Benarkah Vitamin D Dosis Tinggi Mampu Melawan Covid-19
Sejumlah peneliti meyakini vitamin D membantu melawan Covid-19, karena itu perlu suplementasi dalam jumlah besar. Sebaliknya, para ilmuwan lain berpendapat, vitamin D dosis tinggi justru beracun bagi tubuh.
Vitamin D termasuk salah satu zat gizi yang naik daun di masa pandemi. Vitamin ini digadang-gadang mampu menekan badai sitokin, yakni respons kekebalan tubuh akibat Covid-19 yang bisa mematikan.
Sejatinya vitamin D adalah prohormon yang diproduksi di kulit selama terpapar sinar matahari (radiasi ultraviolet beta pada 290–315 nanometer). Vitamin D juga bisa didapat dari sejumlah bahan makanan, seperti ikan salmon, tuna, daging merah, kuning telur, susu, jamur, jeruk. Namun, jumlahnya tak sebanyak hasil sintesis dari sinar matahari.
Fungsi vitamin D antara lain mengatur kadar kalsium dan fosfat dalam tubuh yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tulang, gigi, dan otot. Untuk mengecek kadar vitamin D, bisa dilakukan lewat tes darah sederhana. Jika kadarnya 20 nanogram per mililiter atau lebih, cukup baik untuk menjaga kesehatan tulang. Di bawah 12 nanogram per mililiter artinya terjadi defisiensi.
Kekurangan vitamin D bisa mengakibatkan rakhitis (gangguan pertumbuhan tulang sehingga lunak dan lemah) pada anak-anak serta berakibat osteoporosis pada orang dewasa.
Baca juga Berjemurlah Sesuai Warna Kulit, Penuhi Vitamin D untuk Imunitas Alami dari Covid-19
Sebaliknya, vitamin D berlebihan menyebabkan peningkatan kadar kalsium dalam darah dan menjadi racun bagi tubuh. Gejalanya, peningkatan rasa haus, mual, muntah, kram perut, dehidrasi, detak jantung tidak teratur (aritmia), bahkan gangguan mental.
Khasiat antiradang
Beberapa penelitian menyatakan, vitamin D membantu mengatur pertumbuhan sel dan mengurangi peradangan. Selain itu, dapat mencegah dan mengobati diabetes, tekanan darah tinggi. Namun, Institut Kesehatan Nasional (NIH) Amerika Serikat (AS) menilai, riset itu kurang jelas.
Beberapa peneliti merekomendasikan untuk mengonsumsi Vitamin D dengan dosis sangat tinggi, yakni 10.000 internasional unit (IU) atau 250 mikrogram per hari, bahkan ada yang menganjurkan hingga 60.000 IU. Sebagai perbandingan, dosis yang direkomendasikan di banyak negara, terutama di AS dan Eropa hanya 400 - 800 IU (10 - 20 mikrogram) per hari.
David Meltzer dari Fakultas Kedokteran Universitas Chicago, AS, dan kolega melakukan penelitian retrospektif terhadap 489 pasien yang telah diukur kadar vitamin D dalam kurun waktu setahun sebelum dites Covid-19 pada 3 Maret-10 April 2020.
Baca juga Siasat Berjemur Sinar Matahari
Hasilnya, risiko relatif hasil tes positif untuk Covid-19 adalah 1,77 kali lebih besar pada pasien yang kekurangan vitamin D dibandingkan dengan pasien dengan kadar vitamin D cukup.
Laporan dimuat di JAMA Network, 3 September 2020. Namun, Meltzer mengakui, perlu ada uji klinis untuk memastikan apakah pemberian vitamin D pada masyarakat luas dan pada kelompok kekurangan vitamin D dapat mengurangi prevalensi Covid-19.
Hal senada mengemuka pada penelitian Luis Manuel Entrenas Costa dan kolega dari Rumah Sakit Pendidikan Reina Sofia, Universitas Cordoba, Spanyol, dalam Journal of Steroid Biochemistry and Molecular Biology, 29 Agustus 2020. Mereka meneliti 76 pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.
Hasilnya, pemberian calcifediol (25-hydroxyvitamin D3) dosis tinggi mencegah keparahan penyakit sehingga mengurangi kebutuhan unit perawatan intensif (ICU) pada pasien. Namun, peneliti juga menyatakan, masih perlu uji coba pada kelompok yang lebih besar untuk memastikan hal itu.
