Korban terus berjatuhan. Kerugian tidak hanya menimpa yang luka, tewas, dan keluarga korban. Fasilitas publik pun kerap ikut dirusak. Rasa aman warga kota terusik.
Oleh
aguido adri
·5 menit baca
Nyaris tiada pekan yang tidak diwarnai kejadian tawuran di Jakarta dan kawasan sekitarnya. Perkelahian antarkelompok warga ini tak mengenal waktu dan tempat, kapan pun bisa pecah tawuran. Pada saat pembatasan sosial berskala besar atau PSBB ini, tawuran masih saja terjadi. Hal itu tidak hanya mengganggu keamanan dan ketertiban, tetapi juga berpotensi menimbulkan korban jiwa ataupun luka yang semestinya tak perlu terjadi di tengah pandemi Covid-19.
Berdasarkan pemberitaan Kompas pada bulan April, sedikitnya ada empat berita yang mengulas tawuran. Salah satunya, berita tentang Kepolisian Resor Jakarta Barat menangkap tiga remaja pelaku tawuran pada Selasa (28/4/2020) sekitar pukul 01.00. Mereka yang ditangkap adalah RVN (16), warga Tanjung Duren Timur, Jakarta Barat; TF alias ADN (16), warga Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat; dan RAP alias RMY (16), warga Kampung Mancung, Ciledug, Tangerang.
”Tawuran tak kenal waktu dan tempat. Mau bulan Ramadhan atau PSBB sekaligus saat ini tidak menjamin aman dari tindak onar pemuda, seperti tawuran. Oleh karena itu, kami tetap bertugas, mengawasi, menertibkan, dan tegas menangkap siapa saja yang meresahkan lingkungan,” ujar Kepala Polres Jakarta Barat Komisaris Besar Audie S Latuheru saat dikonfirmasi ulang, Kamis (30/4/2020).
Dalam aksinya, kata Audie, kelompok remaja tersebut yang merupakan anggota geng motor bernama Tanjung Duren 23 menuju Lapangan Jati Baru untuk bergabung bersama kelompok lain. Geng motor tersebut berkonvoi menuju Jalan KS Tubun. Di tengah perjalanan, geng Tanjung Duren 23 bertemu dengan geng motor Kobam atau Kota Bambu. Berawal saling ejek, tawuran pun tak terhindarkan oleh kedua geng motor itu.
Masih dari berita Kompas, Kamis, Polres Tangerang Selatan mencatat ada tiga tawuran antarkelompok dalam sepekan terakhir. Di tengah masa PSBB yang melarang orang berkumpul beramai-ramai, sekelompok pemuda justru terlibat tawuran di Tangerang Selatan. Polres Kota Tangerang Selatan menangkap 18 orang tersangka tawuran.
Kepala Polres Kota Tangerang Selatan Ajun Komisaris Besar Iman Setiawan pada Rabu (29/4/2020) menjelaskan, tawuran terjadi di Jalan Raya Graha Raya, Serpong Utara, 19 April; di depan Masjid Sabilal Muhtadin, Cisauk, 24 April; dan depan Vila Gunung Lestari, Ciputat, 23 April. Dua korban meninggal dalam tawuran di Serpong dan Ciputat. Para pelaku tawuran berusia 16-32 tahun.
”Para tersangka memanfaatkan masa-masa relatif sepi selama PSBB. Motif tawuran tidak jelas. Berdasarkan penelusuran, antarkelompok janjian untuk tawuran,” kata Imam.
Di Jakarta Pusat, Selasa (21/4/2020) malam, polisi menangkap lima orang yang diduga memicu tawuran di antara dua kelompok di Manggarai, perbatasan antara Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Di antara mereka, terdapat ayah dan anak, NSH (45) dan RNH (20).
”Di masa pandemi Covid-19, PSBB, dan bulan Ramadhan, justru masih terjadi tawuran dan ternyata orang tua terlibat dalam tawuran. Artinya, memang tawuran bisa kapan saja terjadi yang juga bisa melibatkan orang dewasa (orang tua),” kata Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Metro Menteng Polres Jakarta Pusat Komisaris Gozali Luhalima.
Menurut Gozali, tawuran di Jakarta seperti menjadi tradisi yang muncul karena hubungan sosial atau antarlingkungan yang buruk sehingga bisa menimbulkan pertikaian. Bermula dari saling ejek bisa berujung tawuran.
”Itu terjadi dari orangtua dulu, lalu berlanjut ke anak-anak mereka. Ini sudah jadi masalah sosial kronis di Jakarta,” kata Gozali.
