Budaya ”Gardu” yang Kembali Subur
Maraknya kembali komunitas tergerbang menjadi salah satu kebiasaan baru di tengah masyarakat. Baik buruknya praktik ini akan menjadi ujian bagi publik dan pemerintah selama pandemi dan sesudahnya.
Portal, gardu, spanduk, hingga peralatan disinfektan lengkap dengan beberapa orang berjaga menjadi pemandangan umum di mulut-mulut gang di permukiman warga. Dengan fasilitas yang dibuat secara mandiri tersebut, masyarakat merapatkan barisan demi meraih rasa aman kolektif di lingkungan terkecil, di sekitar rumah sendiri. Sebuah gejala sosial yang mengingatkan kita pada masa reformasi dan krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Kondisi saat ini membawa masyarakat pada suatu ketidakpastian. Setiap saat ada rasa khawatir bakal tertular penyakit yang dipicu virus korona baru, Covid-19. Rasa aman makin terkikis akibat ancaman pandemi ini belum diketahui kapan akan berakhir. Apalagi, wabah global ini turut membuat sebagian besar aktivitas ekonomi terhenti, jutaan warga di dunia kehilangan pekerjaan dalam waktu nyaris bersamaan.
Data yang dirilis oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 7 April 2020 menyatakan bahwa krisis akibat pagebluk diperkirakan dapat memusnahkan 6,7 persen jam kerja secara global dalam kuartal II-2020, yang setara dengan 195 juta pekerja penuh waktu.
Baca juga : Kota, Korona, dan Covid-19
Pengurangan besar terjadi di negara-negara Arab (8,1 persen, setara dengan 5 juta pekerja penuh waktu), Eropa (7,8 persen, atau 12 juta pekerja penuh waktu), dan Asia Pasifik (7,2 persen atau 125 juta pekerja penuh waktu).
Secara umum, ILO menyatakan, lebih dari empat orang dalam setiap lima orang (81 persen) dalam angkatan kerja global sebesar 3,3 miliar saat ini terkena dampak penutupan tempat kerja secara penuh atau sebagian.
”Para pekerja dan dunia usaha sedang menghadapi bencana, baik di perekonomian maju maupun berkembang. Kita harus bergerak cepat, tepat, dan bersama-sama. Langkah-langkah yang tepat dan cepat dapat memberikan perbedaan antara bertahan dan kehancuran,” kata Direktur Jenderal ILO Guy Ryder, seperti dikutip dari laman resmi ILO.
Di Indonesia, dalam beberapa pekan ini, melambatnya roda aktivitas industri makin terasa. Ribuan pekerja hotel dan tempat wisata, pekerja usaha rintisan, hingga perusahaan mapan pun dirumahkan. Kini, dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang meluas hingga ke Jabodetabek diikuti wilayah lain di Nusantara, praktis hanya 11 bidang usaha yang boleh beroperasi. Sebanyak 11 bidang usaha itu di antaranya penyedia bahan makanan, obat, peralatan medis, bahan bakar minyak, penyimpangan atau pergudangan, pengiriman barang, dan listrik.
Baca juga : Pembatasan Sosial, Langkah Awal Menuju ”The New Normal”
Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta melaporkan, hingga 17 April 2020, sudah ada 3.703 perusahaan yang menerapkan kebijakan menghentikan semua kegiatan dan/atau sebagian kegiatannya sesuai dengan aturan dalam PSBB. Sebanyak 1.020.706 pekerja terdampak.
Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta melaporkan, hingga 17 April 2020 sudah ada 3.703 perusahaan yang menerapkan kebijakan menghentikan semua kegiatan dan/atau sebagian kegiatannya sesuai dengan aturan dalam PSBB. Sebanyak 1.020.706 pekerja terdampak.
Terganggunya para pekerja formal tersebut berdampak kepada para pekerja informal yang selama ini bergerak di usaha jasa warung makan, ojek daring, pedagang kaki lima, dan banyak lagi. Para pekerja informal ini pun sudah ada yang tak lagi bisa membuka usahanya atau berkurang drastis pelanggannya.
Bantuan pemerintah senilai lebih dari Rp 405,1 triliun yang diambil dari APBN, termasuk untuk menyokong mereka yang kehilangan pekerjaan di masa sulit, merupakan angin segar bagi warga. Namun, akan bertahan berapa lamakah dana itu? Bahkan, sebelum sampai ke sana, ada pertanyaan lain yang tak kalah menggelitik, yaitu sejauh manakah sistem dan mekanisme yang ada saat ini bisa memastikan bantuan sampai ke tangan yang berhak? Seberapa cepat bantuan diterima mereka?
Komunitas tergerbang
Selain tetap menggantungkan asa pada program pemerintah, solidaritas yang muncul di antara sesama warga juga menjadi jalan keluar terbaik dan tercepat. Tidak heran jika sejak Maret lalu, inisiatif yang muncul di tengah masyarakat sudah sedemikian masif. Mulai dari gotong royong membuat serta mendistribusikan masker dan cairan pencuci tangan gratis sampai bantuan makanan siap saji dan alat pelindung diri bagi petugas medis ataupun warga yang kurang mampu.
Solidaritas warga di tingkat kampung, terutama jika ada warga yang tergolong tidak mampu, juga meningkat. Seperti di Kota Depok, lebih dari 900 kampung di kota itu berubah menjadi Kampung Siaga Covid-19 dengan para warga setempat aktif di antaranya menyosialisasikan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), mengaktifkan sistem keamanan warga, membuat sistem informasi kesehatan warga, hingga mengaktifkan lumbung logistik dan partisipasi lokal (Kompas, 11 April 2020).
