Vedi Hadiz: Pandemi Covid-19 Membuka Cacat Demokrasi Indonesia
Demokrasi Indonesia dinilai tidak pada tingkat kematangan yang diduga banyak orang. Sekarang, karena pandemi Covid-19, cacat-cacat demokrasi Indonesia yang selama ini bisa ditutupi oleh gemuruh pemilu menjadi terlihat.
JAKARTA, KOMPAS — Guru Besar Kajian Asia yang juga Direktur Institut Asia di University of Melbourne, Australia, Vedi Hadiz mengatakan, selama lebih dari dua dekade reformasi, kualitas demokrasi Indonesia baru sebatas legal formal, belum di tingkat substantif. Pandemi Covid-19 semakin menunjukkan secara terbuka kerentanan demokrasi di Indonesia.
Vedi berpendapat, selama ini demokrasi cenderung hanya dipandang sebagai penyelenggaraan pemilu, proses kampanye, dan keberadaan partai politik. Namun, demokrasi di Indonesia tidak sungguh-sungguh menyentuh aspek akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik dalam penetapan suatu kebijakan.
”Hal-hal itu tak terwujud di demokrasi Indonesia pada tingkat yang diharapkan oleh kita pada 1998. Semua ini kurang lebih ditutupi oleh gemuruh pemilu, gemuruh perdebatan di televisi, serta persaingan antarpolitisi, seakan-akan demokrasi kita sudah matang. Padahal, sama sekali belum,” ujar Vedi, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (21/5/2020).
Sementara itu, reformasi 1998 ditandai dengan tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru setelah berkuasa sekitar tiga dekade. Saat itu, mahasiswa dan kelompok cendekiawan serta masyarakat sipil mendorong agenda reformasi, antara lain pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu juga penghapusan dwifungsi ABRI (TNI dan Polri), penegakan supremasi hukum, otonomi daerah seluas-luasnya, dan amendemen konstitusi.
Baca juga: Pandemi Bisa Perburuk Demokrasi
Menurut Vedi, pandemi Covid-19 semakin menunjukkan secara lebih terbuka kerentanan demokrasi Indonesia itu. Kebijakan-kebijakan yang diputuskan antara pemerintah dan DPR dalam masa pandemi tersebut tidak berasal dari hasil perdebatan publik yang serius.
Tingkat transparansi dan akuntabilitas pun rendah. Kondisi semakin parah, lanjut Vedi, karena proses check and balance yang tidak berjalan optimal di tingkat elite akibat dominasi koalisi pemerintahan di parlemen. Ini menunjukkan demokrasi Indonesia lemah dan tidak inklusif.
”Demokrasinya tidak pada tingkat kematangan yang diduga banyak orang. Demokrasinya rada terbelakang. Bahkan, ada kecenderungan semakin mundur. Kemampuan masyarakat untuk mengadakan check and balance secara otonom juga sangat terbatas. Dan, sekarang, karena pandemi ini, cacat-cacat demokrasi Indonesia yang selama ini bisa ditutup-tutupi oleh gemuruh pemilu menjadi terlihat,” tutur Vedi.
Demokrasinya tidak pada tingkat kematangan yang diduga banyak orang. Demokrasinya rada terbelakang. Bahkan, ada kecenderungan semakin mundur. Kemampuan masyarakat mengadakan check and balance secara otonom juga sangat terbatas. Dan, sekarang, karena pandemi ini, cacat-cacat demokrasi Indonesia yang selama ini bisa ditutup-tutupi oleh gemuruh pemilu menjadi terlihat.
Vedi juga menambahkan, letak persoalan demokrasi Indonesia tidak hanya ada di pemerintah, tetapi juga ada di tingkat elite secara luas; baik elite ekonomi maupun politik. Sebab, dalam sistem demokrasi Indonesia, jika seseorang ingin memiliki akses pada sumber daya ekonomi, mereka harus pula memiliki akses pada kekuasaan.
”Pola itu menciptakan insentif buat semua kekuatan politik untuk masuk pada pemerintahan. Akibatnya, hanya sedikit elite politik di luar pemerintah. Kalau di luar pemerintahan, mereka tak laku. Kelemahan-kelemahan ini mereproduksi diri secara terus-menerus dalam evolusi sistem politik di Indonesia,” ucap Vedi.
Vedi menjelaskan, ada dua hal yang patut disoroti pascareformasi. Pertama, pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Undang-Undang KPK yang baru. Upaya pelemahan ini dinilai semakin memundurkan demokrasi karena KPK merupakan hasil yang paling gemilang dari reformasi.
”Dengan segala kelemahan dan segala keterbatasannya, KPK adalah simbol reformasi yang paling penting. Namun, yang terjadi, simbol reformasi itu dipudarkan maknanya, dengan diperlemahnya kapasitas institusional dan kewenangannnya,” ujar Vedi.
Kedua, kemunduran demokrasi terlihat dari jabatan-jabatan sipil yang diberikan kepada anggota aktif TNI-Polri. Menurut Vedi, hal ini membuat simbol penghapusan dwifungsi ABRI yang menjadi agenda reformasi tak menjadi sakral lagi. Padahal, pada Orde Baru, itu menjadi jalan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Vedi menilai, hal-hal tersebut terjadi bukan hanya di pemerintahan. Sebab, elite ekonomi dan politik juga secara sadar menoleh ke militer dalam menyelesaikan persoalan. Misalnya, dalam Pemilihan Presiden 2019, lobi ke jenderal purnawirawan meningkat dari setiap calon presiden.
