Pemilihan Gubernur Kepri, Petahana Tumbang di Tangan Pemain Lama
›
Pemilihan Gubernur Kepri,...
Iklan
Pemilihan Gubernur Kepri, Petahana Tumbang di Tangan Pemain Lama
Pengumuman hasil rekapitulasi suara di tingkat provinsi menyuguhkan pil pahit bagi petahana Gubernur Kepulauan Riau Isdianto. Namun, menurut sejumlah pengamat, hasil itu bukanlah hal yang mengejutkan.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Pengumuman hasil rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum di tingkat provinsi menyuguhkan pil pahit bagi petahana Gubernur Kepulauan Riau Isdianto. Namun, bagi sejumlah pengamat, hal itu tidak mengejutkan. Isdianto tumbang di tangan pemain lama yang lebih berpengalaman menjaring suara pemilih di tengah kondisi masyarakat kepulauan yang terkotak-kotak.
Pemuncak klasemen perolehan suara dalam pemilihan gubernur Kepulauan Riau adalah pasangan nomor urut 3, Ansar Ahmad dan Marlin Agustina, yang meraih 308.553 suara. Pasangan itu disusul pasangan nomor urut 2, Isdianto dan Suryani, dengan 280.160 suara. Adapun pasangan nomor urut 1, Soerya Respationo dan Iman Sutiawan, berada di posisi buncit dengan 183.317 suara.
Pengajar Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji, Yudhanto Satyagraha, Sabtu (19/12/2020), mengatakan, Isdianto bukan petahana gubernur dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak mendapatkan jabatan itu dari hasil pemungutan suara. Masa jabatan dia sebagai gubernur juga baru lima bulan.
Pada 8 April 2016, Gubernur Kepri Muhammad Sani meninggal dunia. Wakil gubernur saat itu, Nurdin Basirun, lalu naik menggantikan posisi almarhum. Selanjutnya, Isdianto yang merupakan adik kandung Sani, diangkat menjadi wakil gubernur mendampingi Nurdin.
Tiga tahun menjabat, pada 10 Juli 2019, Nurdin diterungku Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap terkait perizinan lokasi rencana reklamasi. Satu tahun kemudian, tepatnya 27 Juli 2020, Isdianto dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Gubernur Kepri.
”Isdianto hanya punya waktu yang sangat pendek untuk mempersiapkan diri bersaing dalam pemilihan gubernur kali ini. Masih juga ditambah kondisi pandemi Covid-19 yang membuat gerak para calon kepala daerah untuk berkampanye menjadi sangat terbatas,” kata Yudha.
Menurut dia, sebenarnya pandemi Covid-19 juga bisa menjadi kesempatan bagi petahana untuk meningkatkan popularitas. Namun, di bawah Isdianto, Pemerintah Provinsi Kepri justru tidak sigap menangani perekonomian warga yang hancur lebur dihantam pagebluk.
Bahkan, pada 1 Agustus 2020, Isdianto menghebohkan publik karena terinfeksi Covid-19 setelah menggelar perayaan meriah zsusai dilantik Presiden sebagai Gubernur Kepri. Dampaknya, lebih kurang 1.000 orang di Kota Tanjung Pinang harus menjalani tes PCR.
Menurut Yudha, hal lain yang ikut mengganjal langkah Isdianto adalah keputusan PDI-P yang lebih memilih ketua Dewan Perwakilan Daerah mereka, Soerya Respationo, untuk diusung sebagai calon gubernur. Tanpa PDI-P, Isdianto kehilangan kendaraan politik.
Mimpi Isdianto mencalonkan diri tidak jadi tenggelam setelah PKS yang punya 6 kursi di DPRD Kepri merapat dan memasangkan Suryani di posisi calon wakil gubernur. Langkah PKS itu kemudian juga diikuti oleh Partai Demokrat (4 kursi) dan Partai Hanura (3 kursi).
”Dengan kondisi seperti itu, saya kira, kinerja Isdianto yang berhasil meraup suara cukup banyak pada pilgub kali ini masih tetap layak untuk diapresiasi,” ujar Yudha.
