Pasar Tanah Abang tidak jadi dibuka kembali pada hari Senin (6/4/2020). Perusahaan Daerah Pasar Jaya memutuskan tetap menutup pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara itu hingga 19 April 2020.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasar Tanah Abang tidak jadi dibuka kembali pada hari Senin (6/4/2020). Perusahaan Daerah Pasar Jaya memutuskan tetap menutup pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara itu hingga 19 April 2020 untuk mencegah penularan virus korona baru.
Dalam rilis yang diterima Kompas, Minggu (5/4/2020) malam, Direktur Utama PD Pasar Jaya Arif Nasrudin mengemukakan, keputusan itu berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 361/2020 yang menyatakan status perpanjangan masa tanggap darurat Covid-19.
Pasar Tanah Abang yang terletak di Jakarta Pusat sebelumnya ditutup sejak 27 Maret hingga 5 April 2020 berdasarkan imbauan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk meminta warga agar bekerja dari rumah. Rencana awal, pasar kembali buka pada 6 April 2020, dari pukul 08.00 hingga 14.00.
”Area yang tetap buka hanya Blok G, itu pun sebatas toko-toko yang menjual kebutuhan pokok harian,” kata Arief.
Pesimistis
Para pedagang merespons dengan cara yang kurang bergairah terhadap keputusan penutupan ataupun rencana pembukaan kembali Pasar Tanah Abang. Pasalnya, sejak awal Maret lalu situasi ekonomi pasar sudah anjlok. Membuka pasar dengan operasional setengah hari dianggap tidak akan membawa banyak perubahan.
”Kalau dari awal sudah sepi, apalagi di tengah situasi wabah begini tetap saja tidak akan ada pembeli. Dibuka kembali pun tidak akan membawa peningkatan penjualan. Masyarakat banyak yang tidak mendapat nafkah karena tidak bisa bekerja, tentu enggak bakalan punya uang untuk belanja,” kata Maznar Thahir, pedagang sepatu di Blok G.
Ia menjelaskan, pada situasi normal biasanya sebulan menjelang bulan Ramadhan tokonya sibuk mengirim berdus-dus sepatu melalu perusahaan ekspedisi ke banyak provinsi, bahkan keluar Pulau Jawa. Sejak pandemi virus korona baru, pendapatan pedagang anjlok drastis. Bahkan, sejak awal Maret tokonya sama sekali tidak didatangi pembeli.
Kalau dari awal sudah sepi, apalagi di tengah situasi wabah begini tetap saja tidak akan ada pembeli. Dibuka kembali pun tidak akan membawa peningkatan penjualan.
”Mereka (pembeli) hanya menyampari toko-toko kebutuhan pokok. Tidak ada yang membeli kebutuhan sekunder seperti sepatu, baju, tas, apalagi aksesori,” keluh Maznar.
Hal senada disampaikan pedagang baju muslimah, Arham Rahimi. Selain memiliki toko baju dan tekstil, ia juga mempekerjakan penjahit konfeksi dengan jumlah hingga 100 orang yang tersebar di Jakarta. Mandeknya penjualan mengakibatkan dia terpaksa mengurangi pekerjanya hingga tersisa 15 orang.
Sebagai gambaran, pada situasi normal, usaha Arham memperoleh omzet rata-rata Rp 400 juta per hari. Sejak awal Maret, ia mendapatkan nol rupiah. ”Kalau uang makan untuk keluarga ada dan tercukupi, tapi saya tidak bisa menggaji pegawai. Banyak pegawai yang akhirnya memilih mudik. Mau dilarang, saya juga tidak bisa memberi mereka apa pun untuk bisa bertahan di Jakarta,” ujarnya.
Di samping itu, ia beserta rekan-rekan sesama pedagang juga bertanya-tanya metode pengaturan keramaian yang akan diterapkan oleh pengelola pasar jika pasar dibuka kembali dalam situasi darurat. Setiap gedung Pasar Tanah Abang memiliki banyak pintu akses. Apabila pintu yang dibuka dibatasi demi pengaturan lalu-lalang pembeli, yang terjadi justru menimbulkan ketidaknyamanan.
”Nanti pembeli malah jadi malas datang, padahal pesanan partai besar hanya berasal dari pembeli yang langsung datang dan melihat sampel model baju dan bahan. Tidak bisa dilakukan lewat online, apalagi lewat telepon,” kata Arham.