”Jadi, bukannya pemerintah ini semata-mata yang merangkul tentara, melainkan seluruh elite ekonomi dan politik kita tak pernah merasa nyaman dari perginya tentara dari ranah sipil. Selalu diundang kembali oleh mereka. Ini merupakan indikator bahwa elite-elite sipil Indonesia ternyata tidak pernah merasa nyaman sepenuhnya tanpa ada perlindungan militer,” kata Vedi.
Vedi menyampaikan, persoalan demokrasi Indonesia harus ditangani secara sistemik. Misal, di jangka pendek, warga sipil harus semakin berani menuntut transparansi kepada pemerintah dalam penggunaan dana-dana untuk penanganan Covid-19. Masyarakat sipil juga harus menuntut pembatalan serangkaian undang-undang yang tak berhubungan dengan Covid-19.
”Diberhentikan dahulu prosesnya sampai ada perdebatan publik yang lebih terbuka. Sekarang, semua orang sedang sibuk dengan Covid-19, kok, malah proses undang-undang yang belum diributkan secara umum,” ujarnya.
Sementara itu, untuk solusi jangka panjang, pemerintah dan DPR harus mulai menerapkan sistem demokrasi yang inklusif. Partisipasi publik harus ditingkatkan dalam setiap pengambilan kebijakan.
Kontradiksi demokrasi
Aktivis 1998, yang kini menjadi Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, demokrasi yang saat ini dipraktikkan di Indonesia menghasilkan kontradiksi, misalnya menguatnya oligarki, privatisasi ruang publik, dan komersialisasi ruang politik. Selain itu, terjadi ketidakadilan sosial ekonomi dan situasi kehidupan sipil yang terpolarisasi akibat pemilihan umum.
”Praktik demokrasi yang demikian tetap tidak berubah meski ada pandemi Covid-19 yang terjadi secara global,” kata Usman.
Menurut Usman, demokrasi di Indonesia sesungguhnya kuat karena melewati dua dekade tanpa kudeta militer atau perang saudara. Namun, sejak 2017 kualitasnya terus menurun hingga sekarang.
Kondisi itu belum termasuk perlawanan atas gerakan antikorupsi yang berlangsung sejak 2012 dan mencapai titik klimaks pada 2019 dengan disahkannya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Ilmuwan politik menilai pelemahan KPK sebagai salah satu indikator menurunnya kualitas demokrasi.
Usman menuturkan, sebelum pandemi Covid-19 telah ada prakondisi yang menunjukkan penurunan kualitas demokrasi. ”Yang hampir pasti adalah situasi Covid-19 dan respons negara yang tidak memperhatikan kewajiban internasionalnya pada hukum HAM (hak asasi manusia) dalam situasi ini bisa kian menurunkan kualitas demokrasi,” ujarnya.
Kendati demikain, aktivis 1998, yang kini politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Budiman Sudjatmiko, mengatakan, Indonesia tidak sedang menuju kondisi otoriter. Ia meyakini Indonesia tidak mungkin kembali ke kondisi kediktatoran.
”Saat ini tidak ada satu aktor politik pun yang mau untuk itu. Baik individu sipil maupun TNI, tidak ada. Sebab, dengan menjadi otoriter itu justru akan membuat mereka terisolasi. Kita tidak akan menjadi seperti Korea Utara atau Burma (Myanmar),” katanya.
Spirit reformasi terdiri dari tiga gagasan besar yang sama-sama harus terus dijaga dan dihidupi. Tiga gagasan itu ialah kebebasan, keadilan sosial dan kesetaraan, serta kemajuan. Ketiganya mesti mengiringi langkah bangsa ini menuju cita-cita reformasi.
Namun, Budiman mengakui adanya sejumlah sinyal kemunduran dalam demokratisasi, antara lain dengan adanya kecenderungan jabatan-jabatan sipil yang tidak dipercayakan lagi kepada sipil. ”Ini kritik saya lagi kepada pemerintah. Kalau orang sipilnya buruk, bukan berarti haknya diberikan kepada tentara dan polisi aktif. Jangan sampai kita mau membunuh tikus, lalu rumahnya yang dibakar,” ujarnya.
Menurut Budiman, yang harus diperbaiki ialah mekanisme seleksi dan rekrutmen jabatan-jabatan publik secara benar. Sumber daya-sumber daya di birokrasi pun harus dioptimalkan karena banyak orang berkualitas yang masuk ke dalam birokrasi.
Spirit reformasi, menurut Budiman, terdiri atas tiga gagasan besar yang sama-sama harus terus dijaga dan dihidupi. Tiga gagasan itu ialah kebebasan, keadilan sosial dan kesetaraan, serta kemajuan. Ketiganya mesti mengiringi langkah bangsa ini menuju cita-cita reformasi.
”Reformasi itu isunya bukan sekadar isu kebebasan. Isu kebebasan sudah kita raih tahun 1998 dari tangan militer ke spirit demokrasi. Misalnya, kebebasan rakyat memilih pemimpinnya dan mengikuti organisasi. Setelah kebebasan, kita harus mendorong isu reformasi yang lebih substantif, yakni demokratisasi yang lebih susbtantif, tidak prosedural, demi keadilan sosial dan kesetaraan,” katanya.