Pemahaman warga akan perilaku ular diyakini bisa meredam kepanikan warga saat berhadapan dengan ular. Dengan pemahaman itu, warga tahu bagaimana menghadapi dan menangani ular tanpa ketakutan yang berlebihan.
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
Pemahaman warga akan perilaku ular diyakini bisa meredam kepanikan warga saat berhadapan dengan ular. Dengan pemahaman itu, warga tahu bagaimana menghadapi dan menangani ular tanpa ketakutan yang berlebihan.
”Saat sweeping (ular di pemukiman warga), kami berbagi ke masyarakat bagaimana cara bersikap saat berjumpa ular, perbedaan ular berbisa atau tidak, jika digigit identifikasi ular berbisa atau tidak itu seperti apa, lalu pergerakan, hingga pakan, sampai ke penanganan gigitan,” jelas Ligar Sonagar Risjony, pendiri Taman Belajar Ular (Tabu) Indonesia, Selasa (17/12/2019).
Ia menjelaskan, ular berbisa tinggi biasanya pergerakannya tenang. Saat jumpa manusia, ular berbisa akan tegak siaga karena dia punya senjata. Kalau tidak berbisa, ular akan langsung pergi saat berjumpa manusia.
Dari fisik, ular berbisa punya sisik tegas dan keras. Kalau ular tidak berbisa, lebih lembut sisiknya.
”Ular berbisa biasanya bergerak pada malam hari. Kobra dan king kobra pengecualian, mereka kapan pun keluar mencari makan. Sementara yang tidak berbisa tidak keluar di malam hari,” jelas Igor, sapaan Ligar Sonagar Risjony.
Ular berbisa biasanya bergerak di malam hari. Kobra dan king kobra pengecualian, mereka kapan pun keluar cari makan. Sementara yang tidak berbisa tidak keluar di malam hari.
Tabu juga memberikan terapi bagi warga yang tinggal di sekitar tempat ular ditemukan saat sweeping. ”Kami sarankan dan menerapi mereka (warga) untuk memegang ular. Dengan dimulai dari menyentuh, meraba, lalu memegang, rasa takut akan hilang. Proses ini 10 menit cukup,” jelasnya.
Yang dikhawatirkan adalah psikologi dari warga yang di sekitar lokasi ditemukan ular. Pernah ada kejadian, saking takutnya, warga yang tengah memasak bisa melempar wajan ke ular yang ada di rumahnya. Di saat lain, seseorang yang sedang naik motor dan ketemu ular, bisa melepas motornya ke ular.
”Itu bahaya, kan. Dengan terapi, Tabu ingin membuat psikologi supaya warga tidak takut pada ular dan bisa bersikap tenang,” jelas Igor.
Konsep STOP
Penanganan satwa liar, khususnya ular itu, lanjut Igor, mengingatkan warga tentang konsep STOP (silent, thinking, observation, prepare). Dengan silent, warga diminta tetap diam dan tidak bergerak berlebihan, lalu minta tolong.
Dengan thinking, warga mencari tahu jenis ular yang dihadapi. Jika tidak tahu jenis ular, anggap saja ular yang ditemui itu berbisa dan berbahaya.
Dengan observation, masyarakat mesti memperhatikan sekeliling dan mencari tahu adakah alat atau tempat yang bisa digunakan untuk mengamankan diri.
Terakhir, prepare menjadi tindakan terakhir untuk bersiap menghadapi ular.
Tabu juga melihat, edukasi kepada warga yang di lingkungannya ditemukan ular ataupun satwa liar lainnya membuat warga mulai menjaga kebersihan lingkungannya. Warga juga mulai sadar untuk tidak membunuh ular.
Memindahkan ular
Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta Ida Harwati mengatakan, ada prosedur yang perlu dilakukan saat hendak memindahkan ular terkait penangkapan dan lokasi pemindahan satwa.
”Sepanjang sudah membahayakan dan mengganggu, perlu dilakukan penangkapan. Apalagi munculnya di perumahan-perumahan. Namun, memindahkan mereka ke lokasi lain/habitat perlu juga kajian mendalam sehingga tidak menimbulkan masalah baru,” ujar Ida.
Dengan begitu, haruskah manusia atau satwa liar itu hidup saling berdampingan? Menurut Ida, bisa saja dan memungkinkan.
”Karena pada prinsipnya, satwa liar, termasuk ular, tidak akan mengganggu jika tidak diganggu. Namun, untuk mencapai kondisi ideal tersebut perlu proses yang sangat berat dan panjang,” kata Ida.