Intensifkan Sosialisasi Protokol Kesehatan di TPS
Dua pekan jelang pemungutan suara 9 Desember 2020, sosialisasi protokol kesehatan di TPS terus ditingkatkan. Mencegah munculnya kluster Covid-19 di TPS, KPU menyiapkan 12 langkah dan perlengkapan saat mencoblos.
JAKARTA, KOMPAS — Dua pekan menjelang pemungutan suara pada 9 Desember 2020, sosialisasi mengenai protokol kesehatan di tempat pemungutan suara harus ditingkatkan. Pemahaman pemilih terhadap protokol kesehatan di TPS menentukan keberhasilan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang aman dari penularan Covid-19.
Mengantisipasi munculnya kluster penularan baru di TPS, Komisi Pemilihan Umum telah membuat protokol kesehatan yang harus dipatuhi oleh seluruh pemilih. Ada 12 perlengkapan protokol kesehatan di TPS yang akan diterapkan dalam pemungutan suara.
Baca juga : Disepakati Bersama, Penerapan Sanksi Lebih Keras bagi Pelanggar Protokol Kesehatan di Pilkada
Adapun 12 perlengkapan tersebut adalah tempat cuci tangan dan sabun, cairan antiseptik, sarung tangan plastik untuk pemilih, sarung tangan medis untuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), masker, dan tempat sampah. Kemudian pelindung wajah, alat pengukur suhu, disinfektan, tinta tetes, baju hazmat, dan ruang khusus bagi pemilih bersuhu 37,3 derajat celsius.
Ada 12 perlengkapan protokol kesehatan di TPS yang akan diterapkan dalam pemungutan suara. Adapun 12 perlengkapan tersebut adalah tempat cuci tangan dan sabun, cairan antiseptik, sarung tangan plastik untuk pemilih, sarung tangan medis untuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, masker, dan tempat sampah. Kemudian pelindung wajah, alat pengukur suhu, disinfektan, tinta tetes, baju hazmat, dan ruang khusus bagi pemilih bersuhu 37,3 derajat celsius.
Tiba di TPS, pemilih mengantre dengan jarak satu meter. Sebelum memasuki TPS, pemilih mencuci tangan dengan sabun di tempat yang sudah disediakan. Setelah pemilih selesai mencuci tangan, petugas akan mengukur suhu tubuh. Pemilih dengan suhu tubuh di atas 37,3 derajat celsius dilayani untuk mencoblos di bilik suara khusus yang telah disediakan.
Pemilih kemudian menyerahkan formulir C6 pemberitahuan dan kartu tanda penduduk atau surat keterangan kepada KPPS. Mereka diberikan sarung tangan plastik sekali pakai untuk digunakan saat mencoblos surat suara.
Saat menunggu giliran mencoblos, pemilih disediakan kursi yang berjarak sekitar satu meter antarkursi hingga dipanggil oleh KPPS untuk diberikan surat suara. Pemilih kemudian mencoblos di bilik yang diatur jaraknya satu meter lalu memasukkan surat suara di kotak suara yang telah disediakan. Kemudian jari pemilih dioles tinta sebagai bukti telah menggunakan hak pilihnya.
Sebelum meninggalkan TPS, pemilih membuang sarung tangan yang telah dipakai mencoblos di tempat sampah. Terakhir, pemilih diminta mencuci tangan sebelum meninggalkan area TPS.
Anggota KPU, I Dewa Wiarsa Raka Sandi, mengatakan, TPS akan disemprot cairan disinfektan secara berkala. Jumlah pemilih dalam satu TPS pun dikurangi dari biasanya maksimal 800 pemilih menjadi maksimal 500 pemilih. Pemilih juga diingatkan untuk membawa masker dan alat tulis masing-masing. Namun, KPU akan menyediakan masker jika ada pemilih yang tidak membawanya dari rumah.
Waktu pencoblosan dilakukan sejak pukul 07.00 hingga 13.00. Namun, untuk mencegah timbulnya kerumunan, pemilih diharapkan datang sesuai jadwal yang dibuat oleh KPPS. Jadwal itu dituliskan dalam formulir C6 pemberitahuan. Jika ada pemilih yang datang tidak sesuai jadwal pemberitahuan, mereka tetap bisa memilih. Pembagian jadwal dilakukan karena biasanya pemilih menumpuk pada awal dan akhir waktu pencoblosan.
”Kami harapkan pemilih yang tidak datang sesuai jadwal agar tetap menjaga jarak untuk mencegah kerumunan di TPS,” ujar Raka, Selasa (24/11/2020).
Ia menambahkan, sosialisasi terkait protokol kesehatan di TPS sudah digencarkan sejak 15 Juni 2020 seiring dengan penerbitan Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020. Sosialisasi terus diintensifkan melalui webinar, media sosial, video sosialisasi memilih di TPS, serta simulasi pencoblosan di lebih dari 157 daerah.
”KPPS yang mulai bertugas sejak hari ini akan mengoptimalkan sosialisasi langsung ke pemilih. Sebab, dari kajian kami, KPPS menjadi yang paling efektif melakukan sosialisasi karena dekat dengan pemilih di TPS masing-masing,” tutur Raka.
Anggota KPU Jawa Tengah, Muslim Aisha, mengatakan, jajaran penyelenggara dari tingkat provinsi hingga TPS menyosialisasikan protokol kesehatan saat mengikuti kegiatan kemasyarakatan di wilayah masing-masing. Selain itu, sosialisasi dilakukan saat debat kandidat kepala daerah.