Itu terjadi dari orangtua dulu, lalu berlanjut ke anak-anak mereka. Ini sudah jadi masalah sosial kronis di Jakarta.
Salah satu lokasi yang kerap menjadi tempat tawuran adalah Pasar Rumput dan Jalan dr Saharjo. Novel (40), warga Pasar Rumput, Tebet, menuturkan, tawuran yang melibatkan remaja sudah terjadi berkali-kali. Tawuran tidak hanya terjadi satu atau dua tahun, tetapi sudah muncul dari runutan peristiwa yang berasal dari konflik generasi sebelumnya.
”Kebencian atau dendam seperti diturunkan kepada anak mereka. Orangtua memang tidak terlibat langsung. Namun, mereka memiliki andil terciptanya tawuran,” kata Novel saat ditemui di warung kopi, Kamis.
Di Jalan dr Saharjo, Tebet, salah satu kelompok yang kerap bentrok adalah pemuda kompleks Jalan Sawo dan kompleks Jalan Manggis. Saat terjadi tawuran, ujar Novel, dua kelompok pemuda tersebut justru mendapat dukungan dari warga masing-masing.
Sebelum terjadi tawuran, ibu-ibu sudah menyiapkan batu dan botol kaca sebagai ”alat perang”. Para ibu itu memberikan semangat dengan bertepuk tangan dan berteriak saat salah satu dari kelompok mereka menyerang kubu lawan.
Tak hanya itu, dalam pemberitaan Kompas (6/2/20219), Camat Setiabudi Dyan Airlangga mengatakan, dalam beberapa kesempatan, tawuran dilakukan warga sebagai pengalih perhatian aparat. Transaksi narkoba ditemukan di daerah Menteng Tenggulun di tengah tawuran. Penyelundupan narkoba di kawasan tersebut akhirnya diungkap oleh Polres Metro Jakarta Selatan.
Mendapat komisi
RS (17), pemuda yang mengaku pernah terlibat tawuran di Jalan dr Saharjo, mengatakan tidak mengetahui awal mula terjadi tawuran. Namun, di setiap tawuran, selalu ada yang mengatur.
Di luar urusan dendam antarkelompok, pria yang ikut tawuran sejak SMP ini mengatakan, atas nama solidaritas, dirinya akan terjun ke jalan. Selain itu, ia mengaku mendapat ”komisi” setiap ada tawuran.
Iming-iming komisi tidak hanya saat tawuran terjadi di sekitar Pasar Rumput. Menurut dia, ada banyak tawuran di Jakarta yang juga diiming-imingi komisi, baik uang maupun barang, seperti telepon seluler dan sepeda motor.
Ia memberi contoh, di beberapa daerah Jakarta, tawuran dipelihara ”mafia”. Orang-orang yang disebut bagian dari mafia itu memberikan uang dan menyediakan sepeda motor untuk pelaku tawuran jika berhasil melukai atau bahkan membunuh. Hal ini sengaja dilakukan agar muncul kebencian sehingga akan tercipta tawuran susulan.
Pada kasus lain, lahan parkir yang dikuasai suatu kelompok dijadikan alat untuk memicu tawuran kecil yang kemudian berbuntut pada tawuran besar. Jika muncul rasa benci dan dendam, tawuran antarpemuda yang berawal dari saling mengejek pun akan menjadi tawuran besar.
”Enggak ada urusan mau bulan puasa atau PSBB. Namanya tawuran, ya, tawuran saja,” kata RS.
Enggak ada urusan mau bulan puasa atau PSBB. Namanya tawuran, ya, tawuran saja.
Tawuran dan dugaan bahwa semua itu bagian dari rekayasa pengelabuan transaksi narkoba masih harus dibuktikan lebih lanjut. Pihak kepolisian tentunya yang paling bertanggung jawab membongkar dugaan isu ini. Jikalau benar ada rekayasa tersebut, apakah berarti semua tawuran adalah bagian dari skenario kejahatan tertentu? Atau, ada masalah sosial kronis di tengah masyarakat kita yang tak pernah tuntas diurai dan dibenahi.
Yang pasti, tawuran antarpemuda atau kelompok seperti sudah menjadi tradisi yang tidak bisa dihilangkan di Jakarta dan sekitarnya. Korban terus berjatuhan. Kerugian dirasakan tidak hanya bagi yang luka dan keluarga yang ditinggalkan korban, tetapi fasilitas publik pun kerap ikut dirusak. Rasa aman warga kota terusik karena masyarakat luas yang merasa terancam.
Perlu keseriusan semua pihak agar bom waktu ini tidak terus-menerus meledak kapan saja di mana saja.