Jangan Panggil Aku Bencong
Mereka tidak hanya menghadapi kerasnya kehidupan jalanan. Cemoohan juga dihadapi di setiap langkah mereka. Sedikit rasa hormat sebagai sesama manusia adalah hal yang mereka damba.
Diksi ”bencong” atau ”banci” sebenarnya terdaftar di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sebenarnya tidak salah memanggil wanita pria (waria) atau transjender dengan sebutan bencong. Akan tetapi, makna kata itu berubah menjadi cemoohan tatkala diucapkan dengan nada makian ataupun sambil cekikikan.
Entah berapa kali sudah Citra (25) mengonfrontasi orang-orang yang mencelanya di jalanan. Ia bahkan tak segan beradu fisik dengan orang yang ia nilai sangat tidak sopan. Semalam, kesabaran Citra habis ketika ada pemuda yang menyebutnya ”bencong”.
”Aku paling benci dan paling anti direndahkan. Bagiku, harga diri itu nomor satu,” kata transjender asal Purwokerto, Jawa Tengah, itu di Jakarta, Minggu (16/2/2020).
Citra adalah satu dari belasan transjender yang tinggal di Kampung Dao Atas, Pademangan, Jakarta Utara. Ia dan rekan-rekannya mengaku ”kebal” dipanggil ”bencong” di rimba jalanan sebab memang begitu adanya.
Kendati demikian, ”kekebalan” yang dimaksud hanya berlaku apabila yang menyebutnya ”bencong” adalah sesama transjender. Ia juga tidak marah jika yang memanggilnya demikian adalah keluarga atau tetangga dekat. Namun, jika kata itu keluar dari orang asing dengan niat mengejek, semua transjender pasti murka.
”Yang sakit bukan fisik, melainkan hati. Lebih baik ngatain banci di depan (tatap muka) daripada di belakang. Transjender sering sekali dipandang sebelah mata sehingga aku selalu siap membela diri. Bagiku, banci jika berani hidup, maka berani mati,” kata Citra.
Sentimen tidak hanya dihadapi transjender di jalan, tetapi terkadang juga di lingkungan tempatnya tinggal. Ketua kelompok masyarakat Kampung Dao Atas, Ramusin (53), mengatakan, warga kampung menerima baik kehadiran transjender selama ini. Keadaan berubah setelah kebakaran melanda pada 2016.
Rumah warga ludes dilalap api. Sumber api diduga berasal dari bilik kontrakan salah satu transjender. Sejak saat itu, sentimen warga terhadap transjender meningkat. Puluhan transjender yang mulanya bermukim di sana pun angkat kaki. ”Sentimen itu masih ada. Beberapa warga tidak ingin mereka tinggal di sini. Hal ini harus selalu ditengahi,” kata Ramusin.
Penolakan dan kekerasan
Tak jarang ada transjender yang ditolak keluarganya sendiri. Mereka dianggap sebagai aib. Dalam beberapa kasus, penolakan disertai dengan kekerasan fisik dan mental. Sejumlah transjender pun memilih hidup bebas dari keluarganya.
Citra mengaku menerima kekerasan fisik dari ayahnya sejak kecil. Sapu, kursi, stoples, dan barang-barang lain pernah dilempar ke tubuhnya. Ia juga disisihkan keluarga besarnya selama 18 tahun.
”Mungkin Bapak kecewa dan malu karena anak satu-satunya jadi banci. Sejak aku bisa menghasilkan uang sendiri, Bapak mulai bisa menerimaku,” katanya. Kini, ia membuka usaha penatu dan menjajakan diri melalui aplikasi kencan daring.
Baca juga: Melawan Diskriminasi, Memberdayakan Transpuan dengan Salon Kecantikan
Hal senada diutarakan Sari (38), transjender asal Makassar, Sulawesi Selatan. Penerimaan pihak keluarga baru didapat seutuhnya setelah ia punya penghasilan sendiri.
Ia bekerja serabutan sejak usia 14 tahun untuk menghidupi dirinya. Menjadi pekerja salon, pengamen, karyawan restoran, hingga pekerja seks komersial pernah ia jalani. Ia ingin mandiri secara finansial agar tidak perlu bergantung kepada orang lain.
