Jeda kemanusiaan di lokasi-lokasi konflik di Papua. Selain jeda kemanusiaan, kalangan masyarakat sipil menilai proses hukum yang transparan dan independen menjadi satu-satunya menegakkan rasa keadilan bagi warga Papua.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Titik krusial dalam menyelesaikan masalah kekerasan dan meningkatkan rasa keindonesiaan adalah penegakan hukum yang adil di Papua. Berbagai kasus kekerasan yang tidak diproses hukum diharapkan tidak terulang lagi.
Insiden terakhir di Papua adalah penembakan Yeremia Zanambani, Pendeta Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) dan tokoh suku Moni, di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Ia tewas karena luka tembakan pada Sabtu, 19 September 2020. Yeremia yang berusia sekitar 70 tahun adalah kepala sekolah Alkitab dan juga penerjemah Alkitab ke bahasa Moni.
Dalam catatan Amnesty International Indonesia, sejak Februari 2018 hingga September 2020 terjadi 47 kasus kekerasan dengan total korban meninggal 96 orang.
Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia, dalam konferensi pers yang diadakan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Senin (28/9/2020), mengatakan, dalam catatan Amnesty International Indonesia, banyak kasus kekerasan di Papua yang tidak diproses hukum. Selain menimbulkan rasa ketidakadilan, hal ini juga menimbulkan impunitas terhadap pelaku kekerasan.
Dalam catatan Amnesty International Indonesia, sejak Februari 2018 hingga September 2020 terjadi 47 kasus kekerasan dengan total korban meninggal 96 orang. Dari semua kasus tersebut, hanya ada tujuh kasus yang dilakukan investigasi dan diinformasikan secara terbuka kepada publik. Sisanya, tidak ada investigasi dan tak ada transpransi.
Cahyo Pamungkas, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan, pendeta atau pastor di akar rumput bekerja dengan penuh dedikasi. Mereka yang membuka peradaban bagi masyarakat. Tewasnya pendeta berpotensi memprovokasi konflik dan pengungsian yang lebih besar.
”Usul saya, diadakan jeda kemanusiaan. Hentikan kekerasan di lokasi-lokasi konflik, kirim bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Papua,” kata Cahyo.
Kasus-kasus kekerasan harus diselesaikan secara hukum lewat pengadilan, bukan dengan cara adat.
Ia mengatakan, kasus-kasus kekerasan harus diselesaikan secara hukum lewat pengadilan, bukan dengan cara adat. Dengan demikian, kasus serupa tidak terulang pada masa depan. ”Hindari impunitas di Papua,” kata Cahyo.
Sementara itu, Al Araf dari Imparsial juga menyoroti pendekatan keamanan yang terus dilakukan di Papua. Menurut dia, hal tersebut harus diperbaiki terlebih dulu. Banyaknya tentara dan polisi bersenjata di Papua kerap memicu kekerasan dan memakan korban. Pada akhirnya, masyarakat harus mengungsi. Ia pun sepakat perlunya jeda kemanusiaan untuk Papua sebagaimana disebutkan Cahyo.
Ketua GKII Sinode Wilayah 1 Papua Pendeta Petrus Bonyadone mengatakan, pihaknya mengharapkan kasus pendeta Yeremia bisa ditangani oleh tim independen. Tim ini tidak saja terdiri dari unsur Kepolisian Negara RI, tetapi juga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan gereja. Dengan demikian, kebenaran akan terbuka.
Yuliana Langowuyo dari perwakilan Gereja Katolik mengungkap ada keanehan dalam pemberian izin tambah oleh pemerintah daerah di tengah-tengah wabah Covid-19. Senada dengan Yuliana, Usman menggarisbawahi bahwa izin yang diberikan Gubernur pada 24 Juli lalu untuk Blok Wabu, seluas 40.000 hektar, untuk MIND harus ditelaah lebih lanjut.
”Pertanyaannya adalah apakah pembangunan sarana-prasarana militer dan pengerahan pasukan bersenjata di sana itu benar-benar untuk menghadapi kolompok separatis bersenjata atau untuk mengamankan proyek bisnis negara?” kata Usman.