Presiden Jokowi kembali menegaskan komitmennya agar penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu terus dilanjutkan. Kejaksaan diharapkan menjadi aktor kunci dalam upaya mengurangi beban masa lalu dan utang kemanusiaan.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Wartawan sekaligus sastrawan Martin Aleida menulis status di dinding Facebook-nya, 14 Desember 2020. Ia menulis, ”Menggetarkan! Kata Presiden Jokowi, Kejaksaan Agung adalah kunci utama dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu…”. Status itu banyak mendapat komentar.
Martin, penulis novel Romantisme Tahun Kekerasan, tidak sedang menulis hoaks. Saat memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, Presiden Jokowi memang berpidato secara virtual, 10 Desember 2020. Ada enam butir substansi yang dibacakan Presiden Jokowi. Isu pelanggaran HAM masa lalu adalah butir pertama dalam pidatonya. ”Pemerintah tidak pernah berhenti untuk menuntaskan masalah HAM masa lalu secara bijak dan bermartabat. Melalui Menko Polhukam, saya telah menugaskan agar penyelesaian masalah HAM masa lalu terus dilanjutkan yang hasilnya bisa diterima di dunia internasional.”
Saat membuka rapat kerja Kejaksaan Agung, Senin, 14 Desember 2020, Presiden Jokowi kembali menegaskan komitmennya agar penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu terus dilanjutkan. Dan, kejaksaan menjadi aktor kunci dalam upaya ini. ”Kejaksaan Agung adalah aktor kunci dalam penuntasan pelanggaran HAM masa lalu,” kata Presiden Jokowi.
Tema HAM tergolong jarang diangkat oleh Presiden Jokowi. Kini, pada akhir 2020, dalam selang waktu empat hari (10 Desember dan 14 Desember 2020), Presiden berbicara soal HAM, khususnya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Semoga ini menjadi sinyal yang menunjukkan komitmen pemerintah dengan dukungan politik mayoritas di parlemen yang kuat. Menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu menjadi legasi dari pemerintahan Jokowi.
Pidato Presiden Jokowi dalam peringatan Hari HAM sebenarnya hanyalah repetisi dalam dokumen Nawacita 1 saat kampanye Presiden tahun 2014-2019. Dalam dokumen itu tertera niat luhur dari pasangan calon presiden Jokowi-Jusuf Kalla untuk menyelesaikan beban pelanggaran HAM masa lalu. Bahkan, sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu ditulisnya secara detail. Kasus demi kasus. Dari kasus 1965 hingga kasus Tanjung Priok serta kasus Trisakti dan Semanggi. Namun, satu periode berlalu, tak ada kemajuan berarti dalam isu HAM masa lalu. Isu HAM itu memang tidak seksi untuk menggaet keuntungan elektoral.
Kini, di akhir tahun 2020, dalam selang waktu empat hari (10 Desember dan 14 Desember 2020), Presiden berbicara soal HAM, khususnya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Semoga ini menjadi sinyal yang menunjukkan komitmen pemerintah dengan dukungan politik mayoritas di parlemen yang kuat. Menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu menjadi legasi dari pemerintahan Jokowi.
Penyair Widji Thukul tetap hilang! Sejumlah aktivis tetap tak diketahui rimbanya. Meskipun beberapa aktivis yang pernah hilang telah menjadi anggota DPR atau berada pada posisi lain. Keluarga korban penembakan Trisakti dan Semanggi tetaplah menjadi korban pelanggaran HAM masa lalu. Aksi Kamisan, kumpulan keluarga korban pelanggaran HAM, digelar di depan Istana untuk menuntut keadilan dari negara. Sementara sejumlah pelaku pelanggar HAM malah berada di lingkungan elite kekuasaan. Politik kadang terlalu ironis.
Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu maju mundur antara kejaksaan dan Komnas HAM. Berkas pelanggaran HAM bolak-balik antara kejaksaan dan Komnas HAM. Hampir tak ada kemajuan yang berarti. Padahal, Presiden Jokowi adalah sosok tak berbeban untuk membayar utang sejarah. Namun, itulah realitas politik yang ada.
Setelah disinggung Presiden Jokowi, Jaksa Agung ST Burhanuddin kemudian membuat satgas pelanggaran HAM berat. Pendekatan legalistik murni dengan mengedepankan saksi dan bukti di pengadilan, memang terasa menyulitkan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Contoh, kasus penyerbuan Kantor PDI pada 27 Juli 1996 di Jalan Diponegoro, lewat jalur pengadilan, hanya membuktikan seorang terdakwa melempar batu. Yang lain, lepas secara hukum.
Menyelesaikan beban masa lalu, selain untuk memberikan keadilan kepada korban dan keluarganya, seperti saat Presiden Jokowi memberikan kompensasi kepada korban terorisme, juga untuk memutus mata rantai kekerasan. Kekerasan, baik oleh aktor negara (state actor) maupun aktor nonnegara (nonstate actor), kerap terjadi.
Meskipun jejak kekerasan panjang di republik ini, banalisasi kekerasan harus dihindari. Pola impunitas (tiadanya sanksi hukum) harus dipotong agar tidak terus berulang. Mengutip Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan, praktik impunitas menyelubungi nurani dan perasaan bersalah. Impunitas mengabaikan dimensi sosial, meniadakan perlindungan pada korban, dan mendorong pelaku potensial mewujudkan maksud jahat tanpa hukuman atau malah dapat promosi jabatan. Akibatnya, kekerasan terus terjadi dan terjadi. Tanpa upaya menghentikan praktik impunitas, janganlah berharap menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, pelanggaran HAM baru malah bisa terjadi lagi.
Fadjroel Rachman, juru bicara yang aktif mengampanyekan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibatalkan MK, Jaleswari Pramodhawardhani di Kantor Staf Presiden yang aktif mengadvokasi kasus terbunuhnya Munir, semoga pidato Presiden Jokowi soal penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bisa menjadi kenyataan. Agar masa lalu tidak selalu menggelayuti masa kini dan masa depan.
Dikelilingi sejumlah aktivis di sekitar Istana, Fadjroel Rachman, juru bicara yang aktif mengampanyekan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibatalkan MK, Jaleswari Pramodhawardhani di Kantor Staf Presiden yang aktif mengadvokasi kasus terbunuhnya Munir, semoga pidato Presiden Jokowi soal penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bisa menjadi kenyataan. Agar masa lalu tidak selalu menggelayuti masa kini dan masa depan.
Saya teringat esai Fadjroel Rachman di Kompas, 6 Oktober 2006, berjudul ”Tuan Presiden Tangkaplah Pembunuh Munir”. Ia menulis, ”Tuan Presiden, para pembunuh Munir itu sekarang berkeliaran bebas di negeri ini. Sekarang mereka yakin, membunuh manusia itu sah bila hukum dapat dimanipulasi. Membunuh itu benar sepanjang fakta, kebenaran, hukum dapat direkayasa dan kekuasaan dominan melindunginya.
Membunuh Munir sebagai duri politik adalah awal kecongkakan, lalu meracuni ruang publik dengan beragam versi kebenaran, kemudian mereka akan membunuh siapa saja, dengan alasan apa saja, di kemudian hari.”