Psoriasis Tak Mematikan, tapi Menghancurkan Jiwa
Kulit bebercak merah, lantas menebal, menjadi sisik keperakan, dan rontok bertaburan pada psoriasis sangat mengganggu penampilan. Meski tak menular, hal itu sering membuat orang lain menghindar.
”Kenapa harus aku? Kenapa aku berbeda? Saya merasa jelek, tidak berharga.” Demikian ungkapan hati Chiara Lionel Salim (21), ”pejuang” yang telah 12 tahun hidup dengan psoriasis.
Anak kedua dari tiga bersaudara itu terkena psoriasis saat berusia 9 tahun. Sebagai anak kelas III sekolah dasar, ia senang bermain sepeda. Suatu saat ia jatuh dari sepeda dan betisnya terluka. Tak seperti biasa, lukanya tak kunjung membaik sehingga dibawa ke dokter. Awalnya, dokter mendiagnosis lukanya terinfeksi dan tumbuh jamur. Namun, pengobatan tak membawa hasil, Chiara pun harus bolak-balik ke dokter.
Ketika bercak-bercak merah menyebar ke bagian tubuh lain, ibu Chiara curiga itu psoriasis. Ada kerabat yang juga terkena psoriasis. Ibunya pun bertanya ke dokter yang akhirnya menyadari dan memberi Chiara terapi untuk psoriasis.
Psoriasis merupakan penyakit autoimun bersifat kronis dan genetik (bisa diturunkan). Selain pada kulit, psoriasis juga merusak kuku. Namun, psoriasis tidak menular.
Psoriasis, demikian laman Mayo Clinic, merupakan penyakit yang menyebabkan bercak merah bersisik tebal dan gatal pada kulit, paling sering pada lutut, siku, kulit kepala, bahkan hampir di seluruh tubuh. Menurut dokter spesialis kulit dan kelamin Endi Novianto yang juga Ketua Kelompok Studi Psoriasis Indonesia (KSPI), psoriasis merupakan penyakit autoimun bersifat kronis dan genetik (bisa diturunkan). Selain pada kulit, psoriasis juga merusak kuku. Namun, psoriasis tidak menular.
Dalam kelas media virtual ”Psoriasis, Lebih dari Sekadar Penyakit Kulit” dan peluncuran aplikasi Psonesia, Kamis (5/11/2020), Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) Yulianto Listiawan menyatakan, kondisi psoriasis di Indonesia belum menggembirakan. ”Banyak dokter lini pertama belum paham dan tidak tepat memberikan diagnosis dan terapi sehingga kondisi pasien makin parah,” katanya.
Endi menambahkan, prevalensi psoriasis di dunia 2 persen. Artinya, di Indonesia ada sekitar 5,2 juta penderita psoriasis. Namun, jumlah penderita yang terdiagnosis dan mendapat terapi baru ratusan orang.
Psoariasis bisa timbul pada ras dan jenis kelamin apa saja serta usia berapa saja. Faktor pemicu di antaranya stres, infeksi (batuk, pilek, luka) karena infeksi mengaktifkan peradangan, obat-obatan seperti obat darah tinggi (beta blocker, ACE inhibitor), juga obat yang mengandung litium, serta obat antimalaria. Selain itu rokok, makanan tinggi gula, lemak, dan karbohidrat, juga bisa menjadi penyebab munculnya psoriasis.
Saat ini psoriasis belum bisa disembuhkan. Namun, dengan terapi tepat, penyakit tersebut bisa dikendalikan agar tidak kambuh. ”Sebaliknya, pada psoriasis yang tidak mendapatkan penanganan tepat bisa timbul komplikasi berupa sindrom metabolik, seperti kegemukan, diabetes, tekanan darah tinggi, kadar lemak darah tinggi yang memicu penyakit kardiovaskular (jantung dan stroke). Selain itu, bisa terjadi radang sendi (psoriasis arthritis), penurunan kualitas hidup, menimbulkan stres dan depresi yang memicu keinginan bunuh diri,” ujar Endi.
Lelah lahir batin
Menjawab pertanyaan dokter spesialis kulit dan kelamin Windy Keumala yang menjadi moderator, Chiara menuturkan, tidak mudah hidup dengan psoriasis. Saat pertama kali kena, ia belum bisa memproses masalah yang dialami. Namun, ia menyadari bahwa berbeda dengan teman-teman seusia. Ia sering mengalami gatal dan perih di seluruh tubuh.
Teman-teman sering berkomentar terkait kulitnya. Hal itu membuat kepercayaan diri merosot, merasa sedih dan terpukul. Ia juga pernah dilarang mencoba baju di toko pakaian karena kondisinya.
Baca juga: Rasa Minder Penderita Psoriasis Cenderung Lebih Parah
Chiara bersyukur memiliki keluarga sangat pengertian dan mendukung. Ia mendapat pemahaman tentang penyakitnya, didorong untuk tidak malu untuk menceritakan ke teman-temannya. Orangtuanya juga ke sekolah untuk mengedukasi guru dan teman di kelasnya sehingga lebih memahami psoriasis.
