Hingga kini, bisnis kafe dan restoran belum pulih dengan perkiraan omzet maksimal 50 persen dibandingkan dengan saat normal. Di hulu, efek pandemi, khususnya untuk kopi arabika, cukup besar.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 berdampak pada industri kopi dari sisi hulu hingga hilir. Dampak tersebut bervariasi di setiap segmen. Pengaruh pandemi Covid-19 cukup besar dialami kafe atau resto karena efek pembatasan sosial berskala besar.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Moelyono, Rabu (30/9/2020), mengatakan, pengaruh pandemi Covid-19 cukup besar dialami kafe atau resto karena efek pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Penurunan omzetnya bisa sampai 70-80 persen pada saat kondisi terparah pada April-Mei lalu.
Hingga kini, bisnis kafe dan restoran belum pulih, dengan perkiraan omzet maksimal 50 persen dibandingkan dengan saat normal. Di hulu, efek pandemi, khususnya untuk kopi arabika, cukup besar. Permintaan kopi arabika Indonesia dari dalam dan luar negeri pada tahun ini turun sekitar 50 persen sehingga banyak panenan kopi arabika yang belum terjual.
”Hal ini karena kopi arabika Indonesia kebanyakan mengisi pasar horeka (hotel, restoran, dan kafe). Di Italia, misalnya, pandemi menyebabkan penjualan kopi ritel secara nasional turun sampai 30 persen,” tuturnya.
Bisnis kafe dan restoran belum pulih, dengan perkiraan omzet maksimal 50 persen dibandingkan dengan saat normal. Di hulu, efek pandemi, khususnya untuk kopi arabika, cukup besar.
Menurut Moelyono, masyarakat Italia biasanya selepas makan siang pergi ke kafe untuk meneguk segelas dua gelas kopi espresso sebelum kembali ke pekerjaan. Penguncian wilayah otomatis menurunkan konsumsi kopi.
Tak hanya Italia, sejumlah negara tujuan ekspor kopi, terutama Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Italia, dan Inggris, juga mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi. Ini menyebabkan permintaan dari luar negeri turut tertekan.
Permintaan kopi robusta, lanjut Moelyono, juga sempat turun di awal pandemi dan pembatasan aktivitas. Saat ini kondisi sedikit pulih meskipun permintaan untuk jangka pendek masih lemah.
”Permintaan terutama untuk jangka panjang, yakni setelah November-Desember 2020. Kopi robusta ini kebanyakan ke pasar komersial, untuk kopi saset atau kopi instan,” ujarnya.
Permintaan terutama untuk jangka panjang, yakni setelah November-Desember 2020. Kopi robusta ini kebanyakan ke pasar komersial, untuk kopi saset atau kopi instan.
Moelyono menambahkan, pelaku industri menghadapi tantangan tersendiri dalam menyiasati tekanan di sisi permintaan. Di setiap bandara, misalnya, berkurangnya mobilitas orang mengakibatkan penurunan di banyak kafe dan resto penyaji kopi. Ini terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga seluruh dunia.
Tekanan masih akan dialami selama konsumsi di pasar belum pulih. Pemerintah selama ini sudah memberikan sejumlah dukungan atau bantuan untuk mencoba memulihkan ekonomi.
”Namun, salah satu masalah yang dihadapi pelaku industri saat ini adalah ketidakpastian kebijakan dan arahnya. Seperti ketika PSBB Jakarta agak dilonggarkan dan beralih ke PSBB transisi, omzet sudah mulai pulih 50-60 persen. Namun, begitu diketatkan lagi, omzet kembali drop menjadi sekitar 20-30 persen,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno mengatakan, peran berbagai pemangku kepentingan dibutuhkan untuk mengoptimalkan kinerja ekspor, termasuk kopi. Dukungan pemerintah dapat diwujudkan, antara lain, melalui pengurusan paten di tingkat global dan penggencaran promosi kopi Indonesia di ajang internasional.
Pemerintah daerah juga dapat berperan dalam membantu perawatan, perbanyakan, dan peningkatan produktivitas. Upaya tersebut penting untuk menjamin kontinuitas pasokan ketika nanti ada peningkatan permintaan.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat ekspor produk kopi olahan pada tahun 2019 menyumbang devisa 610,89 juta dollar AS atau meningkat 5,33 persen dibanding tahun 2018. Pada Januari-Juni 2020, saat masih di tengah pandemi, neraca perdagangan produk kopi olahan nasional masih surplus 211,05 juta dollar AS.
”Saat ini ekspor produk kopi olahan didominasi produk berbasis kopi instan, ekstrak, esens, dan konsentrat kopi yang tersebar di sejumlah negara tujuan utama, seperti di kawasan ASEAN, China, dan Uni Emirat Arab,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim.
Abdul menambahkan, hal ini tidak lepas dari posisi Indonesia sebagai penghasil biji kopi terbesar keempat dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Produksi kopi Indonesia rata-rata 773.000 ton per tahun atau 8 persen produksi kopi dunia.