Tergilas Zaman, Tradisi Penggunaan Keris Palembang Mulai Pudar
›
Tergilas Zaman, Tradisi...
Iklan
Tergilas Zaman, Tradisi Penggunaan Keris Palembang Mulai Pudar
Tradisi penggunaan keris Palembang saat ini semakin berkurang lantaran tergilas perkembangan zaman. Padahal, pada masa lampau, keris Palembang merupakan simbol persahabatan, kekuasaan, dan alat untuk tradisi pernikahan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pamor keris Palembang tergilas perkembangan zaman. Lebih dari sekadar senjata, keris Palembang adalah simbol persahabatan, kekuasaan, bahkan salah satu aksesoris di tradisi pernikahan.
Hal ini mengemuka dalam Seminar Kajian Koleksi Museum Senjata Tradisional Palembang, Sabtu (5/12/2020). Hadir dalam acara tersebut budayawan Palembang Ali Hanafiah, anggota Tim Ahli Cagar Budaya Sumatera Selatan Yudhy Syarofie, dan kurator Museum Negeri Sumatera Selatan Syamsudin.
Ali mengatakan, sejak tahun 1980, penggunaan keris Palembang sudah mulai berkurang karena tergerus zaman. ”Saat ini, sangat sulit mendapatkan keris Palembang. Jumlahnya sudah terbatas,” ujarnya.
Oleh karena itu, keris hanya digunakan untuk sejumlah tradisi tertentu, salah satunya pernikahan lewat tradisi ”Nganter Keris”. Tradisi ini menjadikan keris sebagai pengganti mempelai pria untuk mendampingi mempelai wanita.
”Karena zaman Kesultanan Palembang Darussalam, pengantin pria dan wanita baru bisa bertemu di hari Minggu,” kata dia. Namun, tradisi ”Nganter Keris” perlahan mulai hilang karena pada acara akad, kedua mempelai bisa langsung bertemu.
Ali menuturkan, selain tradisi pernikahan, keris juga tidak lepas dari simbol kekuasaan. Setiap pergantian kekuasaan di zaman kesultanan ditandai perpindahan keris Palembang. Ali menambahkan, keris di Palembang ada beragam. Salah satunya keris brojol. Keris biasanya digunakan petinggi kesultanan.
Sebenarnya, bentuk keris Palembang tidak jauh berbeda dengan keris yang ada Jawa. Itu karena keris Palembang awalnya dibawa dari para priyai asal Demak, Jawa Tengah. ”Kesultanan Palembang Darussalam juga berasal dari para priyayi yang datang dari Kerajaan Demak,” ujarnya.
Bedanya, keris tersebut disesuaikan dengan tradisi Palembang atau Melayu. Hal itu terlihat dari cara pemakaian. ”Kalau di Jawa, keris digunakan di belakang pinggang. Sementara di Palembang digunakan di depan,” ujarnya.
Arah ulu (gagang) keris pun memiliki makna tersendiri. Ketika gagang keris menghadap ke depan bermakna menantang sultan, ketika menghadap ke belakang berarti datang dengan berpasrah penuh atau persahabatan.
Terkait pembuatan keris, ujar Ali, keris di Palembang dibuat para empu (ahli pembuat besi) yang berasal dari Jawa. Perbedaannya hanya pada ulu keris yang dibuat perajin Palembang.
”Sampai sekarang pun belum ditemukan empu di Palembang,” ucapnya.
Anggota Tim Ahli Cagar Budaya Sumatera Selatan Yudhi Syarofie menuturkan, kesamaan keris Jawa dan Palembang juga mengacu pada jumlah lekuk yang harus ganjil. Misalnya jumlah lekuk, yakni 3,7,9,13. Ini mengacu pada kepercayaan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam yang saat itu menganut agama, Islam bahwa Tuhan menyukai angka ganjil.
Perbedaannya keris Palembang dan Jawa terletak pada gagang di mana motif keris Palembang menggambarkan macan, tulang ikan, dan beragam motif lain. Gagang keris dari Palembang terbuat dari tanduk kerbau, rusa, dan kijang, serta kayu mahoni.
Yudhi menuturkan, di masa kesultanan, banyak juga para perajin Palembang yang menjual gagang keris ke sejumlah daerah di luar Palembang dengan mengandalkan keris dari Jawa. ”Kala itu, keris juga menjadi komoditas dagangan seniman selain songket,” ujarnya. Praktik inilah yang membuat keris Palembang tersebar bahkan sampai ke luar negeri.
Kurator dari Museum Negeri Sumsel Syamsudin menuturkan, kesamaan budaya Jawa dan Palembang tidak hanya terlihat pada keris tapi juga dari batik. ”Batik Palembang diperkirakan juga dibuat dari pantai utara Jawa, seperti Cirebon dan Lasem,” ujarnya.
Syamsudin menyebut, sebenarnya masih ada keris Palembang yang beredar. Hanya, pemilik keris tidak berani untuk mendaftarkannya. ”Mereka mengira kalau sudah diregistrasi, maka akan menjadi milik pemerintah,” kata Syamsudin. Padahal, proses registrasi ini penting sebagai langkah pendataan.
Saat ini, kebanyakan keris yang telah teregistrasi sebagai diduga cagar budaya benda, kebanyakan adalah koleksi dari museum. ”Keris dari koleksi museum berasal dari orang yang menghibahkannya,” katanya.
Kisa mistis
Dipercaya atau tidak, keris Palembang juga meninggalkan kisah mistis. Ali menceritakan, dia pernah membawa pulang sebuah keris dari museum dari hasil hibah dan ada sejumlah kejadian tidak wajar. ”Nasi yang ditanak orangtua saya menjadi cepat basi,” ujarnya. Namun, ketika keris itu dikembalikan, semua kembali seperti semula.
Yudhi pun menceritakan kisah mistis saat ada seorang pemilik keris yang anaknya sakit dan tidak pernah sembuh. Seorang tabib menanyakan, apakah ada peninggalan (keris) yang tidak dirawat? Ketika, orang tersebut merawat keris, penyakit pun hilang. Atau, sejak adanya keris biasanya membuat orang yang tinggal di rumah itu cepat emosi.
”Mungkin keris tersebut menciptakan aura yang berbeda,” kata Yudhi.
Hal inilah yang membuat banyak pemilik keris di Palembang yang memilih untuk menghibahkan keris kepada museum agar dapat dirawat dan menghilangkan segala macam risiko. ”Bahkan, di Museum Negeri Sumsel, semua keris yang ada adalah hasil hibah,” ujarnya.
Akan tetapi, di balik semua dinamikanya, keris Palembang menjadi pertanda Sumsel kaya dengan tradisi senjata tajam, seperti rambe ayam, tombak lado, misuduo, kelewang belicung, kampak, serampang, badik, lading, dan pemuras. Tradisi ini menjadi tradisi yang harus kita jaga dan perkenalkan agar tidak punah.