”Psoriasis melelahkan secara lahir dan batin. Pada beberapa episode kambuh, mental menjadi down dan agak depresi. Dengan berjalannya waktu, psoriasis mengajari saya untuk tidak putus asa, belajar untuk melihat sisi positif, mampu mencari cara lain jika suatu hal tidak berjalan semestinya. Juga belajar untuk menyayangi diri sendiri dan orang lain,” kata Bachelor of Computer Science dari Universitas Monash, Australia, ini.
Semasa di SMA tahun 2015, Chiara mulai aktif berbagi dan mengadvokasi mengenai psoriasis. Waktu kuliah, ia terus menyosialisasikan melalui media sosial pribadinya, @chichilionel. Juga lewat platform yang ia buat di @psoriasis_id serta https://chiaralionels.wordpress.com/. Isinya segala sesuatu tentang psoriasis, pengalaman pribadi, diskusi live dengan dokter ataupun tulisan dari berbagai literatur tentang psoriasis.
Ia membentuk kelompok dukungan #SafeSpace pada 2019, tempat para penderita psoriasis berbagi dan bercerita apa saja, untuk saling mengerti dan mendapat dukungan. ”Pandemi Covid-19 menjadi hikmah. Pertemuan tatap muka para penderita psoriasis kini dilakukan lewat Zoom sehingga penderita psoriasis dari luar Jakarta, bahkan luar Jawa, bisa bergabung,” tutur Chiara.
Tahun 2019, Psoriasis_id meluncurkan kampanye di #CeritaPsoriasisKu yang mendorong penderita untuk berbagi cerita dan harapan di media sosial tentang hidup dengan psoriasis. Tahun ini nama kampanyenya #PahamiPsoriasis. Tujuannya mendorong masyarakat aktif mengedukasi masyarakat luas tentang psoriasis sesuai dengan tema Hari Psoriasis Sedunia yang diadakan setiap 29 Oktober. Tahun ini temanya ”Be Informed”.
Tidak mematikan
Menurut dokter spesialis kulit dan kelamin Danang Tri Wahyudi, psoriasis tidak mematikan. Angka kematian sangat kecil, biasanya akibat komplikasi. Sekitar 90 persen pasien mengalami psoriasis tipe plak kronik ringan sampai sedang, yakni ruam merah dan kulit bersisik yang kemudian menjadi putih keperakan yang muncul di bagian tubuh mana pun.
Untuk psoriasis ringan, pasien diterapi dengan obat oles yang mengandung kortikosteroid, analog vitamin D, tar, atau asam salisilat. Psoriasis tipe sedang diterapi sinar (fototerapi). Adapun psoriasis berat diobati dengan obat minum ataupun suntikan agen biologis.
Setelah 12 tahun hidup bersama psoriasis, obat oles dan obat minum sudah tak mempan bagi Chiara. ”Sekarang saya pakai suntikan biologis,” katanya. Namun, wajah dan tangannya kadang-kadang bebercak merah, terutama kalau sedang stres atau kelelahan.
Menurut Danang, pengobatan perlu diikuti dengan modifikasi gaya hidup Berupa makan makanan sehat dan seimbang (mengonsumsi banyak sayur, buah, ikan segar, suplemen vitamin B, vitamin D, selenium dan antioksidan lain, mengurangi gluten, gula, makanan olahan dan awetan); menurunkan berat badan; rutin berolahraga; berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol; menjaga tekanan darah, kadar kolesterol, dan kadar gula darah terkontrol; serta manajemen stres.
”Manajemen stres penting karena stres memicu timbulnya dan kekambuhan psoriasis. Stres memicu peningkatan kadar neuropeptida, hormon adrenokortikoid dan adrenalin, sehingga meningkatkan pertumbuhan sel kulit, memicu dan memperberat peradangan serta rasa gatal,” papar Danang.
Untuk membantu dokter dan pasien psoriasis memonitor kondisi psoriasis diluncurkan aplikasi mobile Psonesia (Psoriasis Indonesia). Beberapa fitur dapat membantu pasien mendapatkan informasi yang komprehensif seputar psoriasis, riwayat penyakit dan pengobatan yang dijalani, membantu mengarahkan pasien ke dokter spesialis terdekat untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Sebaliknya, aplikasi ini dapat memberikan gambaran bagi dokter terkait tingkat psoriasis pasien, membantu dokter menentukan tata laksana lebih baik, serta menyediakan informasi ilmiah untuk meningkatkan kapasitas dokter. Aplikasi yang digagas KSPI dan Perdoski ini didukung oleh Novartis Indonesia.
Menurut Endi, perlu kerja sama pemerintah, organisasi profesi, tenaga kesehatan, pasien dan keluarga, serta masyarakat awam, untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, dokter, perawat, dan pasien. Diharapkan, stigma bagi penderita psoriasis bisa dihapuskan dan seluruh pasien mendapatkan terapi yang terbaik sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, penderita psoriasis dapat hidup normal dengan kualitas baik.