Penerimaan dari keluarga besar diperoleh Sari secara bertahap. Ketika usianya belasan tahun, keluarga Sari masih tidak bisa memahami dirinya yang ”berbeda” dari orang lain. Kata Sari, keluarganya malu terhadap dirinya. Kondisi perlahan berubah saat ia beranjak dewasa.
”Walaupun begitu, aku masih sering diejek oleh orang lain. Sakit hati, sih. Tapi, itu sudah jadi hal yang wajar banget di Indonesia,” kata Sari.
Jati diri
Butuh waktu lama agar Sari mengenal benar jati dirinya. Dulu, ketika usianya masih belasan, ia kerap bingung saat becermin. Ia bertanya dalam benaknya, ”Aku ini perempuan atau laki-laki?”
Sari terlahir sebagai laki-laki. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merasa sebagai perempuan. Kebingungan ini ia akhiri dengan menempuh jalan sebagai transjender.
Di sisi lain, Citra juga mengalami kebingungan yang sama pada masa lalu. Kendati terlahir sebagai laki-laki, ia menyadari dominasi sisi feminin dalam dirinya. Ia pun memeriksakan diri ke sejumlah fasilitas kesehatan. Hasilnya, perbandingan hormon progesteron dan testosteron dalam tubuhnya adalah 75 persen banding 25 persen.
Butuh waktu lama agar Sari mengenal benar jati dirinya. Dulu, ketika usianya masih belasan, ia kerap bingung saat becermin. Ia bertanya dalam benaknya, ’Aku ini perempuan atau laki-laki?’
Baca juga: Perlu Hampir Seabad untuk Mencapai Kesetaraan Jender
Warga asal Demak, Jawa Tengah, Della (30), mengatakan, dirinya baru berani berekspresi sebagai transjender pada 2010. Keberanian itu didapat setelah hijrah ke Jakarta dan bertemu rekan senasib.
”Rasanya bangga dan senang banget setelah dandan (sebagai perempuan). Ibaratnya, ini seperti cita-cita yang tercapai. Jati diri yang selama ini terpendam akhirnya bisa keluar,” kata Della.
Saat dihubungi terpisah, sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad Sulistyo Widhyharto, mengatakan, diskriminasi sulit dihilangkan karena itu adalah bagian dari proses bermasyarakat. Menurut dia, diskriminasi terjadi karena perbedaan kesepakatan nilai dan norma antarkelompok masyarakat.
”Diskriminasi terhadap LGBT, khususnya transjender, biasanya terjadi ke mereka yang berpenampilan mencolok. Namun, diskriminasi bisa terjadi ke siapa saja, bukan hanya LGBT. Ini terjadi jika mereka tidak bisa beradaptasi dengan nilai dan norma yang disepakati oleh kelompok masyarakat,” kata Derajad.
Menurut dia, diskriminasi bisa diminimalkan dengan menyadari bahwa setiap individu adalah anggota masyarakat. Setiap individu juga perlu beradaptasi dan saling menghargai.
Disforia jender
Disforia jender tidak hanya menimpa Citra, Sari, atau Della. Hal serupa dialami sejumlah orang di Indonesia dan luar negeri sejak beberapa puluh tahun silam. Disforia jender adalah ketidaksesuaian antara identitas jender dan jenis kelamin biologis (Kompas, 24/5/2019).
Baca juga: Lika-liku Operasi Ganti Kelamin
Orang pertama yang tercatat mengganti identitasnya adalah Iwan Rubianto. Pada 1972, ia menjalani operasi di Singapura dan mengganti identitasnya menjadi Vivian Rubianti pada 1973. Permohonan penggantian identitas dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan/Barat (Kompas, 2/10/1973).
Sementara itu, orang pertama yang menjalani operasi ganti kelamin pertama di Indonesia adalah Benny Runtuwene pada 1975. Ia dioperasi secara gratis oleh tim dokter dari Rumah Sakit Tjipto Mangunkusumo. Setelah dioperasi, ia berencana mengganti nama menjadi Netty Herawaty.
Operasi ganti kelamin kini dapat dilakukan di sejumlah rumah sakit di Indonesia. Tim dokter RSU dr Soetomo, Surabaya, melakukan operasi tersebut terhadap Avika Warisman pada 2015. Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan permohonan ganti identitas kelaminnya pada 5 November 2018.