Publik Menanti Aturan PSBB Jakarta
Penerapan pembatasan sosial berskala Besar di Jakarta hendaknya diikuti dengan penetapan kebijakan serupa di Bodetabek. Selain itu, kelangsungan hidup warga miskin dan rentan miskin harus dipastikan terjamin.
JAKARTA, KOMPAS — Peresmian Jakarta berstatus wilayah dengan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB memunculkan berbagai pertanyaan, terutama terkait kesejahteraan masyarakat miskin dan rentan miskin. Akses terhadap kebutuhan pokok secara rutin menjadi faktor yang harus bisa dijamin pemerintah.
Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto menyetujui permintaan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menjadikan ibu kota Indonesia ini sebagai wilayah resmi PSBB. Persetujuan itu dituangkan di dalam Keputusan Menkes Nomor HK.01.07/MENKES/239/2020 tentang Penetapan PSBB di Wilayah Provinsi DKI Jakarta dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Penerapan keputusan dimulai pada Selasa (7/4/2020) untuk jangka waktu 14 hari ke depan. Lama penerapan bisa diperpanjang apabila pemerintah pusat ataupun Jakarta menilai ada faktor-faktor penting yang mendesak hal tersebut dilakukan. Sampai pukul 20.30 belum ada respons dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pekan lalu ketika melakukan telekonferensi dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amien, Anies mengatakan, ada sekitar 1,1 juta warga Jakarta yang miskin dan 2,6 juta warga rentan miskin. Sebanyak 1,1 juta warga miskin selama ini sudah mendapat bantuan sesuai program resmi pemerintah. Namun, bagi yang rentan miskin dan kemungkinan akan terdampak saat PSBB diberlakukan, belum ada kanal bantuan bagi mereka.
Baca juga : Sebanyak 4,1 Juta Keluarga di Jabodetabek Segera Terima Bantuan Sosial
Menanggapi hal ini, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, Eneng Malianasari, mengusulkan agar ada prioritas bantuan kepada keluarga yang kepala keluarganya adalah pekerja informal yang terpaksa berhenti bekerja selama masa PSBB. Kluster kedua adalah keluarga yang kepalanya telah pensiun atau bisa juga berusia lanjut. Kluster ketiga untuk keluarga yang memiliki ibu hamil ataupun anak balita.
”Mungkin bisa diberi tambahan Rp 150.000 per bulan yang bisa dipakai untuk membeli vitamin, susu, dan popok bayi,” kata Eneng. Selain itu, transparansi data para penerima manfaat juga harus diumumkan agar bisa dipantau masyarakat ketepatgunaannya.
Akses warga
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Turro Wongkaren mengingatkan pentingnya menjaga akses pada kebutuhan pokok. Terlepas dari adanya stok pangan dan uang.
”Percuma jika masyarakat miskin dan rentan miskin diberi bantuan tunai, tetapi warung-warung di sekitar mereka tutup,” ujarnya.
Ia mengungkapkan maraknya warung eceran yang tutup karena sepi pelanggan. Umumnya masyarakat kelas menengah dan atas memanfaatkan layanan belanja daring dengan kurir atau mengunjungi langsung toserba swalayan yang besar. Akan tetapi, masyarakat dari kluster miskin dan rentan miskin tidak akan bisa berbelanja di toserba karena keterbatasan dana.
Baca juga : Wali Kota Tangerang: PSBB Harus Serentak Se-Tangerang Raya
Menurut Turro, harus ada pengaturan warung ataupun kios yang dikelola pemerintah dengan letak di dekat permukiman masyarakat miskin kota. Hendaknya pemerintah jangan mengharapkan inisiatif warga untuk menjaga warung milik pribadi tetap buka.
”Kalau perlu, terapkan jadwal belanja ke warung di bawah pengelolaan atau yang bekerja sama dengan pemerintah agar tidak terjadi keramaian akibat mengantre berbelanja,” kata Turro.
Demikian pula dengan pemberian santunan berupa kebutuhan pokok. Jangan sampai ketika barang diletakkan di titik-titik pengambilan terjadi penumpukan orang. Di sini ketegasan aparat pemerintah harus dipraktikkan.
Terapkan untuk Jabodetabek
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya mendorong Pemprov DKI Jakarta segera menetapkan langkah-langkah ketat untuk pelaksanaan PSBB. Hal itu perlu dilakukan setelah Pemprov DKI Jakarta memperoleh penetapan status PSBB dari Kementerian Kesehatan dan supaya PSBB signifikan menekan angka kasus pasien positif Covid-19 di Jakarta.
Teguh P Nugroho, Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya, Selasa (7/4/2020), menyatakan, angka kasus positif Covid-19 di Jakarta terus meningkat. Untuk itu, Pemprov DKI Jakarta perlu menyusun dan melakukan kebijakan khusus yang lebih ketat lagi. Utamanya setelah permohonan penetapan PSBB untuk wilayah DKI Jakarta disetujui Menteri Kesehatan.
Memang, lanjut Teguh, sebetulnya sejak Maret lalu Pemprov DKI Jakarta sudah menerapkan praktik-praktik PSBB seperti yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 serta Permenkes. Praktik itu di antaranya meliburkan sekolah-sekolah, menutup tempat-tempat wisata, dan menerbitkan seruan gubernur bagi seluruh perusahaan di DKI Jakarta untuk menerapkan kebijakan bekerja dari rumah kepada para karyawannya.
