Tidak hanya Covid-19, demam berdarah dengue juga menjadi ancaman kesehatan kita. Kedua penyakit ini sama-sama mensyaratkan kebersihan sebagai langkah antisipasinya. Pada kasus DBD, jumantik masih memegang peran penting.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah merebaknya virus korona tipe baru, Indonesia juga menghadapi ancaman penyakit tahunan yang tidak kalah mengkhawatirkannya, yakni demam berdarah dengue atau DBD. Kehadiran juru pemantau jentik atau jumantik di kota besar, seperti Jakarta, ternyata masih menjadi andalan warga untuk mencegah DBD ketimbang mengandalkan kesadaran warga untuk menjaga kebersihan lingkungan secara mandiri.
Data dari Kementerian Kesehatan pada periode 1 Januari 2020-8 Maret 2020, penderita DBD di Indonesia mencapai 16.099 orang. Sebanyak 100 orang dari 28 provinsi dilaporkan meninggal. Sejauh ini, kasus DBD terbanyak terdapat di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan 2.713 kasus, Lampung (1.837) dan Jawa Timur (1.761) (Kompas, 10 Maret 2020).
Suryati (58), kader jumantik RT 004 RW 004, Kelurahan Palmerah, Palmerah, Jakarta Barat, menilai, warga masih cenderung abai dalam mewaspadai jentik nyamuk di rumah mereka, terlebih pada kondisi cuaca yang tidak menentu seperti saat ini. Cuaca hujan dan panas seperti saat ini memungkinkan munculnya genangan air bersih, perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti menjadi sangat pesat. Nyamuk jenis itulah yang membawa DBD. Alhasil, para jumantik yang harus bekerja lebih keras untuk melakukan pencegahan.
”Cuaca seperti sekarang, kadang panas, kadang hujan. Jentik nyamuk cepat sekali muncul. Dua hari saja bisa keluar,” kata Suryati saat ditemui di Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Hal itu dibuktikan sendiri oleh perempuan yang mengaku sudah 15 tahun bertindak sebagai jumantik itu. Biasanya ia berkeliling ke rumah-rumah warga dua kali seminggu. Jika tidak hari Rabu dan Kamis, ia akan berkeliling pada hari Rabu dan Jumat. Rumah yang bebas jentik pada hari Rabu belum tentu bersih pada pengecekan berikutnya.
Rumah yang bebas jentik pada hari Rabu belum tentu bersih pada pengecekan berikutnya.
Tidak jarang, Suryati harus berdebat dengan pemilik rumah untuk membuktikan ada tidaknya jentik di bak mandi mereka. ”Sering kali saya kuras sendiri bak mandi warga karena mereka tidak percaya ada jentik di sana. Harus benar-benar bersih. Kalau tidak bersih, nanti masih ada telurnya,” ujarnya.
Setidaknya ada 85 rumah yang harus Suryati datangi dua kali dalam seminggu. Beruntung, dari 85 rumah tersebut, hanya ada 10 rumah yang memiliki kamar mandi pribadi. Selebihnya, warga menggunakan kamar mandi bersama yang tersebar di banyak titik.
Selama ini Suryati tidak henti-hentinya mengingatkan warga untuk menguras bak mandi setidaknya dua kali seminggu. Ia juga meminta warga untuk tidak menggantung baju, mengecek genangan di pot-pot bunga, membuang barang-barang bekas, dan membuka jendela rumah agar sinar matahari dapat masuk.
”Ya, namanya warga, kebanyakan memang susah mendengarkan. Nanti kalau ada kasus, baru saya yang disalahkan,” katanya.
Suryati menyadari, tanggung jawab sebagai jumantik cukup besar. Bukan karena uang operasional Rp 500.000 per bulan yang ia terima, melainkan kesehatan warga. Ia harus memastikan warga yang ia dampingi benar-benar bebas dari jentik nyamuk. Jika tidak, ia siap-siap akan mendapatkan teguran dari pihak kelurahan.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, hingga Selasa (10/3) malam, jumlah kasus DBD di DKI Jakarta mencapai 583 kasus. "Ini adalah data yang dilaporkan ke tingkat nasional," katanya.
Beban bertambah
Jumantik RT 018 RW 007, Kelurahan Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Naryati (41), juga bertanggung jawab menyampaikan laporan setiap minggu ke kelurahan. Satu saja ditemukan jentik di wilayahnya, ia akan mendapatkan sanksi berupa penambahan beban kerja.
