko Tjandra.
Saat dihubungi, Hatta Ali menyebut namanya dicatut sebagai bahan ”jualan” Pinangki. Ia menepis hal yang tertulis dalam dakwaan Pinangki. Dia mengaku tak pernah menerima surat dari Jaksa Agung ST Burhanuddin perihal penerbitan fatwa MA untuk perkara Joko.
Hatta Ali mengaku hanya pernah bertemu dengan ST Burhanuddin saat acara courtesy call atau tradisi perkenalan di antara pimpinan penegak hukum yang baru dilantik presiden. Hatta mengklaim pertemuan di kantor Mahkamah Agung itu singkat, dan tidak membicarakan perkara Joko Tjandra.
”Fatwa MA yang dijanjikan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. MA sampai saat ini tidak pernah mengeluarkan fatwa yang bersifat teknis untuk membatalkan atau mengoreksi keputusan PK,” kata Hatta Ali.
Hatta Ali juga mengatakan bahwa dirinya ialah salah satu hakim anggota dalam perkara permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Joko Tjandra yaitu perkara Nomor 100 PK/Pid.Sus/2009. Amar putusan perkara itu adalah menolak permohonan PK dari terpidana Joko Sugiarto Chandra. Sehingga menurut Hatta, mustahil baginya menerbitkan fatwa yang akan membebaskan atau menguntungkan terpidana Joko Tjandra.
Hatta juga mengatakan bahwa pada tahun 2012, saat dia masih menjabat Ketua MA, dia menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 yang mengatur bahwa permohonan PK dalam perkara pidana harus dihadiri oleh terpidana atau ahli waris secara langsung. Permohonan PK tidak bisa dihadiri oleh kuasa hukum. SEMA tersebut hingga saat ini masih dipedomani oleh para hakim di pengadilan.
Bukan orang sembarangan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto mengatakan, kasus terkait Joko Tjandra adalah kasus lama yang berlarut-larut. Demikian pula Joko Tjandra bukanlah orang sembarangan yang akan mudah ditangkap dan mentaati keputusan hukum atau tunduk pada sistem hukum yang ada.
Baca juga : Komisi Kejaksaan: Telusuri Obyek ”Transaksi” Jaksa Pinangki dan Joko Tjandra
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 11 Juni 2009 menjatuhi Joko Tjandra pidana penjara selama 2 tahun dalam kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali. Sehari sebelum putusan tersebut, Joko Tjandra melarikan diri ke luar negeri.
Dengan demikian, menurut Sigit, sangat tidak masuk akal jika Joko Tjandra langsung percaya atau menyerahkan persoalan hukum yang dihadapinya kepada Pinangki. Sebab, pada dasarnya Pinangki baik secara institusional maupun secara personal tidak memiliki kapasitas untuk melakukan itu.
Berdasarkan hal itu, seluruh rangkaian cerita yang tertuang di dalam surat dakwaan terhadap Pinangki harus bisa dibuktikan oleh jaksa penuntut umum. Jika hanya sekadar cerita tanpa didukung bukti yang sahih bukti dan fakta-fakta yg diperlukan, publik akan mempertanyakan kredibilitas dan keseriusan Kejaksaan dalam menangani kasus itu.
”Jangan-jangan dakwaannya ini sebenarnya sebuah cara untuk mengelabui banyak pihak agar tidak bisa mendeteksi fakta yang sebenarnya yang dilakukan Pinangki sehingga pihak-pihak yang terlibat tidak terungkap,” kata Sigit.
Demikian pula terkait adanya nama Burhanuddin dan Hatta Ali dalam surat dakwaan itu. Menurut Sigit, hal itu pun harus didukung dengan pembuktian yang konsisten, kredibel, dan sahih. Jika tidak, dakwaan akan mudah dipatahkan dengan menyatakan bahwa dakwaan kabur atau tidak didukung alat bukti.
Terpisah, Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak mengatakan, dakwaan terhadap Pinangki memang memberikan kronologis keterlibatan Pinangki dalam kasus itu, yakni dugaan suap, pencucian uang, serta permufakatan jahat. Bahkan, nama pejabat tinggi juga turut disebutkan. Namun dakwaan itu harus bisa dibuktikan di persidangan melalui peranan hakim untuk menggali kebenaran materiil.
Menurut Barita, tampak bahwa Pinangki merupakan salah satu simpul dari permufakatan jahat bersama Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking, dan Joko Tjandra. Oleh karena itu, peran mereka perlu diperjelas di proses persidangan berikutnya, sebagai aktornya atau hanya sebagai pelaksana.
”Ini, kan, baru dakwaan dari jaksa. Sementara jaksa, kan, harus membuktikan dakwaannya melalui saksi, alat bukti, serta keterangan terdakwa sendiri. Selanjutnya peranan hakim untuk menggali kebenaran materiil,” kata Barita.
Di sisi lain, lanjut Barita, proses persidangan itu sekaligus akan menguji berbagai informasi yang beredar di masyarakat bisa dibuktikan atau tidak. Komisi Kejaksaan pun akan melihat proses persidangan itu untuk melihat ada tidaknya korelasi antara laporan atau pengaduan yang disampaikan masyarakat ke Komjak dengan proses pembuktian di persidangan.
”Kita berharap majelis hakim secara aktif menggali kebenaran materiil untuk mengungkap kasus ini secara transparan dan obyektif dan akuntabel,” ujar Barita.