”Namun, dengan adanya penetapan status ini, memberikan legitimasi atau landasan hukum bagi DKI Jakarta untuk menyusun kebijakan yang lebih ketat bagi upaya penerapan PSBB,” kata Teguh.
Menurut dia, pembatasan yang sudah dilakukan belum cukup kuat menekan angka positif Covid-19. Dengan penetapan status itu, DKI bisa menerbitkan regulasi yang lebih ketat, di mana Gubernur DKI Jakarta bisa menerbitkan landasan hukum pelaksanaan PSBB secara rinci, termasuk memuat kegiatan atau program yang wajib dilaksanakan selama penetapan PSBB di wilayah DKI Jakarta. Selain itu, juga penghitungan dukungan anggaran bagi masyarakat yang terdampak oleh kebijakan PSBB.
Baca juga : Wali Kota Bekasi: PSBB Jakarta Ringankan Bekasi
Di DKI Jakarta, imbuh Teguh, Pemprov DKI bisa mempergunakan instrumen RW siaga bekerja sama dengan lurah dan camat. Dengan instrumen itu, DKI sebetulnya bisa melakukan pembatasan wilayah secara ketat tanpa menutup akses.
Kemudian, dengan RW siaga juga, Pemprov bisa mendapat data mengenai warga yang rentan miskin meski sebenarnya pemerintah pusat seharusnya sudah memiliki data itu. Adapun untuk DKI Jakarta sendiri saat ini sudah memiliki data dasar 1,1 juta jiwa warga kurang mampu yang selalu mendapat bantuan pangan murah dan bantuan lain.
Data itu, nantinya bisa saling melengkapi. ”Dengan landasan hukum ini, DKI Jakarta bisa mengalokasikan anggaran APBD untuk membantu mereka ditambah dengan bantuan dari pusat,” ucap Teguh.
Hal lainnya yang mesti dicermati, imbuh Teguh, karena episentrum pandemi Covid-19 ada di tiga provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya meminta Gubernur DKI Jakarta bersama dengan kepala daerah area tetangga Ibu Kota melakukan pembahasan terkait pembatasan mobilitas masyarakat keluar masuk wilayah DKI Jakarta.
Untuk itu, setiap daerah yang masuk dalam kawasan Jabodetabek semestiya sama-sama mengajukan penetapan status PSBB itu. Namun, lanjut Teguh, hal itu bisa disiasati dengan keterlibatan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, lanjut Teguh, sebaiknya juga mengusulkan kebijakan terkait PSBB di wilayah Jabodetabek serta memastikan bahwa terdapat kebijakan yang sinergis dan efektif dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19. Hal itu akan membantu apabila akan ada kebijakan ketat dalam hal transportasi yang lintas batas di wilayah Jabodetabek.
Baca juga : Polda Pastikan Tak Ada Pembatasan Akses Masuk-Keluar DKI Selama PSBB
Terpisah, Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, menjelaskan, untuk PSBB selanjutnya belum ada instruksi. Namun, membaca kembali PP No 21/2020 juga Permenkes No 9 Tahun 2020, lanjut Syafrin, sebetulnya pedoman pembatasan yang diatur jika dicermati sudah dilaksanakan Pemprov DKI Jakarta saat ini. Contohnya MRT, LRT, dan Transjakarta yang terus didorong untuk membatasi jumlah penumpang dalam rangka menjaga jarak badan antarpenumpang.
Sekarang, imbuh Syafrin, DKI masih fokus pada pelayanan yang berada di bawah komando pemda. Itu artinya adalah layanan angkutan umum Transjakarta, MRT, dan LRT. ”Artinya, setelah ada PSBB, kita bisa masifkan, bukan hanya MRT, LRT, dan Transjakarta, melainkan juga pada layanan angkutan umum lain, termasuk kendaraan pribadi,” ucap Syafrin.
Namun, sekali lagi, ia juga menyatakan, senada dengan Ombudsman, melihat lalu lalang manusia dan kendaraan di wilayah Jabodetabek sebaiknya penetapan PSBB bukan hanya di Jakarta, melainkan juga Jabodetabek.
”Mengapa? Kita pahami bahwa kasus pertama dan kedua itu adanya di Depok, Jawa Barat. Kasus pertama dan kedua adanya di Depok kemudian masuk ke Jakarta, artinya Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi harus dilihat menjadi suatu kesatuan wilayah karena pergerakannya itu tidak lagi dibatasi oleh wilayah administrasi. Tetapi, daerah sudah terintegrasi menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga penetapannya seharusnya tetap dalam tataran kota megapolitan Jabodetabek. Jadi, greater Jakarta yang harus dilihat, bukan Jakarta,” kata Syafrin.
Adapun Arifin, Kepala Satpol PP DKI Jakarta, menjelaskan, untuk penerapan ketat PSBB itu nanti akan ada aturan hukum yang akan dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta, juga SOP penerapan.
Baca juga : Depok dan Bogor Usulkan Pembatasan Sosial Berskala Besar