Hal senada dinyatakan oleh Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji, Endri Sanopaka. Meskipun berstatus petahana, kiprah Isdianto sebagai calon gubernur belum teruji karena ia tidak memiliki pengalaman mengikuti pilkada. Adapun Ansar sudah pernah menjadi wakil gubernur saat mendampingi Soerya pada Pilkada 2015.
Ketua Tim Pemenangan Ansar-Marlin, Ade Angga, Minggu (20/12/2020), mengatakan, popularitas Ansar menjadi kunci untuk meraup suara terbanyak dalam pilgub Kepri. Meskipun kalah suara di Kota Batam dan Kabupaten Karimun, Ansar-Marlin tetap bisa mengunci kemenangan berkat unggul telak di lima kabupaten/kota lain.
Kiprah politik Ansar mengular panjang di Kepri. Sebelum maju dalam pilgub, ia menjabat anggota Komisi V DPR. Ia juga pernah menjadi Wakil Bupati Kepri 2001-2003 ketika Kepri masih menjadi bagian dari Riau. Setelah itu, ia juga menjabat Bupati Bintan selama dua periode 2005-2015.
”Kiprah politik yang panjang itu membuat Ansar tidak perlu lagi menjual nama pada pilgub kali ini. Ansar hanya perlu membuat warga bernostalgia kembali mengenang memori baik ketika ia menjabat,” kata Yudha.
Selama ini pembangunan Kepri lebih banyak terfokus di pulau utama, terutama Batam, Karimun, dan Bintan.
Cara itu terbukti mujarab. Kemenangan telak Ansar-Marlin di basis massa mereka, yakni Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang, bisa menutup kekalahan 32.819 suara di Kota Batam dan 13.226 suara di Kabupaten Karimun dari pasangan Isdianto-Suryani.
”Memang betul jumlah pemilih di Batam lebih kurang 50 persen dari total pemilih Kepri. Namun, data tim kami menunjukkan, partisipasi pemilih di Batam itu kecil,” ucap Ade.
Berdasarkan data KPU, daftar pemilih tetap di Kepri sebanyak 1,1 juta orang. Dari jumlah itu, 587.527 orang terdapat di Batam. Namun, pada 9 Desember lalu, pemilih di Batam yang menggunakan hak suaranya hanya 377.350 orang atau sekitar 64 persen.
Wilayah Kepri terluar, yaitu Kabupaten Kepulauan Anambas, Natuna, dan Lingga, juga memberi sumbangan suara yang berarti kepada pasangan nomor 3. Yudha mengingatkan, hal itu berarti warga di pulau-pulau terluar menaruh harapan besar di pundak Ansar-Marlin.
”Yang kemudian harus dilihat, apakah ke depan strategi pembangunan mereka akan berpihak kepada warga di pulau-pulau terluar itu? Selama ini pembangunan Kepri lebih banyak terfokus di pulau utama, terutama Batam, Karimun, dan Bintan,” ujar Yudha.
Menurut Ade, pasangan Ansar-Marlin sejak awal telah berjanji kepada warga tidak akan menganakemaskan kota/kabupaten yang menjadi basis suara mereka. Ke depan, pembangunan akan dilaksanakan secara lebih merata sesuai dengan potensi setiap daerah.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Tim Pemenangan Isdianto-Suryani, Uba Ingan Sigalingging, mengakui, kinerja tim pemenangan pasangan nomor urut 2 tidak maksimal di luar Batam. Namun, mereka juga menemukan sejumlah dugaan kecurangan yang dinilai sangat berpengaruh terhadap hasil pemungutan suara.
Uba menuturkan, ada dugaan politik uang dan mobilisasi aparatur sipil negara, khususnya di Batam yang menguntungkan pasangan nomor urut 3. Selain itu, mereka menduga penyelenggara dan pengawas pemilihan telah berlaku tidak adil dengan membiarkan sejumlah pelanggaran tersebut. Beberapa hal itu menjadi materi gugatan mereka yang akan segera mereka layangkan ke Mahkamah Konstitusi.