Beda Biduk Bersaing dalam Kontestasi Transformasi Kota Depok
Wali Kota Depok Mohammad Idris dan Wakil Wali Kota Depok Pradi Supriatna tak lagi satu biduk dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Depok 2020. Kedua petahana kini bersaing ketat merebut suara pemilih untuk memimpin Depok.
Warga Kota Depok akan memilih kepala daerah dalam waktu dekat. Tidak seperti pesta demokrasi tahun 2015, kali ini pasangan petahana periode 2016-2021, Mohammad Idris dan Pradi Supriatna, tak lagi satu biduk.
Keduanya bersaing menjadi wali kota Depok periode 2021-2026 dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Depok 9 Desember 2020. Mereka bersaing ketat dalam kontestasi yang akan membawa transformasi Kota Depok sebagai salah satu daerah penyangga DKI Jakarta.
Kemesraan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bersama Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dalam Pemilu Presiden 2014, Pilkada Kota Depok 2015, dan Pilpres 2019 pun terhenti. Dalam pesta rakyat kali ini, PKS mengusung Idris mempertahankan kursi wali kota Depok berpasangan dengan Imam Budi Hartono. Imam merupakan kader PKS yang duduk sebagai anggota DPRD Kota Depok 1999-2009 dan anggota DPRD Jawa Barat 2009-2020. Dia mengundurkan diri untuk mendampingi Idris menjadi calon wali kota Depok. PKS menggandeng Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrat mengusung Idris-Imam dengan koalisi bernama Tertata Adil Sejahtera.
Baca juga: Semarak Pilkada Depok 2020
Adapun Pradi, yang merupakan Wakil Wali Kota Depok dan Ketua DPC Partai Gerindra, berpasangan dengan Afifah Alia, Ketua Baitul Muslimin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Kota Depok. Keduanya maju dalam biduk yang didukung Partai Gerindra, PDI-P, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam koalisi Depok Bangkit.
Iman Ramli (58), warga Pancoran Mas, Kota Depok, masih ingat ketika tahun 1996 hingga 2000 Kota Depok masih menjadi wilayah asri. Salah satunya seperti Jalan Margonda Raya dengan pohon-pohon besar nan rindang. Di sebagian ruas trotoar jalan tersebut para pedagang tanaman hias berjejer. Melintas Jalan Margonda Raya begitu sejuk dengan aroma bunga.
Namun, perkembangan Kota Depok, yang terpusat di sepanjang Jalan Margonda Raya, dari tahun ke tahun berganti dari hutan asri menjadi hutan beton. Berbagai proyek konstruksi tumbuh subur ketika resmi menyandang status kota otonom tahun 1999.
”Dulu juga masih banyak kita temui kebun belimbing. Makanya disebut kota belimbing. Orangtua saya juga ada pohon belimbing dulu. Memang masih ada tanaman belimbing di sejumlah wilayah, seperti Bojong Sari, Cimanggis, Sawangan, tapi saat ini tidak mengambarkan Depok sebagai kota belimbing. Sekarang ganti julukan kota Margonda saja, pembangunan tumbuh di Margonda saja. Daerah lain kurang disentuh. Ruang terbuka hijau pun semakin sempit,” kata Ramli.
Ramli melanjutkan, jika tetap ingin memakai ”Kota Belimbing” sebagai julukan, kepala daerah terpilih nantinya harus memikirkan pelestarian perkebunan belimbing. Seperti contoh di Malang, Jawa Timur, terkenal sebagi ”Kota Apel” dan terbukti dengan hasil pertaniannya bisa memberdayakan petani dan warga. Kota itu mampu dan konsisten menjaga potensinya sehingga hasil perkebunan apel bisa diolah menjadi kripik, jus, sampai cuka yang dikemas menjadi produk unggulan.
Ramli mengingatkan, siapa pun pemimpin yang terpilih harus fokus pada pembenahan tata ruang yang tidak hanya sentralistik di Margonda, tetapi harus merata di semua wilayah. Tidak hanya itu, pemimpin kelak jangan hanya memikirkan pembangunan fisik, tetapi juga harus memperhatikan kondisi alam dan potensi yang dimiliki seperti lahan perkebunan.
Baca juga: Agar Belimbing Dipanen dengan Sempurna
Hal senada disampaikan warga Bojong Sari, Soleh Abidin (50) dan warga Beji, Novriani (34), yang bermukim hampir 10 tahun di Kota Depok. Mereka sepakat dari tahun ke tahun Kota Depok belum mengalami kemajuan yang merata, kecuali di wilayah Margonda. Permasalahan lainya, minimnya akses transportasi dan hanya mengandalkan angkutan kota sebagai basis transportasi publik.