Baca juga : ”Mempersenjatai” Para Pekerja Garis Depan Perkotaan
Kebijakan menjaga jarak antar-orang juga dimaknai masyarakat dengan semakin hati-hati dengan pendatang. Sejumlah spanduk di sekitar Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, misalnya, dipasang di portal besi di mulut gang. Isi spanduk, antara lain, memohon maaf kampung tersebut tidak lagi menerima tamu dari luar. Bahkan, untuk sekedar melintas menuju Stasiun Kebayoran Lama dari arah halte Transjakarta pun kini tidak diperkenankan lagi.
Praktik menutup kampung, membatasi akses bagi orang luar ini mengingatkan lagi pada situasi negeri ini 20 tahun silam saat reformasi dan krisis ekonomi saling bersusulan terjadi. Kala itu, gonjang-ganjing di Indonesia dan dunia berdampak pada terjadinya beberapa kali kerusuhan massal, perekonomian nasional juga terganggu. Situasi politik tidak menentu, pergantian di pucuk pimpinan tertinggi negeri membuat rakyat merasa kurang terlindungi. Akibatnya, memperkuat pertahanan diri di permukiman pun marak dilakukan. Komunitas tergerbang menjadi hal umum untuk semua tingkatan, baik di kampung maupun perumahan mewah, bahkan perkantoran.
Terkait komunitas tergerbang ini, Abidin Kusno mengulasnya secara khusus dalam bukunya, Penjaga Memori, Gardu di Perkotaan Jawa. Ia menuliskan, gardu adalah bagian dari kebudayaan perkotaan kontemporer yang sering mengambil bentuk ”komunitas tergerbang” (gated communities). Gardu setidaknya sudah ada sejak era Gubernur Herman Willem Daendels di awal tahun 1800-an. Saat itu, gardu yang bentuknya merupakan miniatur pendopo dibangun di beberapa titik di sepanjang Jalan Pos Besar (Groote Postweg) untuk istirahat para pelintas di ruas antara Anyer-Banyuwangi itu.
Makin lama makin solid gardu berfungsi sebagai pertahanan dan keamanan. Saat pendudukan Jepang, pra dan pasca-kemerdekaan, juga selama Orde Lama dan Orde Baru, masyarakat Indonesia menjadi semakin akrab dengan gardu yang erat kaitannya dengan peran warga setempat menjaga wilayah masing-masing (Kompas, 6 Mei 2019).
Makin lama makin solid gardu berfungsi sebagai pertahanan dan keamanan. Saat pendudukan Jepang, pra dan pasca-kemerdekaan, juga selama Orde Lama dan Orde Baru, masyarakat Indonesia menjadi semakin akrab dengan gardu yang erat kaitannya dengan peran warga setempat menjaga wilayah masing-masing (Kompas, 6 Mei 2019).
Selama bertahun-tahun, sebagian masyarakat kita masih terbiasa ronda dan menggunakan gardu atau pos di kampung atau perumahannya untuk secara mandiri menjaga lingkungan tempat tinggalnya. Terlebih di masa pascareformasi saat kondisi negara kacau balau. Gardu juga tak luput jadi tunggangan partai politik atau pihak-pihak yang ingin eksis di tengah masyarakat. Atribut parpol atau kelompok-kelompok massa sempat mengakrabi gardu dan portal di mulut gang.
Di masa yang lebih kini, kita semua makin akrab dengan komunitas tergerbang yang menjelma menjadi kawasan-kawasan permukiman eksklusif. Pagar tembok tinggi yang memisahkan area tertentu dari area hunian lainnya menyusul kemudian dengan menempatkan gardu dan para penjaganya sebagai garda terdepan.
Baca juga : Terlena Terkurung di Dalam ”Gardu”
Atasi segregasi
Segregasi sosial mau tidak mau tercipta karena praktik komunitas tergerbang. Upaya untuk mengurangi segregasi itu dilakukan selama bertahun-tahun dengan berbagai pendekatan, terutama jaminan keamanan dari pemerintah dan aparat penegak hukum serta diadopsinya peralatan canggih, seperti kamera pemantau (CCTV) di rumah dan kantor.
Hingga setidaknya tahun 2019, upaya memerangi praktik komunitas tergerbang ini mulai menampakkan hasil. Lihat saja di sepanjang jalan protokol Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat, sebagian bangunan tinggi telah meruntuhkan pagar besi dan betonnya diganti taman cantik serta membuka akses bagi para pejalan kaki. Di perkampungan, banyak akses terbuka bagi semua orang dan memudahkan mobilitas publik.
Namun, kini semuanya seperti kembali ke dua dekade silam. Komunitas tergerbang kembali diadopsi utuh dan ketat. Dalam perkembangannya nanti, seiring kondisi normal baru yang akan tercipta selama pandemi dan sesudahnya, kebiasaan saling menjaga jarak antar-orang kemungkinan akan seterusnya mengubah cara warga berinteraksi. Di jalanan, di tempat kerja, juga di rumah dan lingkungan sekitarnya, tidak akan sama lagi.
Hanya kesadaran pribadi dan penegakan aturan secara tegas yang akan mencegah praktik komunitas tergerbang ini tidak membuat kita kembali terjebak di isu kelas sosial kini dan nanti. Kondisi tersebut dapat memicu syak wasangka tumbuh subur, terutama terhadap orang asing atau yang dianggap berbeda dari diri sendiri dan kelompoknya. Suatu kondisi yang bisa memicu kejadian-kejadian tidak mengenakkan bagi siapa saja. Dan, tentunya, rasa aman yang diidamkan justru makin menjauh. Mitigasi sejak dini, baik oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah, dibutuhkan agar dampak buruk itu tidak terjadi.
Baca juga : Awasi Ketat, Cairkan Cepat