”Kalau yang tadinya kami cek dua hari seminggu, mungkin bisa jadi ditambah jadi tiga kali seminggu. Hal ini tidak masalah dibandingkan jika ada kasus DBD di wilayah kami. Sanksi bisa lebih berat,” ungkapnya, Selasa.
Salah satu yang harus diwaspadai Naryati adalah genangan-genangan air pascabanjir sebab kawasan tempatnya tinggal merupakan salah satu kawasan langganan banjir. Dua kali banjir besar yang melanda daerah tersebut pada 2020 ini selalu ditindaklanjuti dengan pengasapan (fogging).
Seperti halnya Suryani, Naryati juga harus mendatangi rumah-rumah warga dua kali dalam seminggu. Pemeriksaan harus dilakukan teliti, mulai dari bak mandi, tetesan air dari tuas dispenser, hingga penampung air pada lemari es. Di tempat-tempat tersebut, warga terkadang lengah.
Neni (50), warga RT 004 RW 004, Kelurahan Palmerah, Palmerah, Jakarta Barat, mengaku sudah mewaspadai DBD, seperti ia mewaspadai masuknya virus korona tipe baru. Ia menangkal dua penyakit tersebut dengan cara menjaga kebersihan lingkungan di rumahnya.
”Paling ada satu atau dua tikus di belakang, numpang lewat. Tapi kalau kaleng-kaleng bekas, sudah langsung dibuang,” ujarnya.
Ia mengaku selalu menguras bak mandi setiap tiga hari sekali. Akan tetapi, tempat penampungan air hanya dikuras satu minggu sekali sebab mereka khawatir jika listrik padam saat mereka tidak memiliki persediaan air.
Ketua RT 004 RW 004, Kelurahan Palmerah, Azizah, mengatakan, kebanyakan tempat penampungan air milik warga tidak memiliki penutup. Hal ini semakin menambah peluang berkembangnya jentik nyamuk di penampungan air. ”Kebanyakan warga di sini memanfaatkan air dari PDAM, tetapi tempat penampungan airnya terbuka,” ujarnya.
Sulit akses
Lurah Melawai, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Chenris Rahmasari mengatakan, tantangan yang dihadapi jumantik di kawasannya berbeda dengan daerah-daerah lain. Di daerah lain, kendala yang dihadapi adalah ketidakpatuhan warga, sedangkan di daerahnya adalah sulitnya akses masuk ke rumah warga.
Hal tersebut terjadi karena warga Kelurahan Melawai sebagian besar adalah orang-orang dengan status ekonomi atas. Berdasarkan pantauan pada Selasa siang, rumah-rumah yang berdiri di sekitar Kantor Kelurahan Melawai merupakan rumah-rumah elite.
Tidak tampak banyak aktivitas di daerah tersebut, kecuali rumah-rumah yang difungsikan menjadi kantor. Seorang penjual sayur yang melintas siang itu juga tidak banyak dihampiri penghuni. Hanya pengelola warung makan yang tampak belanja sayur.
Menurut Chenris, terdapat lebih dari 1.000 rumah di Melawai. Akan tetapi, hanya sekitar 600 rumah yang berpenghuni tetap. ”Sisanya kebanyakan hanya disinggahi oleh penghuninya beberapa kali saja, selebihnya ditinggal ke luar negeri atau luar kota. Ada yang dijaga orang lain, ada juga yang tidak,” katanya.
Hal ini menyulitkan jumantik untuk mengecek jentik-jentik nyamuk di rumah tersebut. Setelah hujan turun, tidak jarang muncul genangan-genangan di halaman atau pada barang-barang bekas yang ditaruh di luar ruangan.
Saat akan dilakukan fogging pun, petugas kesulitan memasuki rumah-rumah warga. ”Solusinya, kami harus bekerja sama dengan ketua RT dan ketua RW setempat untuk menghubungi pemilik rumah. Itu saja mereka tidak serentak datangnya,” kata Chenris.
Untuk memudahkan pekerjaan jumantik, pihak Kelurahan Melawai meluncurkan Aplikasi Jumantik akhir tahun lalu. Aplikasi ini akan memudahkan kader jumantik mengirimkan laporan kepada kelurahan sehingga data yang diperoleh lebih cepat.
Dari data tersebut, Chenris dapat melihat Angka Bebas Jentik (ABJ) di daerahnya setiap minggu. Angka tersebut diteruskan kepada pihak Puskesmas Kebayoran Baru untuk ditindaklanjuti. ”Petugas kesehatan bisa memberikan sosialisasi atau tindakan yang lain,” katanya.