Skuter Listrik Belum Bisa Digunakan sebagai Transportasi Jarak Pendek
Polemik penggunaan skuter listrik mulai ditengahi pemerintah. Kementerian Perhubungan menilai ke skuter itu belum layak disebut sebagai moda transportasi jarak pendek.
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan skuter listrik ke depan sebagai moda transportasi jarak pendek atau first and last mile belum dapat diterapkan. Pemerintah menilai moda transportasi itu belum aman digunakan di jalan raya, jalur sepeda, atau trotoar. Karena itu, penggunaan skuter hanya diperbolehkan di beberapa kawasan tertentu.
Kementerian Perhubungan mengimbau pemerintah daerah mengizinkan operasi skuter listrik di kawasan terbatas yang aman bagi penggunanya. Di Jakarta dan sekitarnya, skuter listrik hanya diperbolehkan beroperasi di kawasan yang sudah berizin, seperti Gelora Bung Karno, Ancol, Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Bintaro Exchange, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, dan Institut Teknologi Bandung.
”Skuter listrik tidak mungkin digunakan sebagai moda transportasi first and last mile. Karena itu, pasti akan masuk ke jalan raya dan dari segi infrastruktur saat ini belum siap dan aman,” kata Direktur Sarana Transportasi Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Sigit Irfansyah kepada Kompas, Rabu (27/11/2019).
Sejak pekan ini, Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya mulai menindak pengguna skuter listrik yang melintas di jalan raya, trotoar, serta jalur sepeda yang berada di luar kawasan yang diperbolehkan. Untuk saat ini, penindakan itu berupa teguran. Kebijakan itu sambil menunggu peraturan gubernur tentang skuter listrik dan alat mobilitas pribadi lain yang ditargetkan selesai pada Desember 2019.
”Pengguna skuter listrik pribadi biasanya sudah mempunyai etika, kesadaran diri yang penuh, dan skill yang kuat tentang tata cara berlalu lintas di jalan raya. Yang perlu diperhatikan memang para pengguna awam yang menyewa dari sistem skuter listrik sharing,” tutur Fany.
Regulasi demi keselamatan
Bagi pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, setiap kendaraan yang beroperasi di jalan umum harus dibuat regulasinya demi melindungi keselamatan penggunanya. Regulasi itu mengatur wilayah operasional, batasan jumlah penumpang, batasan usia, batasan kecepatan, dan perlengkapan keselamatan yang harus dikenakan.
”Regulasi harus segera diterbitkan agar tidak bertambah korban jiwa. Regulasi yang dibuat Kementerian Perhubungan menjadi rujukan munculnya aturan sejenis di daerah,” ujar Djoko. Perlu diketahui, dua pengguna skuter listrik tewas tertabrak mobil di Jakarta pada awal November 2019.
Menurut Djoko, dengan aturan yang berlaku saat ini, skuter listrik belum bisa digunakan sebagai moda transportasi first and last mile dan hanya sebagai angkutan wisata atau rumahan. Meskipun demikian, publik masih memiliki pilihan transportasi lain yang bisa digunakan untuk menempuh perjalanan jarak pendek, seperti sepeda.
Manajer Senior Kemitraan dan Komunikasi Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Fany Rachmita menambahkan, peraturan mengenai skuter listrik yang disewa (seperti yang disediakan GrabWheels) perlu menjadi fokus utama. Sebab, potensi kecelakaan pengguna skuter listrik sewaan, yang mayoritas adalah pengguna baru, lebih besar.
Konsumsi energi
Bagi pengguna aktif skuter listrik, seperti Jan Hendrik Jurgens, skuter listrik dipercaya lebih efektif dan hemat konsumsi energi dibandingkan dengan kendaraan pribadi lain, seperti sepeda motor atau mobil. Regulasi terkait skuter listrik saat ini belum mempertimbangkan adanya jenis skuter listrik lain yang dirancang khusus melintas jalan raya. Perlengkapan alat keselamatan skuter listrik sejenis itu lebih lengkap dan disertai dengan lampu sein, klakson, serta dimensi skuter dan roda yang lebih besar. Kecepatannya pun ada yang mencapai 80 kilometer per jam.
”Komunitas Skuter Elektris (KSE) Indonesia berharap pemerintah memperbolehkan penggunaan skuter listrik di jalur sepeda dan di jalan raya apabila tidak ada jalur sepeda. Atau mungkin di trotoar, tetapi dengan kecepatan rendah. Dibandingkan sepeda motor, skuter listrik lebih hemat energi dan ramah lingkungan,” tutur Hendrik yang juga Pendiri KSE Indonesia dan penulis kode etik para pengguna skuter elektris dari KSE Indonesia.
KSE yang didirikan pada 1 Mei 2016 saat ini terdiri dari 1.400 anggota pengguna skuter listrik dari seluruh Indonesia. Sebagian besar di antara mereka berada di Jakarta dan Bali. Menurut Hendrik, ada sekitar 2.000 orang di Indonesia yang memiliki skuter listrik pribadi. Jumlah itu menurutnya cukup kecil dibandingkan dengan Singapura yang pengguna listriknya mencapai 100.000 orang.
Selain mengatur lokasi penggunaan skuter listrik, Kementerian Perhubungan juga mengatur mengenai usia dan aspek keselamatan yang perlu dipenuhi pengguna serta penyedia skuter listrik. Pengguna minimal berusia 17 tahun dan wajib menggunakan helm yang berlogo SNI (Standar Nasional Indonesia). Rem skuter juga harus bekerja dengan baik dan dilengkapi dengan sistem lampu dan alat pemantul cahaya. Skuter listrik yang dirancang untuk satu orang juga tidak diperbolehkan mengangkut penumpang tambahan.
Sigit menambahkan, skuter listrik yang kecepatannya di bawah 25 kilometer (km) per jam dianggap sebagai kendaraan bermotor kecepatan rendah dan tidak perlu memiliki sertifikat uji tipe. Di Jakarta, pemerintah setempat telah mengatur batas kecepatan skuter listrik tidak lebih dari 15 km per jam.
Sementara itu, lanjut Sigit, skuter listrik yang kecepatannya di atas 25 kilometer per jam akan diwajibkan lolos uji tipe demi memastikan aspek keselamatannya. Artinya, skuter listrik itu wajib memenuhi persyaratan teknis dan layak jalan, seperti lampu, klakson, dan dimensi, sesuai ketentuan yang diatur Kementerian Perhubungan.
”Kendaraan bermotor yang kecepatan minimalnya 25 km per jam harus dilakukan uji tipe. Skuter listrik masuk kendaraan bermotor karena ada motornya. Kalau tidak lulus uji tipe, dianggap tidak layak beroperasi di Indonesia,” ujar Sigit.