”Jalur utama dan akses ke Jakarta selain KRL hanya Jalan Margonda sehingga kemacetan lalu lintas seperti hal yang biasa. Harus ada solusi untuk mengatasi dua masalah ini. Kota Depok perlu segera membenahi transportasi publik. Ini yang luput dari dari perhatian pemerintah yang tidak memperkirakan pertambahan jumlah penduduk di Kota Depok dengan menyiapkan layanan transportasi publik yang lebih luas,” kata Novriani.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Kota Depok pada 2019 mencapai 2.406.826 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 6,74 persen per tahun. Sementara luas wilayah Kota Depok 200,30 kilometer persegi. Kepadatan penduduk kota Depok mencapai 12.017 jiwa per kilometer persegi.
Lalu, bagaimana kedua pasangan calon kepala daerah tersebut berjuang merebut hati rakyat dalam Pilkada Kota Depok 2020? Sejauh ini, kedua pasangan calon bersama tim sukses mereka sibuk berkampanye. Ketika dihubungi, baik Idris maupun Pradi belum menjawab pertanyaan yang diajukan mengenai bagaimana konsep mereka mengatasi berbagai tantangan Kota Depok ke depan. Sebagai kandidat yang sebelumnya sama-sama memimpin Kota Depok, Idris dan Pradi tentu sama-sama memahami tantangan utama transformasi kota. Begitu ketatnya kontestasi untuk memenangi Pilkada Kota Depok 2020 sehingga tak seorang pun yang berbagi konsep mereka membangun Depok jika terpilih sebagai kepala daerah.
”Maaf, Mas. Lain waktu, ya,” kata Idris saat dihubungi.
Adapun Pradi menjawab, ”Karena masih sosialisasi segera akan dijawab.”
Peluang
Munculnya dua petahana bersaing dalam pilkada tanpa pasangan ketiga, menurut pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Gun Gun Heryanto, menjadi pertarungan yang menarik. Publik akan melihat bagaimana kedua pasangan bersaing ketat merebut suara warga Depok.
Kedua pasangan calon memiliki peluang yang sama besar untuk merebut hati pemilih. PKS memiliki kekuatan akar rumput terbukti sejak era Wali Kota Depok pertama, Badrul Kamal (2000-2005). Namun, hal itu bukan berarti memuluskan Idris dan Imam melanjutkan dominasi tersebut. Begitu pula Gerindra bersama koalisi gemuknya belum tentu pula mampu mengubah peta politik Kota Depok.
”Dinamika politik dapat mengubah peta tergantung cara pasangan calon dan tim sukses meyakinkan calon pemilih. Kedua pasangan sama-sama kuat karena petahana dan tidak ada penantang lain. Namun, perlu diingat pekerja rumah calon pemimpin Kota Depok sangat besar. Suara rakyat yang resah dengan pembangunan kota yang stagnan dan sentralistik selama hampir 20 tahun terakhir ini bisa mengubah peta suara,” kata Gun Gun.
Baca juga: Perlu Duduk Bersama Membahas Sejarah Depok
Gun Gun menilai, selama ini Kota Depok belum memiliki sosok pemimpin yang mampu menjalankan roda pemerintahan sesuai visi dan misi yang terimplementasi dengan baik. Kota Depok yang memiliki sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), belum tampak bertansformasi menjadi kota satelit yang maju.
Gun Gun mengatakan, kepala daerah masih sibuk dengan urusan birokrasi, menjalankan politik domestik, berkutat pada hubungan dengan DPRD, dan kolega politik semata. Padahal, pemimpin saat ini dituntut membuka jaringan sumber daya lebih luas dengan menjemput bola. Mereka harus mampu mengimplementasikan visi kepemimpinan yang mumpuni sehingga ada kolaborasi dan akselerasi mewujudkan pembangunan kota yang lebih jelas.
”Jaringan ini belum terbuka secara optimal. Jaringan ini penting untuk pencitraan Kota Depok sehingga arah pembangunannya pun menjadi jelas. Pencitraan kota di Kota Depok ini masih lemah. Contoh pencitraan Kota Depok yang memiliki julukan Kota Belimbing, dalam kondisi sekarang mungkin tidak lagi pas. Seharusnya ada jaringan untuk membangun sumber daya manusia dengan berbagai inovasi dan mengambil arah kebijakan pembangunan yang luas dan terarah. Ini memperlihatkan pentahelix komunikasi pemimpin dan pemerintahan di Kota Depok tidak jalan,” tutur Gun Gun.
Konsep pentahelix yang dimaksud ialah unsur kekuatan pemerintah, komunitas atau masyarakat, akademisi atau ahli, dunia usaha, dan media, bersatu bersama dalam pembangunan. Unsur pemerintah memiliki kekuatan politikal dalam merumuskan kebijakan dan keputusan yang tentu didasarkan pada pemetaan permasalahan, kajian, dan riset.
Oleh karena itu, dalam mengambil kebijakan keputusan perlu kolaborasi dengan akademisi, praktisi, dan ahli yang memiliki kekuatan ilmu pengetahuan. Arah kebijakan pun berdasarkan data fakta dan permasalahan hingga potensi yang ada.