Covid-19 yang mewabah sejak 8 bulan lalu hingga kini belum bisa diatasi dengan baik. Akibatnya, berdampak pada kemunduran demokrasi yang semakin cepat. Pemerintah diminta berbenah agar iklim demokrasi menjadi sehat.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan pandemi Covid-19 yang dinilai sulit berdampak pada kemunduran demokrasi yang semakin cepat. Pemerintah diminta segera berbenah agar iklim demokrasi semakin membaik.
Direktur Asosiasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto mengatakan, pada akhir 2019 LP3ES memperkirakan terjadi kemunduran demokrasi di 2020. Prediksi itu berdasarkan empat indikator perilaku otoriter yang tampak di Indonesia, yakni penolakan atas aturan main demokratis, menyangkal legitimasi lawan politik, toleransi atau anjuran kekerasan, dan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media.
Namun, prediksi itu datang lebih cepat akibat penanganan pandemi Covid-19 yang dinilai salah. Kebijakan yang diambil pemerintah dinilai tidak menempatkan nyawa manusia sebagai yang utama, termasuk soal pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah 2020.
LP3ES memperkirakan terjadi kemunduran demokrasi di 2020. Prediksi itu berdasarkan empat indikator perilaku otoriter yang tampak di Indonesia, yakni penolakan atas aturan main demokratis, menyangkal legitimasi lawan politik, toleransi atau anjuran kekerasan, dan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media.
”Sayangnya, prediksi kami terjadi, bahwa justru demokrasi semakin parah hari ini. Bisa kami katakan ini adalah titik nadir demokrasi. Artinya, kami berharap titik yang paling bawah sehingga tahun 2021 bisa lebih baik,” kata Wijayanto saat webinar bertajuk ”Nasib Demokrasi di Masa Pandemi”, Selasa (17/11/2020). Namun, Wijayanto tak memerinci di mana kebijakan yang salah itu dan tidak menempatkan nyawa manusia sebagai yang utama.
Selain Wijayanto, hadir sebagai pembicara Sekretaris Kabinet Republik Indonesia 2010-2014 Dipo Alam, pengamat politik Fachry Ali, dan intelektual Nahdlatul Ulama Ulil Abshar Abdalla.
Dalam penanganan Covid-19, Wijayanto menilai komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah sejak masa prakrisis buruk. Hal itu ditandai dengan penyangkalan bahwa virus SARS-CoV-2 sulit masuk ke Indonesia sehingga penanganannya lambat. Kemudian, momentum saat memulai kebijakan normal baru dinilai kurang tepat karena kurva kasus masih menanjak. Akhirnya penambahan kasus positif Covid-19 terus terjadi.
Kebijakan lain yang diambil saat pandemi adalah terkait Pilkada. Menurut dia, keputusan menyelenggarakan pilkada di era pandemi menunjukkan bahwa nyama manusia bukan menjadi pertimbangan utama. Bahkan, sebanyak 60 bakal calon kepala daerah telah terpapar Covid-19.
Kondisi ini kemudian diperparah dengan tanggapan buruk dari pemerintah terhadap aksi protes terhadap Undang-Undang Cipta Kerja.
Pandemi sebagai kekuatan politik
Fachry menilai Pandemi Covid-19 merupakan sebuah kekuatan politik yang mampu melakukan intervensi terhadap struktur dan sistem politik modern. Pandemi mendesak negara untuk menyesuaikan sistem dan struktur politik yang besifat adaptif terhadap Covid.
”Saya pernah mengusulkan agar menteri pertahanan dan menteri kesehatan digabung sehingga pemerintahan lebih berbasis data karena Covid-19 tidak bisa dilawan dengan peluru,” ujarnya.
Ia mencontohkan kegagalan Amerika Serikat dalam menangani Pandemi Covid-19 disebabkan tidak adaptif terhadap virus. Implikasinya, Presiden Donald Trump kalah dengan Joe Biden. Kondisi itu pun bisa saja terjadi di Indonesia karena, saat pandemi, kondisi perekonomian belum membaik. UU Cipta Kerja yang diharapkan mampu meningkatkan ekonomi justru mendapat pertentangan.
Pada saat yang sama, struktur kekuasaan justru bersifat horizontal. Artinya, meskipun memiliki kewenangan penuh, Presiden Joko Widodo masih perlu berkompromi dengan kekuatan-kekuatan lain agar kebijakannya berjalan efektif. ”Partai Demokrat yang mencerminkan semangat demokrasi mengalami penurunan kursi di parlemen,” ujarnya.
Dipo mengatakan, kekuasaan di Indonesia semakin dikuasai oligarki minoritas. Mereka menguasai penyusunan undang-undang, termasuk alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia. Kondisi ini membuat adanya ketimpangan ekonomi antarmasyarakat yang jumlahnya sangat tidak berimbang.
”Padahal, oligarki tersebut merupakan kelompok minoritas terbatas, sedangkan rakyat yang menjadi mayoritas dalam negara justru hanya menerima dampak dari ketimpangan yang dihasilkan dari para oligarki,” ujarnya.
Oligarki tersebut merupakan kelompok minoritas terbatas, sedangkan rakyat yang menjadi mayoritas dalam negara justru hanya menerima dampak dari ketimpangan yang dihasilkan dari para oligarki.
Menurut Ulil, ada hubungan yang sangat erat antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Pasca-Reformasi, pertumbuhan ekononomi mencatatkan hasil cukup baik, yakni 5-6 persen tanpa mengorbankan kebebasan berpolitik. Ironisnya, yang terjadi sekarang, ada perputaran kembali perspektif ke era Orde Baru yang menganggap kebebasan tidak memiliki relasi dengan pertumbuhan ekonomi.
Ia menilai pemerintah justru merasa bahwa kebebasan yang terjadi masa kini terlalu bebas dan memerlukan intervensi. Kondisi tersebut kemudian memunculkan kelompok yang skeptis terhadap demokrasi, utamanya dalam jajaran pejabat politik.
Sebagian kemudian melirik bentuk pemerintahan di China dengan model pemerintahan terpimpin mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengendalikan pandemi. Berbeda dengan negara-negara yang sistem demokrasinya lebih terkonsolidasi, antara lain Amerika Serikat, Italia, Inggris, dan Perancis.