Belum ada bukti kuat
Tidak semua ilmuwan setuju bahwa vitamin D berguna melawan Covid-19. Joseph Lee dan kolega dari Centre for Evidence-Based Medicine, Nuffield Department of Primary Care Health Sciences, Universitas Oxford, Inggris, mengunggah kajian cepat pada 1 Mei 2020.
Dari pencarian penelitian hingga 4 April serta pantauan pada 23 April di clinicaltrials.gov, mereka menyimpulkan, tidak ada bukti bahwa kekurangan vitamin D meningkatkan kerentanan terhadap Covid-19. Juga tidak ada penelitian terkait suplementasi vitamin D untuk mencegah atau mengobati Covid-19.
Baca juga Waspadai Ancaman Defisiensi Kalsium
Ada beberapa bukti bahwa vitamin D mungkin berperan mencegah infeksi saluran pernapasan, terutama pada orang dengan status vitamin D rendah atau sangat rendah. Namun, bukti ini berasal dari tinjauan sistematis uji coba acak. Bukti ini memiliki banyak keterbatasan, termasuk definisi heterogen dari infeksi pernapasan, populasi penelitian, intervensi, dan definisi defisiensi vitamin D.
Karena itu, peneliti dari Oxford menyarankan, orang yang berisiko kekurangan vitamin D sebaiknya mengonsumsi suplemen sesuai pedoman yang ada serta memastikan pola makan yang seimbang.
Sementara itu, Susan Lanham-New, Guru Besar Ilmu Gizi Universitas Surrey, Inggris dan sejumlah ilmuwan dari universitas lain di Inggris, Eropa dan AS, dalam BMJ Nutrition, Prevention and Health, 13 Mei 2020, juga memaparkan laporan singkat untuk memberikan pandangan ilmiah yang seimbang tentang vitamin D dan penyakit akibat SARS-CoV-2.
Tidak cukup bukti ilmiah bahwa vitamin D bermanfaat untuk mencegah atau mengobati Covid-19.
Menurut mereka, tidak cukup bukti ilmiah bahwa vitamin D bermanfaat untuk mencegah atau mengobati Covid-19. Belum ada bukti kaitan kuat antara asupan vitamin D dengan ketahanan terhadap infeksi saluran pernapasan.
Masyarakat disarankan mengikuti pedoman baku tentang suplementasi. Asupan vitamin D yang berlebihan, yakni 10.000 IU (250 mikrogram per hari), berisiko mengganggu kesehatan, terutama bagi mereka yang memiliki masalah seperti gangguan fungsi ginjal.
Hal serupa dikatakan Jutta Dierkes, Guru Besar Kedokteran Klinis Universitas Bergen, Norwegia. Menurut Dierkes, vitamin D memang menjanjikan pada penelitian kultur sel di laboratorium. Penelitian observasional juga menunjukkan, orang dengan kadar vitamin D tinggi berisiko lebih rendah terkena penyakit jantung dan kanker.
Namun, dalam uji klinis efek suplemen vitamin D pada manusia, hasilnya kerap mengecewakan. Dari kajian sistematis pada riset mengenai efek vitamin D terhadap infeksi seperti tuberkulosis, keracunan darah, dan pneumonia, hanya ada sedikit bukti vitamin D efektif melawan infeksi. Hasil itu tak serta merta berlaku untuk Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru.
“Suplemen vitamin D memang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh. Orang yang kekurangan bisa mendapatkan keuntungan dari suplemen. Tetapi jika Anda memiliki kadar vitamin D cukup, suplemen tidak akan memberikan efek positif apa pun,” katanya seperti dikutip Sciencenorway.no, 11 Mei 2020.
Dierkes tidak merekomendasikan dosis harian 10.000 IU atau lebih tinggi. Sebab tubuh tidak mampu menyerap dan ada efek samping. Menurut dia, lebih baik mengonsumsi suplemen dalam dosis kecil setiap hari, berjemur beberapa menit, dan rajin makan ikan.
Jadi, meski vitamin D berpotensi untuk mencegah peradangan dan infeksi saluran pernapasan, kita perlu menunggu bukti yang sahih dan memadai. Kecukupan kadar vitamin D penting untuk menjaga kesehatan tulang, gigi, dan otot. Namun, konsumsi vitamin D berlebihan justru mengganggu kesehatan dan bisa mengancam jiwa. Sebaiknya yang sedang-sedang saja, karena sesuatu yang berlebihan tidak pernah berakibat baik.