Puluhan tahun melestarikan batik peranakan Tionghoa Cirebon, Bu Giok ikut menyemai kasih dan toleransi dalam setiap cantingnya. Kiprahnya memberi senyum bagi banyak orang yang belum beruntung saat menjalani hidup.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Puluhan tahun melestarikan batik peranakan Tionghoa Cirebon, Gouw Hong Giok alias Indrawati (77) ikut menyemai kasih dan toleransi dalam setiap cantingnya. Tidak heran, pedagang kecil, pengusaha, tokoh agama, sultan, dan pejabat teras mengenalnya. Namun, ia memilih merendah dan berkarya untuk sesama dalam senyap.
Rambut Gouw Hong Giok yang biasa disapa Bu Giok sudah memutih. Kacamata harus dipakai untuk membantu penglihatannya. Namun, mata tetap memandang orang setara meski berbeda latar belakang. Kakinya juga masih biasa melangkah ke sudut gang, mencari warga yang kesusahan. Tangan keriputnya juga tetap cekatan mencipta batik.
Jumat (13/11/2020), Giok menemani sejumlah perwakilan Kementerian Agama dari siang hingga malam untuk melihat keberagaman di Cirebon, Jawa Barat. Baginya, keberagaman tumbuh subur dan damai di Cirebon. Rumahnya di kompleks Pecinan, misalnya, berada di depan Keraton Kanoman, salah satu pusat penyebaran Islam.
Giok lalu bercerita tentang seorang anak penjual kue. ”Kabarnya, ada kelainan di ususnya. Saya rencana mau ke sana. Nanti, Tahun Baru China 2021 saya juga usulkan kepada warga agar membantu sesama yang sakit. Tidak hanya bagi bahan kebutuhan pokok,” katanya saat ditemui, Sabtu (14/11/2020).
Mantan pengurus Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Cirebon ini acap kali menjadi ”jembatan” bagi yang papa dan mapan. Tidak jarang, ia menelepon pejabat dinas sosial hingga wali kota Cirebon jika menemukan warga yang sakit dan belum tertangani.
Kedekatannya dengan pejabat bermula ketika membuka sanggar senam sejak 1960-an. Ia sering memimpin senam di berbagai instansi dan pabrik gula. Anggota sanggarnya kebanyakan istri pejabat. Setiap kelompok senamnya ulang tahun, agenda rutinnya bakti sosial.
Giok menolong tanpa sekat etnis dan agama. Ia menggagas operasi katarak di Pondok Pesantren KHAS Kempek. Awalnya, gerakannya dituding sebagai upaya menyebarkan keyakinan tertentu. Namun, setelah berbicara dengan pengasuh pondok, ia mendapat dukungan. Puluhan warga pun turut serta.
Uniknya, dari kiai di Kempek, Giok menerima data orang keturunan Tionghoa yang menjadi penarik becak, kuli, dan kerja serabutan. Bersama sejumlah komunitas Tionghoa, ia pun menggelar bakti sosial yang terpusat di Jamblang.
Saya sering diundang kalau ada haul. Bahkan, saya pernah jadi panitia pernikahan anak kiai di pesantren Balerante.
Hubungan baik itu juga ia bangun dengan pesantren tua lainnya di Cirebon, seperti Pondok Buntet Pesantren dan Babakan Ciwaringin. ”Saya sering diundang kalau ada haul. Bahkan, saya pernah jadi panitia pernikahan anak kiai di pesantren Balerante,” ungkap ibu tiga anak dan satu cucu ini.
Akan tetapi, Giok tegas menolak menolong jika dalih kepentingan pribadi. ”Banyak yang minta dihubungkan dengan pejabat atau sultan untuk kepentingan sendiri. Saya enggak mau. Saya cuma bantu kepentingan masyarakat,” ujarnya.
Beberapa temannya sempat menyindirnya karena berjuang di jalan sepi. ”Saya dibilangin gaya-gayaan, sok sosial, ngurusin orang. Saya ketawa terus bilang, kita (saya) memang sok sosial,” ujarnya.
Pelajaran batik peranakan
Jiwa sosialnya tidak hadir begitu saja. Sejak sekolah dasar, anak pengusaha batik peranakan Tionghoa Cirebon ini rela menyisihkan uang jajannya demi menambah pembayaran sekolah sahabatnya. Belakangan, sahabatnya itu menjadi istri wali kota Cirebon era 1980-an.
Pelajaran berbagi itu ia serap dari keluarganya. Orangtuanya, Gouw Tjin Lian dan Thio Lin Nio, dikenal hebat dalam mencampur warna batik. Mereka juga menjual pewarna batik. ”Kalau perajin batiknya suka bon, orangtua bilang enggak usah bayar. Uangnya buat beli obat anaknya yang sakit saja,” kenangnya.
Giok merupakan generasi keempat batik peranakan Tionghoa Cirebon. Batik tulis tersebut adalah kombinasi motif lokal dengan Tionghoa, misalnya motif barongsai berpadu megamendung, khas Cirebon. Latar batik peranakan umumnya berwarna cerah, seperti merah.
Pada 5 September 1934, Sultan Sepuh Cirebon menganugerahkan surat kepada orangtuanya yang berisi izin membatik dengan motif keraton. Dokumen itu terpajang di ruang tamunya, berderet dengan foto kunjungan pejabat, seperti mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kerabat keraton pun beberapa kali memintanya membuat batik tulis.
”Hanya kami yang masih melestarikan batik peranakan Cirebon,” ujarnya. Kerusuhan di Trusmi pada masa penjajahan Jepang yang memaksa orang keturunan Tionghoa pindah ke Kota Cirebon, termasuk keluarganya. Meski demikian, Trusmi hingga kini tetap sebagai sentra batik Cirebon.
Adik Giok, Gouw Hong Kiauw atau Jeni, lebih dulu meneruskan usaha orangtuanya, Lina’s Batik. Giok yang terpaksa berhenti kuliah karena ayahnya berpulang ikut mengembangkan usaha keluarganya hingga membuka toko Kanoman Batik. Anaknya, Moniq Adriani (42), kini mengelola toko tersebut.
Sejatinya, Giok tidak hanya melanggengkan usaha batik keluarga, tetapi juga nilai berbagi dan toleransi. Nenek satu cucu ini tidak jarang membantu sekolah perajinnya meski tidak seiman dengannya. ”Sekarang, anaknya ada yang jadi guru dan bidan,” ujarnya.
Kami ini sudah tua. Sebentar lagi pergi, makanya butuh bantuan anak muda untuk menjaga toleransi.
Bahkan, ketika toko batiknya sepi ditelan pandemi Covid-19, Giok masih berupaya memberi bantuan sebisanya kepada 15 perajinnya meski tak rutin membatik. Para perajinnya kini hanya membatik di rumahnya jika ada pesanan.
Giok bertekad mempertahankan batik peranakan dengan nilai saling menolong dan menghargai keberagaman hingga akhir usianya. Salah satu impiannya, membangun museum batik peranakan Cirebon. Ia ingin batik peninggalan keluarga yang berusia lebih dari seabad tidak selamanya terkurung dalam peti.
Hingga kini, Giok juga masih rutin membuat apem di bulan Safar dan dibagikan ke masjid tua, seperti yang dilakukan pendahulunya di Trusmi. Ia pun aktif membawa pemuda gereja ke keraton dan mendampingi pemuda lintas iman. ”Kami ini sudah tua. Sebentar lagi pergi, makanya butuh bantuan anak muda untuk menjaga toleransi,” tuturnya.