”Saat akan memberikan formulir C6 pemberitahuan, KPPS juga akan menginformasikan protokol kesehatan di TPS. Pemilih tidak perlu khawatir potensi penularan karena protokol kesehatan sudah sangat ketat,” katanya.
Belum jadi jaminan
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Mochammad Afifuddin, menyampaikan, dari beberapa simulasi pemungutan suara, penerapan protokol kesehatan cukup baik. Namun, kedisiplinan saat simulasi belum menjadi jaminan saat pelaksanaan pencoblosan 9 Desember 2020.
Ia mengingatkan potensi terjadinya kerumunan saat pemilih mengantre masuk ke TPS. Terlebih saat pemilih datang tidak sesuai waktu yang dijadwalkan dalam formulir C6 pemberitahuan. ”Tantangannya adalah bagaimana protokol kesehatan diterapkan di TPS yang sebenarnya, terutama di TPS yang sempit. Soal jaga jarak antarpemilih saat mengantre menjadi perhatian khusus,” katanya.
Untuk mencegah pelanggaran protokol kesehatan, Afif meminta kepada jajaran pengawas TPS untuk saling menjaga dan memastikan agar tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan saat di TPS. Penyelenggara, peserta, dan pemilih harus berkomitmen menerapkan protokol kesehatan agar pelaksanaan pencoblosan tidak memunculkan kluster baru penularan Covid-19.
Menurut anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, sosialisasi harus diintensifkan menjelang hari pencoblosan. Jika seluruh pemilih memahami protokol kesehatan sebelum pencoblosan, tidak akan muncul kegaduhan terkait penerapan aturan tersebut di TPS.
”Ketentuan teknis harus disosialisasikan dengan baik kepada seluruh petugas dan pemilih dengan pendekatan persuasif melibatkan tokoh masyarakat setempat,” ujarnya.
Senada dengan Bawaslu, Titi mengingatkan potensi pelanggaran protokol kesehatan saat pemilih antre masuk ke TPS. Apalagi jika pemilih tidak mengikuti imbauan datang ke TPS sesuai jadwal yang telah ditentukan. Sebab, pembagian jadwal itu hanya imbauan dan tidak mengikat sehingga pemilih harus tetap dilayani meskipun datang tidak sesuai jadwal.
Protokol kesehatan, terutama 3M, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan, rentan dilanggar oleh pemilih. Sebab, pemilih dan penyelenggara merupakan satu komunitas yang dekat sehingga sangat mungkin muncul toleransi terhadap pemilih yang tidak menerapkan protokol kesehatan.
”Kalau TPS luas, mungkin bisa menjaga jarak, tetapi akan sulit jika TPS berada di lingkungan yang sempit. Perlu kesadaran kolektif antara penyelenggara dan pemilih untuk saling melindungi dengan patuh protokol kesehatan,” ucap Titi.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, mengatakan, syarat mutlak penyelenggaraan pilkada dilakukan pada 9 Desember 2020 ialah ketaatan pada protokol kesehatan. Sebab, pilkada kali ini diadakan di tengah pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap protokol kesehatan harus ditindak tegas.
Ketegasan dalam penegakan protokol kesehatan ini, menurut Guspardi, tidak hanya menjadi tugas penyelenggara, yakni KPU dan Bawaslu, tetapi juga menjadi kewenangan kepolisian, satuan polisi pamong praja, dan TNI. Kepolisian dapat langsung membubarkan kerumunan saat pilkada yang dinilai berpotensi menyebabkan penularan Covid-19.
Semua stakeholder harus seayun selangkah untuk bersama-sama bagaimana agar tidak ada penyelenggara ataupun pemilih yang terpapar Covid-19. Tindakan tegas dari pihak berwenang dibutuhkan. Polisi harus proaktif dan dengan di-back up oleh TNI serta gugus tugas dan satpol PP untuk menangani kerumunan yang berpotensi menimbulkan penularan Covid-19.
”Semua stakeholder harus seayun selangkah untuk bersama-sama bagaimana agar tidak ada penyelenggara ataupun pemilih yang terpapar Covid-19. Tindakan tegas dari pihak berwenang dibutuhkan. Polisi harus proaktif dan dengan di-back up oleh TNI, serta gugus tugas dan satpol PP untuk menangani kerumunan yang berpotensi menimbulkan penularan Covid-19,” kata Guspardi.
Baca juga : Pilkada Diklaim Bisa Jadi Media Kampanye Protokol Kesehatan
Sikap proaktif kepolisian dan institusi terkait lainnya, menurut Guspardi, amat diperlukan karena penyelenggaraan pilkada ini merupakan pertaruhan dan batu ujian bagi pemerintah dan DPR yang telah memutuskan untuk menggelar pilkada di tengah pandemi.
DPR konsen terhadap penegakan protokol kesehatan. Target partisipasi pada pilkada kali ini relatif tinggi, yakni 77,50 persen, atau lebih tinggi daripada pilkada dalam kondisi normal. Oleh karena itu, penerapan protokol kesehatan perlu dipertimbangkan matang. ”Kalau target tidak tercapai dan masyarakat tidak meyakini keamanan dan keselamatannya dalam pilkada, rapor pencapaian dapat dianggap gagal,” katanya.